Festivalisasi OTT, Bambang Soesatyo: Penangkapan Atau Jebakan?

by
Foto: Istimewa

Penyergapan sejumlah kepala daerah melalui operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK lebih mencerminkan kegagalan sistem pencegahan korupsi.

Wartapilihan.com, Jakarta –Ketua Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo mengungkapkan, pemberantasan korupsi yang terfokus pada penindakan tidak akan mereduksi praktik korupsi, baik sekarang maupun yang akan datang. Maka, sambil melanjutkan kegiatan penindakan yang berkualitas, KPK perlu memberi prioritas pada sistem pencegahan korupsi.

“Cukuplah sudah KPK bertindak seperti polisi lalu lintas yang bersembunyi di semak-semak di tikungan jalan untuk mendapat tangkapan (OTT) pengendara yang melanggar rambu lalu lintas. KPK adalah burung Garuda yang mangsanya besar-besar. Bukan burung perkutut,” jelas Bambang Soesatyo

Sudah saatnya, kata sekretaris partai Golkar itu, KPK melakukan langkah-langkah besar dengan menangani pekerjaaan atau kasus-kasus korupsi besar yang tidak bisa diselesaikan atau dipecahkan di Kepolisian maupun di Kejaksaan.

“Kalau hanya mengandalkan OTT saja, ya kasihan negara ini. Ibarat menembak nyamuk pakai meriam,” ungkap sapaan akrab Bamsoet.

Sebab, lanjutnya, negara telah mengeluarkan dana yang sangat besar bagi gaji para penyidik, pimpinan dan pegawai KPK. Termasuk biaya operasional, tunjangan, fasilitas sarana dan prasarananya serta kewenangan yang luar biasa dibandingkan dengan dua institusi penegak hukum lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan.

“OTT itu ‘murah meriah’. Jadi, Kalau KPK hanya menggelar OTT-OTT saja sebagai festivalisasi pemberantasan korupsi, tidak bisa dihindari adanya kesan KPK mau gampangnya saja karena hanya melakukan tindakan atau operasi ‘murah meriah’. Dan itu tidak akan akan memberi efek jera yang signifikan. Lihat saja data, selama 15 tahun KPK berdiri praktik-praktik koruptif semakin marak hampir disemua lini kehidupan bangsa ini,” jelasnya.

Diketahui, KPK telah puluhan kali melakukan OTT. Target OTT pun tidak tanggung-tanggung. Ada sosok Akil Mochtar yang disergap saat masih menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. Ada pula sosok Patrialis Akbar yang disergap saat masih menjabat Hakim Konstitusi. Lalu ada sosok Irman Gusman yang disergap saat masih menjabat Ketua DPD. Belum lagi penyergapan terhadap oknum hakim, oknum Jaksa dan penegak hukum lainnya, termasuk oknum pejabat di Mahkamah Agung (MA). Terakhir, sasaran bergeser Bupati dan walikota terutama yang berasal dari PDIP dan Golkar.

“Bagi masyarakat pada umumnya, target-target besar yang berhasil dijaring KPK itu menjadi bukti bahwa KPK memang tidak pandang bulu. Secara psikologis, kinerja KPK itu mestinya membuat siapa pun takut atau jera. Sayang, nyatanya efek jera tidak pernah muncul. Sebaliknya, oknum pemerintah dan oknum anggota parlemen terus bertambah,” tukas dia.

Menurutnya, tidak adanya efek jera itu tampak sangat jelas dari rentetan OTT oleh KPK dalam beberapa pekan belakangan ini, Sabtu (16/9) pekan lalu, giliran Walikota Batu yang berasal dari PDIP yang terjaring OTT KPK. Dimana sebelumnya Bupati Batubara dari Golkar yang kena OTT. Bisa dipastikan bahwa akan ada lagi oknum pemerintah yang terjaring OTT KPK.

“Yang menjadi pertanyaan kita adalah, apakah OTT telah melalui prosedur hukum yang benar sebagaimana diatur dalam UU. Sebab, apa yang kerap terjadi dalam berbagai penangkapan itu benar-benar OTT atau jebakan?,” tanyanya.

Sebab, dia meyakini, apa yang dilakukan KPK sebelum penangkapan itu terjadi tidak mungkin tanpa penyadapan, perekaman, infiltrasi atau bahkan penyusupan. Para target operasi tersebut, imbuh Bamsoet, sebelum terjadinya penangkapan dalam OTT, jelas belum ada status kasusnya. Apakah itu tingkat penyelidikan atau tingkat penyidikan. Padahal dasar untuk ‘penyadapan’ itu sebagaimana diatur dalam SOP KPK harus pada status penyelidikan (adanya bukti awal yang cukup) dan ditandatangani sekurang-kurangnya tiga dari lima pimpinan KPK yang ada.

“Jadi, bagaimana bisa menyadap atau OTT padahal tahapan penyelidikan saja belum. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah telah terjadi penyadapan liar atau illegal interception di KPK? Jika benar, hal ini adalah kejahatan. Sebab, apapun alasannya, tindakan memata-matai itu dilarang. Negara asing tidak boleh melakukan mata-mata atau interception dengan alasan apapun termasuk alasan demokrasi, alasan HAM, alasan pemberantasan korupsi atau alasan pemberantasan narkotika,” Bamsoet menerangkan.

“Kalau asing saja dilarang, masak KPK dibiarkan untuk menyadap warga negaranya sendiri? Itu sama saja Kita belum merdeka. Kita hidup dalam ketakutan dan kecemasan. Takut dan cemas setiap saat diintai, disadap dan direkam. Inilah titik rawan mengapa kita harus terus kritis dan tegas dalam hal pengawasan terhadap KPK agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang untuk tujuan tertentu diluar hukum,” tambahnya.

Mantan aktivis HMI itu berpendapat, jumlah penindakan atau OTT tidak bisa dijadikan satu-satunya tolok ukur keberhasilan pemberantasan korupsi. KPK, kata dia, perlu memberi prioritas dan fokus pada sistem pencegahan. Dalam merumuskan program pencegahan korupsi, KPK tidak mungkin bisa bekerja sendiri. Minimal, KPK harus bekerjasama dengan inspektorat jenderal pada institusi kementerian serta inspektorat daerah pada tingkat pemerintah daerah. Sudah 15 tahun KPK diberi tugas memerangi korupsi. Namun, pemberantasan korupsi baru sampai pada tahap penindakan. Banyaknya jumlah penindakan pun seharusnya dilihat sebagai aib atau kegagalan pemberantasan korupsi itu sendiri.

“Efek jera sangat minim karena peluang melakukan korupsi masih sangat terbuka. Peluang melakukan korupsi mestinya bisa diminimalisir jika ada sistem pencegahan yang efektif,” tutupnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *