Pernyataan TGB agar menghentikan penggunaan kutipan ayat-ayat perang, perlu dikritisi. Semua ayat-ayat Al Quran adalah pelajaran bagi kehidupan kita. Termasuk ayat perang dan damai. Orang-orang Cina menggunakan filsafat perang Sun Tzu dalam kehidupannya, kaum Muslim menggunakan filsafat Al Quran dan kehidupan Rasulullah saw.
Wartapilihan.com – “Tolong berhentilah berkontestasi politik dengan mengutip ayat-ayat perang dalam Al-Qur’an. Kita tidak sedang berperang. Kita ini satu bangsa. Saling mengisi dalam kebaikan,” ucap TGB yang dikutip dari akun Instagram TGB, @tuangurubajang, yang dikutip Jumat (6/7/2018).
TGB meminta agar sikap politik yang berbeda dianggap sebagai upaya berbuat kebaikan. Menurut dia walau pilihan berbeda, namun tujuannya tetap sama, yaitu menginginkan hal yang baik bagi Tanah Air.
“Kalau kita kontestasi politik, letakkan itu dalam fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Letakkan itu dalam lita’arafu (untuk saling mengenal). Beda-beda, tapi semangatnya adalah untuk ta’aruf, saling mengisi dan saling belajar,” kata dia.
Demikian dikutip dalam Liputan6.com. (https://www.liputan6.com/news/read/3581206/tgb-berhentilah-berpolitik-dengan-mengutip-ayat-ayat-perang)
Pernyataan TGB ini perlu dikritisi. Sebab, dalam dunia politik yang terjadi adalah adu kepentingan. Masing-masing kelompok ingin mengegolkan kepentingannya. Bukan hanya dalam politik, dalam bisnis pertarungan itu juga terjadi.
Misalnya dalam perebutan jabatan presiden, gubernur dan lain-lain, maka pertarungan itu terjadi. Alhamdulillah Indonesia dalam kondisi damai, sehingga pertarungan itu dilaksanakan dalam suasana demokratis. Masing-masing partai atau kelompok menggunakan cara-cara damai untuk menyalurkan aspirasinya. Dan aspirasi itu biasanya cenderung pada latar belakang agama, suku, kelompok atau lainnya.
Orang-orang Cina cenderung memilih pemimpin Cina, orang-orang Islam cenderung memilih pemimpin Muslim, orang-orang Kristen cenderung memilih pemimpin Kristen dan seterusnya. Di samping tentu saja kapabilitas dan akhlak pemimpin itu yang dilihat.
Dalam perebutan kekuasaan (termasuk penyusunan undang-undang dll) terjadilah pertarungan. Masing-masing ingin mengegolkan aspirasinya. Pertarungan itu dalam kehidupan demokrasi terjadi di media massa atau kehidupan riil masyarakat.
Sebagian pihak menggunakan uang dan media massa untuk mempengaruhi massa. Selain itu digunakan juga khutbah jumat, pidato di gereja, kelompok-kelompok pengajian dan lain-lain.
Bisnis mirip dengan politik. Politik ingin mempengaruhi massa. Bisnis ingin mempengaruhi konsumen. Orang-orang Cina dan banyak orang menggunakan filsafat ahli perang Sun Tzu dalam bisnis dan politiknya. Diantara filsafat perang Sun Tzu :
Perbandingan jika pasukan kita berhadapan dengan musuh :
Jika pasukan kita 10 : 1 dari musuh = Kepung dan serang
Jika pasukan kita 5 : 1 dari musuh = Pecahkan dan bagilah musuh lalu serang
Jika pasukan kita 2 : 1 dari musuh = Menyerang 2 arah
Jika pasukan kita 1 : 1 dari musuh = Dahului perang
Musuh sedikit lebih besar = bertahan
Musuh lebih besar = Berkelit dari serangan
Musuh jauh lebih besar = Mundur
Orang-orang Cina dengan filsafat Sun Tzu ini banyak yang berhasil menguasai bisnis. Dan dengan bisnis biasanya mereka menguasai politik di sebuah negara. Para kepala negara atau pemimpin pemerintahan biasanya takluk dengan godaan uang (sogok, bantuan gelap, hutang dan lain-lain).
Maka, tidak heran bila ahli politik Islam juga mengembangkan filsafat kehidupan dari Al Quran. Al Quran sangat mementingkan perdamaian. Bahkan kata Islam sendiri bermakna selamat, damai. Kaum Muslim hanya akan berperang (fisik) bila mereka diserang terlebih dahulu.
Karena itu tokoh-tokoh politik Islam, seperti Syekh Yusuf Qaradhawi, Abul Ala Maududi dan Mohammad Natsir menerima demokrasi. Demokrasi yang berketuhanan (Ilahiyah) bukan demokrasi liberal yang mencampakkan nilai-nilai Ilahiyah.
Ayat-ayat perang dalam Al Quran bisa diambil kajian filosofisnya untuk kehidupan damai. Sebagaimana kaum Cina menggunakan filsafat perang Sun Tzu untuk kehidupan damai.
Coba simak ayat berikut :
“Diwajibkan atas kamu berperang. Padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS 2/216).
Jadi berperang itu wajib. Baik perang fisik, seperti negeri kita dijajah jaman dahulu, atau perang pemikiran ketika dalam kondisi damai.
Perang pemikiran dan berfikir kritis dibutuhkan dalam situasi damai. Debat, dialog mencari pemikiran terbaik dibutuhkan dalam bisnis dan kehidupan. Para sahabat Rasulullah saw mempraktekkan kehidupan demokratis ini. Lihatlah Rasulullah saw bagaimana sering berunding dengan sahabat-sahabatnya, Sayidina Umar dikritisi sahabatnya ketika ceramah. “Ya Umar, bila tidak kau terangkan darimana jubahmu itu, maka pedang akan menebasmu.” Maka sayidina Umar (yang tinggi besar) kemudian menjelaskan bahwa jubah yang dikenakannya itu berasal dari jatah kain anaknya.
Lihatlah bagaimana kaum Muslimin menggunakan filsafat Perang Badar dalam Pilkada Jakarta yang lalu. Kekuatan kaum Muslim di Indonesia minoritas, mereka menguasai jaringan media, ekonomi, jaringan birokrasi, jaringan ahli survei dan lain-lain. Tetapi dengan semangat Perang Badar akhirnya kaum Muslim menang.
Bila kaum Muslim tidak menggunakan filsafat perang dalam Al Quran, maka kaum Muslim akan kalah. Karena mereka menggunakan filsafat perang Sun Tzu dalam perang dan bisnis. Termasuk dalam Pilpres 2019 nanti. Wallahu azizun hakim. II
Izzadina