GP Anshor, HTI dan Ikhwanul Muslimin

by

Wartapilihan.com, Depok – Organisasi yang merupakan sarana untuk mencapai tujuan, kini seringkali menjadi tujuan. Di organisasi Islam, banyak aktivisnya yang menganggap organisasinya adalah segalanya. Mereka lupa bahwa pendiri organisasi itu sendiri, tidak menginginkan bahwa organisasi adalah segalanya.

Jadi mereka menganggap bahwa tokoh-tokoh dalam organisasinya adalah tokoh terbaik, sehingga banyak diantara mereka tidak mau menengok tokoh di organisasi lain yang kadangkala lebih baik dari organisasinya.

Inilah yang mengakibatkan rasa fanatik kepada organisasi itu berlebihan. Sehingga ajakan dakwah Islam, kadangkala diselewengkan menjadi dakwah ke organisasi. Ini juga menyebabkan banyak organisasi Islam saat ini mengalami kejumudan.

Di zaman internet, keterbukaan informasi ini, harusnya organisasi Islam membuka diri. Mereka mestinya tidak fanatik berlebihan terhadap organisasinya, tapi harusnya membuka diri kepada tokoh-tokoh organisasi lain. Organisasi Islam harusnya melihat organisasi lain bukan musuh, tapi sahabat untuk meraih tujuan bersama. Yaitu kemuliaan Islam dan kaum Muslimin.

Maka kejadian GP Anshor melawan Hizbut Tahrir Indonesia seharusnya tidak terjadi. GP Anshor mestinya membuka diri secara obyektif mempertanyakan kenapa HTI kok kini berkembang di kampus-kampus, sedang organisasi pemuda NU seperti GP Anshor dan PMII kok kurang berkembang? Apakah karena materi di kalangan pemuda NU sudah tidak menarik lagi bagi mahasiswa? Apakah karena tokoh-tokoh NU kurang menjadi teladan bagi mahasiswa dan seterusnya…

Begitu pula kalangan HTI yang kini cukup pesat berkembang di kampus-kampus juga harusnya mengevaluasi diri. Kenapa kok organisasi mereka dimusuhi GP Anshor? Tepatkah seruan Khilafah Islam di negeri Nusantara ini? Atau lebih baik baik seruannya diubah menjadi ‘lebih halus’ seruan Negara Indonesia yang Islami dan seterusnya?

Bagi mereka yang mencermati perkembangan gerakan Islam, maka seruan Khilafah Islamiyah, Negara Islam, atau Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur sebenarnya adalah sama. Tokoh-tokoh pergerakan Islam, seperti Hasan al Bana dan Abul A’la Maududi, misalnya menganggap bahwa Khilafah Islam dibentuk dengan gabungan negeri-negeri Islam. Sementara Taqiyuddin an Nabhani menganggap bahwa Khilafah Islam bisa berdiri di satu negara (khususnya di negeri-negeri Islam).

Mohammad Natsir dan KH Hasyim Asyari yang tergabung dalam Partai Politik Islam Masyumi, sebenarnya gagasan negeri Islamnya tak jauh berbeda dengan Imam Hasan al Bana. Mereka berdua tergabung dalam Masyumi yang menginginkan Indonesia menjadi negeri yang Islami, yaitu negeri yang dapat dilaksanakan hukum-hukum Islam, baik individu, masyarakat maupun negara.

000

Organisasi HT dan Ikhwanul Muslimin memang patut diapresiasi. Dua organisasi Islam itu mempunyai kurikulum dan tokoh-tokoh (para ulama) yang bukan sembarangan. Pendiri organisasi HT Taqiyuddin an Nabhani misalnya, telah menulis kitab lebih dari 20 buah. Kitab-kitab yang ditulisnya mendalam dan penuh dengan I’tibar dari Al Quran, Hadits dan para sahabat teladan. Dalam hal politik Islam, bisa dikatakan Taqiyudin an Nabhania adalah ulama Islam kontemporer yang sulit dicari tandingannya.

Dalam kitabnya Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir (Konsepsi Politik Hizbut Tahrir) misalnya, Taqiyudin fasih berbicara tentang politik internasional.

Di salah satu babnya, Sebab-Sebab Penderitaan Dunia misalnya Taqiyuddin menulis : “Tidak diragukan lagi dunia telah menderita karena negara-negara adidaya. Yaitu sejak mereka mencengkeram dunia dalam kedudukannya sebagai negara adidaya. Dunia juga menderita disebabkan apa yang mereka munculkan berupa konsep Keluarga Internasional atau Komunitas Internasional. Dunia juga menderita karena penjajahan yang muncul sejak adanya ideologi kapitalisme, yakni sejak munculnya imperialism.

Dunia akan terus menderita selama mitos Komunitas Internasional masih ada. Selama negara-negara adidaya masih terus berkompetisi dan mencengkeram dunia, dari selama imperialism masih ada, meskipun bentuk dan caranya berubah-ubah. Karena itu, membebaskan dunia dari penderitaan yang menimpanya dan menempatkannya pada jalan kebahagiaan tidak akan mungkin dicapai, kecuali jika tiga perkara ini telah diselesaikan. Dengan kata lain, semua itu tidak akan terwujud kecuali jika telah dihilangkan tiga factor tersebut, yaitu : 1. Khurafat Komunitas Internasional 2. Cengkeraman dan dominasi negara-negara adidaya. 3. Imperialisme dan monopoli.

Tentang komunitas internasional, sesungguhnya asas lahirnya ide ini sejak kemunculannya adalah batil. Pada mulanya komunitas negara-negara Kristen di Eropa Barat muncul untuk membentuk sebuah organisasi yang mampu menghadapi Daulah Islamiyah. Kemudian bergabunglah bersamanya negara-negara Kristen di Eropa Timur sehingga terbentuklah komunitas negara-negara Kristen Eropa. Ini berlangsung sejak abad ke 16 –yakni sejak Daulah Islam memiliki kekuatan yang dapat melumpuhkan Eropa – sampai paruh kedua abad ke 19 (tahun 1856), ketika Daulah Islamiyah (‘pusatnya di Turki’) telah melemah sehingga disebut The Sick Man. Selama jangka waktu kira-kira hampir 3 abad tersebut, Komunitas Internasional diartikan sebagai Komunitas Kristen dan musuh Daulah Islam.

Meskipun komunitas ini hanya terbatas pada negara-negara Kristen saja, bahkan negara-negara Kristen di Eropa saja, dan mereka pun tidak membolehkan negara-negara non Kristen masuk ke dalamnya, tetapi mereka menyebutnya sebagai Komunitas Internasional. Yaitu mereka melekatkan sifat internasional pada komunitas tersebut..maka yang disebut urusan internasional adalah urusan internasional yang dimaksud oleh Komunitas Kristen tersebut…Barulah pada paruh abad ke 19 mereka menerima keanggotaan sebagian negara-negara non Kristen sebagai bagian dari Komunitas Internasional. Namun mereka pun tetap tidak menerima selain prinsip-prinsip tradisional yang telah ditetapkan sebagai asas bahwa mereka adalah negara-negara Kristen Eropa.

Karena itulah mereka menuntut Daulah Utsmaniyah untuk meninggalkan hukum Islam dalam urusan internasional dan mensyaratkan hal itu bagi Daulah Utsmainyah. Negara-negara Kristen itu tidak mau menyetujui masuknya Daulah Islam kecuali setelah Daulah Utsmaniyah menerima persyaratan itu… (Tahun 1992, terjadi tragedi yang menyedihkan bagi dunia Islam. Yaitu ketika negara Kristen Serbia menyerbu Bosnis dan membantai puluhan ribu Muslim disana. Dan dunia Kristen Barat –termasuk Amerika (PBB)- ‘berdiam diri’ terhadap tragedi yang menimpa kaum Muslim di sana –pen).

Kemudian setelah berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ada keinginan untuk membatasi keanggotaannya pada negara-negara yang terjun dalam peperangan melawan Jerman, yaitu negara-negara Kristen dan negara-negara lain yang mengikutinya. Akan tetapi karena AS ingin memperluas pengaruhnya di dunia dan memasukkan negara-negara di dunia di bawah naungannya, AS memperluas keanggotaan PBB dan membolehkan negara-negara di dunia untuk masuk ke dalamnya. Namun AS dan negara-negara Kristen lainnya, tetap tidak mentolelir prinsip manapun untuk masuk ke dalam UU Internasional dan peraturan PBB itu. Sebaliknya prinsip-prinsip Kristen lah yang tetap menjadi asas Undang-Undang Internasional –bahkan menjadi UU Internasional itu sendiri—dan asas peraturan PBB…(lihat Serangan brutal Amerika ke Afghanistan (2001) dan Irak (2003), PBB tidak bisa berbuat apa-apa. Karena PBB dikendalikan oleh Amerika. Begitu juga PBB tidak bereaksi apapun bila Israel melakukan pelanggaran internasional. Karena Israel sendiri negaranya didirikan (1948) atas restu PBB, yaitu pelopornya Amerika dan Inggris –pen).”

Taqiyudin memang sangat fasih bila bicara politik internasional. Ulama besar ini juga menarik bila bicara tentang pembentukan kepribadian Islam. Ia menulis Kitab Syakhsiyah Islamiyah, hingga tiga jilid. Di dalam Hizbut Tahrir, kader dianggap mumpuni bila telah menguasai 13 kitab yang ditulis oleh Taqiyudin an Nabhani.

Bagaimana dengan Ikhwanul Muslimin? Organisasi ini sebenarnya lebih dulu menyerukan Khilafah Islamiyah dari pada Hizbut Tahrir. BIla HT didirikan pada 1953, maka Ikhwan didirikan Hasan al Bana dkk pada tahun 1928.

Hasan al Bana sengaja menamakan organisasinya dengan nama Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim). Ia tidak memberi nama Ikhwanul Mishriyin (Persaudaraan Mesir), karena ulama besar ini ingin menekankan bahwa mereka yang melafadzkan syahadat Islam, adalah bersaudara. Sedangkan Taqiyudin menamakan organisasinya dengan nama Hizbut Tahrir (Partai Pembebasan), karena ia ingin dunia Islam terbebas dari dominasi dan penjajahan dunia Barat. Nama HIzbut Tahrir juga nampaknya dimaksudkan bahwa pribadi yang bebas sebenarnya adalah pribadi Muslim. Bukan pribadi atau individu yang mengikuti hawa nafsu mengikuti ideologi kapitalisme atau sosialisme (ateisme).

Hasan al Bana, seperti dikisahkan Sayid Qutb, sesuai namanya, memang seorang pembangun yang jenius. Baru beberapa tahun ia mendirikan organisasi ini, Ikhwan telah mendapat simpati luas di masyarakat Mesir. Kini Ikhwan adalah organisasi Islam terbesar dan terbanyak cabangnya di seluruh dunia.

Kelebihan Ikhwan, dibanding dengan HT adalah Ikhwan terjun ke politik praktis. IKhwan ikut dalam pemilu, tapi sambil tetap ‘kokoh’ perjuangan besarnya Khilafah Islamiyah, sebagaimana telah digariskan oleh pendirinya Imam Hasan al Bana. Karena ikut campur dalam politik dalam suatu negara inilah kemudian banyak penguasa yang ‘dengki’ kepada Ikhwan. Yang menjadi ‘korban pertama dan utama’ adalah Hasan al Bana, yang ditembak secara sadis oleh ‘tentara Raja Faruk. Begitu juga pelanjutnya ulama  besar Islam Sayid Qutb juga dihukum gantung oleh penguasa bengis Mesir, Gamal Abdul Nasser.

Jadi di sini, HT mestinya belajar dari Ikhwan tentang politik. Karena politik itu bukan teori, tapi praktis. Namun demikian IKhwan juga perlu belajar dari HT tentang politik. HT memainkan ‘politik yang tinggi’ dengan tidak melibatkan ke politik praktis. HT khawatir kalau terjun ke politik praktis, kader-kadernya akan tercemar. Mereka melihat bahwa banyak aktivis-aktivis Islam yang dulu aktif berdakwah di kampus, tapi karena sistem politik kapitalis yang menggurita, banyak diantara mereka yang larut dan lupa kepada tujuan awal masuk politik adalah untuk menjayakan Islam. Lupa bahwa dirinya adalah mewakili kaum Muslim dalam mengemban cita-cita Islam. Karena masyarakat banyak, melihat Islam itu tercermin dalam perilaku Muslim, bukan dalam konsep-konsep yang tertulis. Makanya tidak heran, bila mantan Presiden Bosnia, Alija Izetbegovic menyatakan bahwa Islam itu sempurna, Muslim tidak.

Dalam hal ini, aktivis-aktivis HTI bisa mengambil pelajaran dari pergerakan Ikhwan yang simpatik di masyarakat dan aktivis-aktivis Ikhwan bisa mengambil hikmah dari HTI, terutama pemikiran-pemikiran yang digulirkan pendirinya Taqiyuddin an Nabhani. Karena Imam Hasan al Bana syahid dalam usia yang muda yaitu 43 tahun (1906-1949), sehingga ia tidak bisa menguraikan panjang lebar ide-idenya untuk mewujudkan pribadi dan masyarakat Islam yang ideal.

000

Walhasil, GP Anshor daripada menghadang-hadang HTI di berbagai daerah, lebih baik mengadakan dialog terbuka dengan HTI. Dan dengan lapang dada bersilaturahmi dan berdiskusi dengan HTI mungkin ada pemikiran-pemikiran baru untuk melangkah bersama dalam dakwah. Karena seperti disebutkan di atas, antara KH Hasyim Asyari, Taqiyuddin an Nabhani, Hasan al Bana, Mohammad Natsir dan tokoh pergerakan Islam lainnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu menginginkan terbentuknya pribadi dan masyarakat Muslim yang ideal. Yaitu pribadi dan masyarakat yang dapat menjadi model bagi dunia.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran 103-104).

Dachli Hasyim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *