Enam Kelemahan KPK yang Menjadi Sorotan

by
foto:istimewa

“Karena merasa di dukung opini publik, KPK kejangkitan penyakit solipsisme, penyakit memborong kebenaran dan merasa menjadi malaikat yang tak mungkin keliru. Semua salah, hanya KPK yang benar,” ujar Marwan.

Wartapilihan.com, Jakarta — Sejak berdiri tahun 2003, komisi pemberantasan korupsi (KPK) telah mengalami 6 (enam) kali pergantian ketua. Namun, di usia yang cukup matang, lembaga antirasuah tersebut menghasilkan prestasi underachievement.

Prestasi yang negatif itu tidak sesuai dengan asas-asas pendiriannya, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan profesionalitas. Prestasi negatif KPK itu dari waktu kewaktu jadi semakin berat. Demikian disampaikan peneliti IRESS Marwan Batubara di Komplek Senayan, Senin.

Marwan mengatakan, ada enam kelemahan KPK yang menjadi catatan. Pertama, KPK telah menjadi super body, pimpinannya selalu menolak setiap usulan perbaikan UU Nomor 30 tahun 2002 agar ada lembaga yang mengawasi kinerja KPK. Dengan kepandaiannya memainkan opini publik, setiap usulan perbaikan UU diatas selalu berhasil dikandaskan. Bahkan DPR kalah pamor dibandingkan KPK dimata opini publik.

Hal ini berakibat terjadinya proses pembusukan dalam tubuh internal KPK. Dapat dikatakan KPK berubah menjadi lembaga otoritarian dan tertarik ikut dalam permainan politik. Kelompok-kelompok yang berbeda vested interestnya saling bertabrakan dan akhirnya mcmperlemah dirinya sendiri. Kelompok-kelompok kepentingan dari luar KPK dapat mempengaruhi arah kebijakan KPK.

“Karena merasa di dukung opini publik, KPK kejangkitan penyakit solipsisme, penyakit memborong kebenaran dan merasa menjadi malaikat yang tak mungkin keliru. Semua salah, hanya KPK yang benar,” ujar Marwan.

Kedua, sejak dipimpin T. Ruki, penanganan berbagai kasus secara diskriminatif atau tebang pilih sudah terlalu kentara, namun penyakit yang satu ini makin lama makin akut.

Intervensi politik dari rezim yang sedang berkuasa telah jelas dibaca apalagi dimata masyarakat terpelajar. Nama-nama yang mencuat dalam fakta persidangan maupun yang diadukan oleh masyarakat, asalkan dinilai sebagai pendukung rezim, nama-nama itu pasti tidak diproses sama sekali.

Tetapi, nama-nama yang berasal dari kekuatan oposisi diletakkan didepan mikroskop KPK dan harus berhasil di tersangkakan, dijadikan terdakwa dan akhirnya terpidana. Proses hukumnya tentu semau-mau pimpinan KPK sendiri. “Keadilan sama sekali tidak dijadikan pertimbangan, padahal keadilan adalah esensi dari penegakan hukum,” kata Marwan.

Ketiga, sampai sekarang belum pernah KPK punya nyali untuk mengusut berbagai korupsi berskala mega. Korupsi yang berskala puluhan dan ratusan trilyun rupiah seperti skandal BLBI, skandal penjualan Indosat, skandal Bank Century dan berbagai grand corruption di dunia pertambangan dan perpajakan, skandal korupsi RS Sumber Waras, korupsi di Pelindo II, korupsi tanah Cengkareng dan lain sebagainya tidak akan disentuh oleh KPK.

“Kadang-kadang disentuh sebentar, agar KPK terlihat punya nyali, tetapi lantas menguap perlahan-lahan. Andaikata harus mengejar dan mengusut, yang ditangkap hanyalah rantai dibawah, sementara rantai diatas secara sengaja dan sistematis dilindungi dan dijamin aman. Ini tipikal permainan KPK,” ujarnya.

Keempat, proses pembusukan (decaying process) dalam tubuh KPK akhirnya terkuak ketika wartawan yang bergabung dalam Indonesialeaks membongkar skandal “buku merah” yang membuat heboh masyarakat. Besar kemungkinan destruksi dan mutilasi “buku merah” itu hanya puncak dari gunung es kebobrokan KPK.

Untuk menyelamatkan KPK dari gempuran wartawan yang jeli dan waspada dan yang menjalankan profesinya dengan benar, Agus Rahardjo terpaksa harus berkelit dalam kurun waktu dua bulan. Dia membuat dua keterangan yang kontradiktif yang berunsur kebohongan publik yang berhahaya. “Patutkah seorang ketua KPK melakukan silat lidah yang bemuansa kebohongan publik?,” tanyanya.

Kelima, menurut Mawan, KPK sudah total mati rasa dan tidak mampu memahami hakekat keadilan yang menjadi saripati penegakan hukum. Ia membandingkan penanganan kasus yang menimpa Irman Gusman (waktu itu Ketua DPD RI) dan Lutfi Hasan (Presiden PKS). IG mendapatkan risywah atau sogokan 100 juta rupiah dari seorang pebisnis, sementara LH mendapatkan 3,5 milyar rupiah dari pengusaha import daging.

Masing-masing dihadiahi hukuman penjara 4,5 tahun dan 17 tahun dan kini mendekam di Sukamiskin. Apa kesalahan mereka? Melakukan trading influence (dagang pengaruh). Dengan pengaruhnya masih-masing untuk melancarkan sebuah bisnis ilegal. Mereka diberi hukuman lumayan berat.

“Bandingkan dengan seorang super minister yang terang-terangan membela, bahkan pasang badan, untuk kelancaran tiga proyek mega yang menghina kedaulatan bangsa. Yang saham mayoritasnya berasal dari China. Proyek reklamasi Teluk Jakarta senilai 300 triliun, Proyek Meikarta senilai 280 triliun, dan proyek KA cepat Jakarta-Bandung senilai 90 triliun,” papar Marwan.

Keenam, KPK tidak pernah menunjukkan minat untuk menyelesaikan kasus penganiayaan yang menimpa Novel Baswedan, salah satu penyidik kunci KPK yang mencoba membongkar sebuah kasus besar. Agus Rahardjo bersikap pasif, sepasif sikap Kapolri dan Presiden Jokowi. TGPF yang diyakini oleh Komnas HAM dan banyak kalangan mampu membongkar dalang penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan yang menyebabkan cacat seumur hidup, dianggap tidak diperlukan lagi oleh Agus Rahardjo. Masyarakat bertanya, adakah konspirasi segitiga antara KPK, Kepolisian dan Presiden.

“Kejahatan terhadap Novel sudah berlalu 18 bulan lebih, mengapa trio pasif di atas tetap tidak berniat menyelesaikannya?,” tanya Marwan.

Marwan mengingatkan perlu upaya agar KPK tidak menjadi lembaga yang paling ulung dalam melakukan obstruction of justice. Sebagai lembaga, KPK tetap diperlukan, namun seluruh pimpinanya harus di overhauled, diturunkan segera. Seperti Ronald dan Harun. dua penyidik KPK yang merusak barang bukti berupa “buku merah“ telah dikembalikan ke instansi kepolisian sebagai institusi dari mana mereka berasal.

“Maka, Agus Rahardjo dan kawan-kawannya juga sebaiknya segera dipulangkan ke instansi masing-masing. Pemerintah dan DPR RI dapat berembuk mengganti pimpinan KPK yang baru, namun harus lebih hati-hati jangan menanduk batu yang sama kedua kali,” tandasnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *