Selain pembahasan AMDAL, nelayan juga tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan Raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Wartapilihan.com, Jakarta – menolak dilakukannya pembahasan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan Raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKS Pantura) yang akan dirapatkan DPRD DKI Jakarta. Sebab, Raperda disusun tanpa melibatkan partisipasi masyarakat terdampak.
“Hal ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dan peraturan DPRD DKI Jakarta nomor 1 tahun 2014 tentang tata tertib pasal 141 ayat 2 yang mengharuskan adanya masukan dari masyarakat,” kata Nelson dalam keterangan tertulisnya di depan DPRD DKI Jakarta, Rabu (26/7)
Selain itu, lanjut Nelson, Raperda disusun tanpa didasarkan adanya kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) Jabodetabekjur dan Rencana Zonasi Tata Ruang Laut kawasan strategis wilayah Jabodetabekjur yang saat ini belum diselesaikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Raperda tersebut sangat mengakomodir kepentingan pengembangan properti reklamasi, tidak memperhatikan keberadaan masyarakat pesisir, nelayan tradisional, termasuk nelayan pesisir bukan untuk kepentingan umum,” ungkap Nelson.
Menurutnya, Undang-Undang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan wilayah pesisir harus bertujuan untuk kepentingan masyarakat pesisir. Selain itu, Raperda bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan. Sebab, akan menghilangkan wilayah tangkap dan kehidupan nelayan.
“Raperda dengan cara-cara tidak terpuji melalui korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD Muhammad Sanusi, diduga masih melibatkan banyak anggota dewan lainnya. Diantaranya ketua DPRD DKI Jakarta yang di dalam persidangan diduga terlibat dalam upaya lobby bersama pengembangan reklamasi,” ujar dia.
Artinya, kata Nelson, tindakan ketua DPRD DKI Jakarta yang mengeluarkan surat tertanggal 20 Juli 2017 patut dicurigai sebagai bentuk keberpihakan kepada pengembang properti dibandingkan kepentingan rakyat dki Jakarta. Mengapa ketua DPRD hanya memfokuskan kepada kedua Raperda ini dibandingkan dengan Raperda lainnya?
“Usaha penyusunan Raperda ini sekaligus membuktikan bahwa reklamasi adalah proyek ilegal. Raperda ini seharusnya disusun dan disahkannya terlebih dahulu sebelum reklamasi dilakukan. Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya, akibat kepentingan bisnis maka yang terjadi reklamasi dijalankan dulu, baru Perda menyusul,” tandasnya.
Lebih jauh, pembangunan di wilayah pesisir, khususnya reklamasi, telah berdampak pada hilangnya akses masyarakat nelayan tradisional termasuk sumber-sumber kehidupan serta menghancurkan sistem sosial masyarakat dan meningkatkan ketidakadilan gender.
“Oleh karena itu, koalisi menuntut agar seluruh anggota DPRD DKI Jakarta menolak pembahasan Raperda Reklamasi yang diinisiasi oleh ketua DPRD DKI Jakarta dan menolak pembangunan pulau reklamasi di Teluk Jakarta,” pungkasnya.
Satya Wira