Generasi Qurani Yang Istimewa (2)

by

Oleh : Sayid Qutb (Ulama Besar Islam)

Wartapilihan.com – Perasaan seperti ini, perasaan untuk menerima perintah dan mengerjakannya, itulah yang membuat Al quran membukakan bagi mereka gerbang kenikmatan dan ilmu pengetahuan. Hal itu tidak terjadi jika mereka membaca Al Quran hanya sekedar untuk meneliti, mengkaji dan membacanya. Dengan cara membaca seperti itu, mereka menjadi termudahkan untuk mengamalkan isinya, teringankan beban tugas mereka, al Quran meresap dalam diri mereka, dan setelah itu mereka wujudkan dalam manhaj yang realistis dan hidup. Yang tidak semata berada dalam otak atau kalimat-kalimat yang tersimpan dalam kertas, namun menjadi wujud perubahan dan peristiwa yang mengubah perjalanan hidup.

Al Quran tidak memberikan khazanahnya kecuali bagi orang yang menerima dengan semangat ini, semangat untuk mengetahui dan kemudian menjalankannya. Al Quran tidak datang untuk sekedar menjadi hiburan otak. Ia bukan kitab sastra atau seni, dan bukan pula sebuah kitab kisah atau sejarah, meskipn semua itu terkandung dalam isinya. Namun ia datang agar menjadi manhaj kehidupan. Manhaj Ilahi yang murni. Allah SWT menurunkan manhaj ini secara terpisah-pisah dan berangsur-angsur, yang datang secara beriringan,

“Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurukannya bagian demi bagian.” (al Israa’ 106)

Al Quran tidak diturunkan sekaligus, namun diturunkan sesuai dengan kebutuhan manusia yang terus berubah, perkembangan yang terjadi dalam pemikiran dan pola pandang , perkembangan dalam masyarakat dan kehidupan, serta sesuai dengan problem-problem yang dihadapi oleh masyarakat Islam dalam kehidupan sehari-harinya.

Suatu ayat atau beberapa ayat dari Al Quran diturunkan dalam suatu momen tertentu atau suatu kejadian tertentu yang menjadi masalah bagi manusia. Kemudian memberikan tuntunan bagi mereka dalam menghadapi masalah seperti itu, menggariskan bagi mereka manhaj tindakan yang harus mereka lakukan dalam keadaan seperti itu, meluruskan kesalahan sikap dan tindakan mereka, mengaitkan semua itu dengan Allah SWT, Rabb mereka, dan memperkenalkan diriNya kepada mereka dengan sifat-sifatNya yang berkuasa di segenap alam.

Dengan begitu mereka merasakan bahwa mereka hidup bersama Allah SWT dan selalu berada dalam pengawasanNya secara langsung. Oleh karena itu, mereka segera mengubah sikap dan tindakan mereka dalam kehidupan sesuai dengan tuntunan Manhaj Ilahi yang sempurna itu.

Manhaj mempelajari Al Quran untuk dilaksanakan dan diamalkan isinya itulah yang telah menghasilkan generasi pertama Islam. Sementara manhaj mempelajari Al Quran semata untuk mengkaji dan menikmatinya itulah yang telah menghasilkan generasi-generasi berikutnya. Tentunya faktor kedua ini adalah juga facktor utama yang  membedakan seluruh generasi islam dibandingkan dengan generasi pertama yang istimewa itu.

Ada faktor ketiga yang patut kita perhatikan dan camkan.

Seseorang pada masa generasi pertama, jika ia masuk Islam, ia akan melepaskan seluruh kejahiliahan masa lalunya. Dan pada saat itu, ia merasa bahwa ia sedang memulai suatu era baru dalam kehidupannya, yang terputus sama sekali dari perjalanan hidupnya yang telah ia lewati dalam masa jahiliah. Ia memandang segala sesuatu yang biasa ia temukan pada masa jahiliah dengan pandangan ragu, curiga, hati-hati, dan takut. Karena ia merasakan bahwa segala kotoran tersebut tidak dapat diterima oleh Islam. Dengan sikap seperti itulah mereka menerima petunjuk Islam.

Jika suatu saat ia teperdaya oleh nafsunya, atau kembali melakukan kebiasaan lamanya, atau kurang sempurna dalam menjalankan kewajiban islam, maka saat itu ia langsung merasa berdosa dan bersalah. Ia menyadari bahwa ia memerlukan penyucian diri dari tindakannya itu untuk kemudian kembali berusaha berjalan sesuai dengan petunjuk Al Quran.

Ada pemutusan emosional secara total antara masa lalu kejahiliahan seorang Muslim dan masa kini Keislamannya. Hal itu tercerminkan dalam hubungannya dengan masyarakat jahiliah dan ikatan-ikatan sosialnya. Ia telah terputus secara total dari lingkungan jahiliahnya dan bersatu secara total dengan lingkungan Islam, meskipun ia masih tetap melakukan kontak dalam hubungan perdagangan dan keseharian. Karena pemutusan emosional adalah satu hal, sementara kontak muamalah sehari-hari adalah hal lain.

Mereka melepaskan kaitan mereka dari situasi dan kondisi jahiliah, tradisinya, pola pandangnya, kebiasaannya dan ikatan-ikatannya. Hal ini terlahir dari pemutusan ikatan kemusyrikan dengan aqidah tauhid dan dari pola pandang jahiliah kepada pola pandang Islam tentang kehidupan dan wujud. Serta dengan bergabung dengan masyarakat Islam yang baru, dengan kepemimpinan yang baru, dan memberikan seluruh loyalitasnya, ketaatannya, dan keterikatannya kepada masyarakat dan kepemimpinan ini.

Inilah titik perpisahan mereka dengan masa lalu dan awal perjalanan mereka dalam jalan yang baru, jalan yang bebas dari seluruh tekanan budaya yang dianut oleh masyarakat jahiliah dan seluruh pola pandang serta nilai-nilai yang berlaku di dalamnya. Pilihan mereka itu harus mereka tebus dengan aniaya dan fitnah yang menimpa mereka, namun mereka telah bersikap teguh dan memutuskan sama sekali ikatan mereka dengan kejahiliahan. Sehingga tekanan pola pandang jahiliah dan adat istiadat masyarakat jahiliah tidak mungkin lagi dapat menggoyahkan mereka.

Saat ini kita hidup dalam kejahiliahan seperti yang dialami oleh Islam pada era pertama itu atau mungkin lebih kelam lagi. Seluruh yang ada di sekeliling kita adalah kejahiliahan. Pola pandang mereka, kepercayaan mereka, tradisi, adat istiadat, sumber rujukan, seni, sastra, hukum, serta undang-undang mereka. Hingga banyak yang kita sangka sebagai budaya Islam, referensi Islam, filsafat Islam, pemikiran Islam, ternyata juga produk dari kejahiliahan.

Oleh karena itulah nilai-nilai islam tidak dapat meresap dalam diri kita, pandangan Islam tidak dapat bersemayam dalam akal kita, dan kita tidak dapat menjadi generasi yang besar, dengan karakteristik seperti generasi yang dihasilkan oleh Islam pada masa era pertamanya.

Dengan demikian dalam manhaj harakah Islam, kita harus membersihkan diri dalam masa pembentukan dan pengkaderan, dari seluruh pengaruh jahiliah yang kita sedang jalani ini. Kita harus kembali dari awal kepada sumber yang murni, yang dijadikan sumber oleh tokoh-tokoh generasi pertama itu. Sumber yang terjamin, tidak tercemar dan tidak diragukan lagi. Kita kembali kepadanya dan kita mengambil pola pandang kita darinya dalam melihat seluruh hakikat wujud, dan hakikat wujud manusia beserta seluruh ikatan antara dua wujud ini dengan Wujud Yang Sempurna dan Haq, wujud Allah SWT. Dari sanalah kita mengambil pola pandang kita terhadap kehidupan, nilai-nilai, akhlaq, sistem kekuasaan, politik, ekonomi, dan seluruh segi kehidupan kita.

Kita harus kembali kepadanya –saat kita benar-benar kembali—dengan sikap menerima untuk dilaksanakan dan diamalkan, bukan sekedar untuk belajar dan mencari kesenangan rohani. Kita kembali kepadanya untuk mengetahui apa yang dituntut dari kita dan seharusnya kita bagaimana.

Dalam perjalanan itu, kita akan bertemu dengan keindahan seni dalam Al Quran, kisah-kisah yang agung, deskripsi hari kiamat, logika emosi dan seluruh hal yang dicari oleh orang yang mengkaji Al Quran untuk sekedar kajian dan mencari kesenangan. Namun kita akan menemukan hal itu dengan catatan bahwa itu bukanlah tujuan utama kita, karena tujuan utama kita adalah untuk mengetahui apa yang dikehendaki oleh Al Quran bagi kita untuk diamalkan dan diwujudkan? Apa pola pandang yang dikehendaki oleh Al Quran untuk kita miliki? Apa kehendak Al Quran tentang bagaimana seharusnya perasaan kita terhadap Allah SWT dan apa kehendak Al Quran tentang bagaimana seharusnya akhlaq kita, kondisi kita, dan sistem kehidupan kita?

Kemudian kita harus membersihkan diri kita dari tekanan masyarakat jahiliah, pola pandang jahiliah, tradisi jahiliah, dan kepemimpinan jahiliah dalam diri kita. Tugas kita bukan untuk berkoeksistensi dengan realitas masyarakat jahiliah ini, juga bukan untuk memberikan loyalitas kepadanya. Karena dengan sifat seperti ini, yakni sifat jahiliah, ia tidak boleh kita ajak berdamai. Tugas kita adalah pertama mengubah diri kita, kemudian mengubah masyarakat kita.

Tugas utama kita adalah mengubah realitas masyarakat kita. Tugas kita adalah mengubah realitas jahiliah ini dari akarnya. Realitas yang berseberangan secara diametral dengan manhaj Islami dan pola pandang Islam, yang menghalangi kita dengan kekuatan dan tekanan untuk hidup sesuai dengan yang dikehendaki oleh manhaj Ilahi bagi kita.

Langkah pertama dalam jalan kita ini adalah menciptakan jarak dengan masyarakat jahiliah ini beserta nilai-nilai dan pola pandangnya. Kita jangan sampai mengubah nilai-nilai dan pola pandang kita sedikitpun agar bertemu dengannya di pertengahan jalan. Karena kita bersimpangan jalan dengannya sehingga satu langkah saja kita mengikuti jalannya niscaya kita akan kehilangan manhaj dan jalan kita.

Tentu kita akan menemukan kesulitan dan kepayahan dalam jalan ini dan menuntut pengorbanan yang besar dari kita. Namun kita tidak memiliki pilihan lain jika kita ingin mengikuti jalan generasi pertama Islam yang telah Allah SWT letakkan mereka dalam manhaj IlahiNya dan telah diberikan kemenangan atas manhaj jahiliah.

Seharusnya kita selalu mengetahui sifat manhaj kita ini, sikap kita dan sifat jalan yang harus kita lalui untuk keluar dari kejahiliahan seperti keluarnya generasi istimewa itu. || DH

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *