Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan

by
Foto: elshinta.com.

Perempuan merupakan pihak yang cenderung lebih rentan mengalami kekerasan, maka dari itu hari anti kekerasan patut untuk diperingati.

Wartapilihan.com, Jakarta – Belum lama ini kita telah mendengar berita mengenai Baiq Nuril Maknun, seorang guru perempuan honorer yang mengajar di sebuah SMA di Nusa Tenggara Barat, yang harus mendekam di penjara selama 6 bulan sekaligus dikenai denda sebesar Rp 500 juta akibat merekam percakapan mesum dari telepon. Ia yang dilecehkan justru dianggap telah melanggar UU ITE. Masih banyak Baiq Nuril lainnya yang mengalami hal yang sama berupa ‘pelecehan seksual’ namun tidak bisa berbuat banyak. Maka dari itu, sejak dulu kala, kekerasan terhadap perempuan juga merupakan hal yang monumental bagi perempuan.

Hari anti kekerasan terhadap perempuan memiliki sejarahnya sendiri. Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) pada awalnya merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Aktivitas ini sendiri pertamakali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute pada tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.

Hal tersebut disampaikan oleh Mariana Amiruddin (Komisioner Komnas Perempuan). Dia mengatakan, lebih dari 3.700 organisasi dari sekitar 164 negara berpartisipasi dalam kampanye setiap tahun.

“Kampanye global ini diperlukan karena sudah terlalu lama masalah kekerasan terhadap perempuan menjadi impunitas, tidak terdengar dan mengalami stigma. Situasi seperti ini mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan meningkat, UN Women mencantumkan bahwa satu dari tiga perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan berbasis gender,” tegas Mariana, dalam Kampanye Global 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan #Gerak Bersama Hapuskan Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan, UN Women dan Komnas HAM), di Pusat Kebudayaan Amerika, Jakarta, (28/11/2018)

Dalam beberapa tahun terakhir, menjadi perhatian seluruh dunia suara para penyintas dan aktivis, melalui kampanye seperti #MeToo, #TimesUp, #Niunamenos, #NotOneMore, #BalanceTonPorc dan lainnya, telah mencapai puncak yang tidak dapat dibungkam lagi. Di Indonesia pada dua tahun yang lalu kemudian dikenal dengan gerakan #GerakBersama untuk penghapusan kekerasan seksual.

Di seluruh dunia, jelas dia, perlu dipahami bahwa meskipun nama dan konteksnya mungkin berbeda di seluruh letak geografis, perempuan dan anak perempuan dimana pun mereka berada, mengalami kekerasan yang terjadi secara terus menerus, karena itu cerita mereka perlu disoroti, dan dilindungi.

Sementara itu, Lily Puspasari selaku Programme Management Specialist UN Women mengatakan, di seluruh bagian dunia, perempuan dan anak perempuan terus mengalami kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan kerap kali luput dari perhatian dan suara penyintas tidak terdengar. Hal ini dikarenakan seringkali perempuan yang terkena kekerasan disalahkan dan testimoni mereka diragukan.

“UN Women menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan (dan anak perempuan) adalah salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang paling luas, terus-menerus dan menghancurkan perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia, dan sampai saat ini sebagian besar masih sulit untuk dilaporkan karena adanya impunitas, sikap diam, stigma dan rasa malu baik korban maupun lingkungan sekitarnya,”

Secara umum, UN Women melaporkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dimanifestasikan dalam bentuk fisik, seksual dan psikologis. Pertama, kekerasan oleh pasangan baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah dalam bentuk pemukulan, pelecehan, psikologis, perkosaan, dan femicide atau pembunuhan terhadap perempuan;

Kedua, kekerasan dan pelecehan seksual (dalam bentuk pemerkosaan, tindakan memaksa berhubungan seksual, hasrat seksual yang tidak diinginkan, pelecehan seksual anak, pernikahan paksa (termasuk pernikahan anak), pelecehan di jalanan atau ruang publik, penguntitan, pelecehan dalam media cyber.

“Ketiga adalah perdagangan manusia dalam bentuk perbudakan dan eksploitasi seksual dan keempat adalah mutilasi genital perempuan dan perkawinan anak,” tukasnya.

Untuk lebih memperjelas, Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1993, mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai “Setiap tindakan kekerasan berbasis gender yang menghasilkan, atau memungkinkan akan mengakibatkan kekerasan dalam bentuk fisik, seksual, psikologis atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman, paksaan atau perampasan kebebasan perempuan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.

“Kekerasan terhadap perempuan terus menjadi hambatan untuk mencapai pembangunan, perdamaian serta pemenuhan hak asasi perempuan dan anak perempuan. Secara keseluruhan, janji Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) – tidak meninggalkan siapa pun di belakang – tidak dapat dipenuhi tanpa mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan,” pungkas Lily.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *