Padahal, MK seharusnya memperhatikan data-data kejadian di masyarakat dan adab luhur bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pancasila.
Wartapilihan.com, Jakarta— Keputusan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu yang menolak judicial review (JR) yang diajukan Aliansi Indonesia Cinta Keluarga (AILA), terkait pidana pasal 284, 285 dan 292 tentang perzinahan, menimbulkan gelombang polemik dan protes dari masyarakat.
Pasalnya, MK selain sebagai negative legislator yaitu memiliki wewenang untuk mencabut Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945, MK juga memiliki hak prerogatif untuk memperluas norma dengan mempertimbangkan dampak dari implementasi norma tersebut.
Salah satu pemohon JR, Euis Suharti dalam diskusi Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One, Selasa (19/12) malam menuturkan, sejak awal pihaknya optimis JR yang diajukan disetujui oleh majelis hakim. Namun, dari 22 kali jalannya persidangan, hakim tidak mempertimbangkan saksi ahli yang diajukan pemohon. Padahal Ketua MK pada sidang ke-8 mengutarakan bahwa JR tersebut merupakan pertarungan ideologi.
“Kami melihat, dari track record perluasan norma, ada beberapa norma yang disetujui MK. Dan kami harapkan ada urgensi MK melihat data-data kejadian luar biasa, bahwa perzinahan lebih besar dari LGBT,” ujar Euis.
Sebab, lanjutnya, para Pekerja Seks Komersial (PSK) dan orang yang mengidap penyakit LGBT (lesbian, gay, bisexual, dan transgender) menginginkan perilaku tersebut diterima oleh masyarakat dan dijadikan sebagai gaya hidup. Karena itu, jelas Euis, persoalan tersebut adalah persoalan secara struktural, sistematis dan masif yang harus ditanggulangi oleh semua pihak terutama pemerintah.
“Dari empat hakim yang menyatakan dissenting opinion, kami sangat terenyuh dan sangat berterima kasih atas keteguhannya. Bahkan mereka mengatakan, rekriminalisasi jangan dianggap tabu kalau ada kebaikan mutlak,” ujarnya, sedih.
Selain itu, dia menjelaskan, aktivitas kaum gay harus merekrut lima orang dan masing-masing merekrut lima orang yang disebut dengan MLM Gay. Terlebih, hal itu dilakukan terhadap individu yang berada di garis kemiskinan, bahkan Euis mendapati salah satu mahasiswanya masuk ke dalam kelompok tersebut.
“Semua peluang untuk mencegah hal ini yang bisa kami ambil, kami lakukan. Kita mendorong DPR untuk segera menuntaskan pembahasan RUU KUHP, sebelum terjadi banyak korban. Dan kita akan mendorong pemerintah menerbitkan Perppu, meskipun hal itu impossible,” tandasnya.
Dalam kesempatan sama, Ketua AILA Rita Soebagio memaparkan, berdasarkan hasil survei, 93 persen masyarakat Indonesia menolak segala bentuk perbuatan seksual yang menyimpang dari norma dan ajaran agama. Artinya, kata dia, pihak yang menginginkan pelaku Zina dan LGBT di atas 18 tahun tidak dipidana, sama saja sedang menyimpan konflik di tengah masyarakat.
“Mereka (pihak penyuka Zina dan LGBT) yang mengatakan kami menang telak di MK, akan membuat masyarakat salah menafsirkan dan akhirnya terprovokasi untuk melakukan tindakan yang seharusnya bukan menjadi kewenangannya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Rita menyayangkan, media Jakarta Post menulis AILA merupakan kelompok radikal dan lebih berbahaya dari Front Pembela Islam (FPI). Padahal, tegasnya, upaya yang ditempuh merupakan langkah konstitusional dan mempertimbangkan semua aspek. Mulai dari aspek agama, norma, kebudayaan, kesehatan, psikologi masyarakat, dan dampak jangka panjang yang akan terjadi apabila perilaku Zina dan LGBT terus dibiarkan.
“Saya tidak tahu, norma apa yang diperjuangkan di konstitusi. Kalau ada pilihan MK menolak dan menentang, kenapa MK tidak memperhatikan norma dan 12 pemohon yang kami ajukan,” pungkasnya.
Sebagai informasi, para hakim yang setuju LGBT masuk pidana adalah Ketua MK Arief Hidayat, hakim konstitusi Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto. Sedangkan 5 hakim lainnya, yaitu Maria Farida, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Manahan Sitompul, dan Saldi Isra, memilih menolak LGBT masuk ke dalam hukum pidana.
Ahmad Zuhdi