WARTAPILIHAN.COM, Jakarta – Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah urun bicara soal ditetapkannya Habib Riziq Shihab (HRS) yang dituduh menyebarkan konten berbau ponografi melalui akun media sosia Whatsapp (WA). Menurutnya, penyebar konten pornografi di ruang publik itu yang seharusnya di kejar, bukan kemudian orang yang diduga berkomunikasi privat.
“Saya lebih cenderung pemerintah tidak mengikuti logika seperti ini, apalagi itu percakapan pribadi orang yang belum tentu benar di dalam kondisi sosial media saat ini yang sangat dahsyat,” kata Fahri Hamzah di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat.
Sebab, lanjut Fahri, apabila hal itu dibiarkan, tidak menutup kemungkinan bisa memunculkan chaos, karena di Whatsapp termasuk para pejabat polisi sekalipun biasa mengirim gambar lucu-lucuan seperti itu.
“Saya tahu itu, karena suka nyebar ke kita juga itu. Nah, kalau kemudian itu yang mau di kriminalisasi terhadap Habib Rizieq maka berlaku juga bagi semua orang lain, karena dalam UUD kita pasal 27 segala warga negara bersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,” lanjut politisi yang ikut membidani gerakan KAMMI pasca reformasi 98.
Fahri mencontohkan, ada suami istri yang komunikasi privatnya seperti itu, dia kirim fotonya ke istrinya dan sebaliknya, apa kemudian itu harus di kriminalisasi
“Tidak boleh lah! Jangan kemudian negara masuk ke ruang itu, yang nantinya membuat negara kewalahan sendiri,” tandasnya.
Senada dengan hal itu, Ketua Tim Advokat Pembela Ulama dan Aktivis (APUA), Eggi Sudjana mempertanyakan sikap Kepolisian yang dengan mudah mendapatkan data dan membuka chat Whatsapp dalam konteks ilmu hukum.
“Menurut sepengetahuan saya, untuk buka chat WA ini Nggak gampang kecuali hanya dengan megang hp membuka foldernya di hp itu, itu yang paling gampang, tetapi kalau konteksnya buka data katanya punya alat bukti, dapet dari mana alat buktinya dia? Kalau Nggak dari hp-nya Firza,” tanya Eggi Sudjana.
Diketahui, sejak tanggal 2 Desember Firza Husein ditangkap aparat Kepolisian karena dituduh akan melakukan pemufakatan jahat -makar- dengan menunggangi Aksi Bela Islam 212. Selain Firza, aktivis dan tokoh nasional lain ikut di jemput paksa oleh Kepolisian seperti Kivlan Zein, Rachmawati Soekarnoputri, Sri Bintang Pamungkas, Jamran, dan lain sebagainya.
“Pertanyaannya bagaimana bisa muncul ini setelah hp-nya Firza ditahan penyidik. Menurut ilmu hukum, data yang diperoleh dengan cara tidak benar itu bukan alat bukti, tidak bisa dijadikan alat bukti karena alat bukti digital ini sangat rapuh. Rapuhnya apa? Gampang berubah, di simpan dalam waktu lama, kemudian di buka lagi terganggu wifinya, internetnya dan lain sebagainya itu bisa berubah, jadi kalau perlakuan alat bukti dikaitkan dengan cara cara penangannya seperti pidana biasa maka batal demi hukum. Sebab, alat bukti yang disita sampai nanti di Pengadilan tidak boleh berubah, tidak boleh ada pemodifikasian,” tegasnya.
Eggi melihat, aplikasi WA berbeda dengan telepon dan SMS, kalau telepon dan SMS menggunakan provider. Jaringannya bisa di datangi ke Indosat, Telkomsel dan lain-lain. Tetapi kalau WA tidak bisa karena datanya miliaran, bahkan sudah mendunia. Butuh ribuan tahun untuk memilah-milah, butuh tenaga yang sangat dahsyat, mengapa polisi bisa mudah seperti itu?
“Jadi dari sisi pendekatan secara hukum karena ini merupakan wilayah privasi dan dibenarkan oleh hukum pasal 4 dan pasal 6 tadi kaitan tentang undang-undang pornografi maka tidak pantas dijadiin tersangka, orang itu gak ada masalah kok,” ungkapnya.
Advokat senior ini menyesalkan pernyataan Kapolda yang menyamakan kasus ini seperti yang terjadi pada Ariel dan Luna Maya beberapa tahun lalu. Pasalnya, kasus Ariel dan Luna Maya termasuk Cut Tari ada videonya dan melakukan pendekatan hukum dengan undang-undang IT.
“Kalau pakai UU IT siapa yang pertama menyebarluaskan, mengapluoad sampai hari ini polisi belum bisa ketemu anynomous istilahnya, tanpa identitas. Nah kok tanpa identitas bisa di jadikan sumber?,” tanyanya dengan nada heran.
Sebelumnya, pada Senin (29/5), Eggi Sudjana bersama kuasa hukum lain seperti Achmad Mihdan, Azam Khan melakukan konferensi pers di kantor DPP FPI Petamburan, Jakarta Pusat meminta Presiden Jokowi menghentikan kegaduhan ini dan upaya-upaya membenturkan umat Islam dengan aparat penegak hukum.
“Kalau ini terus berlarut berarti Presiden telah melanggar undang-undang, melanggar sumpah jabatannya, maka logikanya DPR harusnya berani panggil Presiden untuk di impeachment, kalau DPR Nggak pasti akan berimbas kepada title power, entah kerusuhan, entah apa kita gak tahu. Jadi itu dipastikan akan begitu karena keadilan tidak di temui,” pungkasnya.
Reporter: Satya Wira