Oleh: Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Syahdan, suatu ketika, di sebuah kampus Islam, saya mendengar ceramah tentang tantangan pembangunan Indonesia. Isinyam antara lain mengajak, agar kita mewaspadai “Jebakan pendapatan menengah, atau middle income trap!” Kampus kita, ujarnya, perlu memberikan kontribusi dalam menyiapkan SDM-SDM unggul agar kita bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah tersebut.
Pada kesempatan lain, saya mendengar seorang ulama menyarankan, agar kita meningkatkan jumlah “kelas menengah” dan “kelas atas”. Sebab, kue ekonomi Indonesia ini dikuasai oleh segolongan kecil dari masyarakat kita. Yang 90 persen menguasai hanya 10 persen kue ekonomi. Begitu kata sang ulama.
Sekilas, paparan atau ajakan semacam ini seperti tidak bermasalah. Apalagi, yang menyampaikan itu juga tokoh yang dikenal memiliki komitmen dan aktif dalam dakwah Islam. Intinya, para tokoh tersebut memaparkan, bahwa masalah utama umat Islam dan bangsa Indonesia adalah masalah ekonomi. Bagaimana umat Islam meningkatkan pendapatannya agar tidak diremehkan oleh umat lain.
Kita setuju bahwa umat Islam harus meningkatkan ekonominya. Bahwa, bangsa kita juga harus meningkat kesejahteraannya, itu pun sangat benar. Tetapi, menempatkan masalah “pendapatan” sebagai tujuan utama pembangunan, itu patut kita pikirkan sangat serius. Ini masalah adab. Bagaimana kita menempatkan segala sesuatu secara tepat.
Sebagai gambaran, di masa Rasulullah saw, yang dimaksud sebagai “kelas atas” – yakni, manusia-manusia paling dihormati — adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia. Bahwa, negeri yang mulia adalah yang penduduknya beriman dan bertaqwa (QS al-A’raf: 96). Nabi saw bersabda, orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya.
Maka, sebagai aplikasinya, di masa itu, para sahabat Nabi yang menempati kedudukan “mulia” adalah orang-orang yang berilmu dan berakhlak mulia, baik yang miskin atau yang kaya. Mereka dihormati karena taqwa dan akhlaknya, seperti Bilal bin Rabah, Abu Hurairah, Ibn Abbas, Abu Dzar al-Ghifari, Ibn Mas’ud, Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Afan, dan sebagainya.
Para sahabat Nabi itu dididik dengan kedisiplinan yang tinggi dalam keilmuan, ibadah, dan juga fisik. Jiwa raga dilatih secara disiplin. Jadilan mereka manusia-manusia terbaik (khairun nas). Mereka adalah para pekerja keras dan sekaligus manusia-manusia yang bersemangat tinggi dalam beribadah, berjihad, mencari ilmu, dan memiliki akhlak mulia.
Jadi, yang seharusnya dihasilkan oleh pendidikan tinggi kita adalah manusia-manusia mulia seperti itu. Dan itulah sebenarnya tujuan pendidikan nasional kita, sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945. Pemujaan yang berlebihan terhadap harta dan tahta akan menyebabkan kerusakan pemikiran di lembaga-lembaga pendidikan.
Sekolah atau pesantren dianggap terbaik jika lulusannya banyak diterima di perguruan tinggi yang meluluskan banyak orang berharta dan bertahta. Jurusan-jurusan yang dianggap melahirkan sarjana-sarjana dengan pendapatan kecil akhirnya dianggap bukan jurusan favorit dan kurang diminati. Menjadi ahli servis komputer dianggap lebih mulia ketimbang menjadi ahli servis qalbu manusia. Menjadi penghibur dengan bayaran tinggi dianggap lebih mulia daripada menjadi guru ngaji atau dai di daerah-daerah pedalaman.
Ini masalah adab! Bagaimana kita memahami dan menyikapi segala sesuatu secara tepat, sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah. Menjadi kepala daerah itu baik dan bisa wajib jika diniatkan untuk berjuang di jalan Allah. Menjadi dokter itu sangat baik, bahkan bisa menjadi wajib jika jumlahnya masih belum mencukupi. Tapi, jangan memandang rendah pekerjaan lain.
Rasulullah menyebutkan, bahwa orang yang terbaik adalah yang paling bermanfaat. Tahta, harta dan popularitas adalah amanah Allah. Pemegangnya bisa menjadi mulia jika memegang amanah dengan benar. Tapi, pemegang amanah itu bisa juga menjadi hina jika tidak menggunakan amanah itu dengan baik. Menjadi tukang sapu jalanan yang jujur dan sholeh, lebih baik daripada menjadi kepala daerah yang korupsi dan membuat kebijakan yang merusak masyarakat.
Rasulullah mengajarkan doa agar kita terhindar dari kekufuran dan kefaqiran. Tetapi, Rasulullah juga mengingatkan bahaya kekayaan. “… Maka demi Allah! Bukan kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian. Akan tetapi aku khawatir ketika kekayaan dunia dikucurkan atas kalian sebagaimana telah dikucurkan atas orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian pun berlomba-lomba padanya seperti mereka berlomba-lomba padanya. Kemudian dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka.” (HR. Al-Bukharii dan Muslim)
Jadi, kita patut berhati-hati dengan jebakan berpikir pada level pendidikan tinggi. Sebab, pendidikan tinggi melahirkan sarjana-sarjana yang menyusun konsep-konsep pembangunan dan pendidikan untuk masyarakat. Terkait dengan masalah ini, kita patut kembali merenungkan ayat al-Quran yang artinya: “Dan demikianlah Kami jadikan untuk setiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (QS al-An’am:112).
Buya Hamka, dalam Tafsir al-Azhar, membuat uraian menyangkut ayat tersebut: “Seorang Rasul diutus Allah untuk menyeru manusia menempuh Shirathal Mustaqim, jalan yang lurus. Maka segala syaitan-syaitan manusia dan jin itu menyusun pula kata-kata yang penuh tipu daya untuk membelokkan perhatian orang daripada jalan yang lurus itu. Mereka mencoba manggariskan jalan yang lain, memujikan, mempropagandakan supaya orang merasa bahwa yang mereka kemukakan itulah yang benar. Inilah tipu daya! Karena kalau sudah diselidiki kelak dengan seksama, akan ternyata bahwa rencana yang mereka kemukakan itu hanya semata-mata zukhrufal-qauli, yaitu kata-kata yang dihiasi. Zukhruf artinya perhiasan, lebih besar bungkusnya daripada isinya, reklame yang kosong penuh tipu.”
Semoga Allah MELINDUNGI kita semua dari kekeliruan berpikir, kekacauan ilmu, hilang adab, dan kerusakan iman. Amin. (Depok, 20 Mei 2024).