Setelah melalui jalan panjang berliku, akhirnya pada Kamis (24/5) malam, Pansus DPR RI dan pemerintah menyepakati poin akhir mengenai definisi terorisme.
Wartapilihan.com, Jakarta – Ketua DPR RI Bambang Soesatyo memberikan apresiasi tinggi atas kerja keras Panitia Khusus (Pansus) DPR RI dan pemerintah yang telah menyelesaikan pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
“Tinggal hari ini kita bawa ke sidang paripurna untuk di sahkan. Lebih kurang dua tahun pembahasan, akhirnya RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bisa kita selesaikan. Ini luar biasa sekali, karena Presiden minta Juni, kita berikan Mei. Saya ucapkan terimakasih kepada seluruh pimpinan dan anggota Pansus. Baik yang dari DPR maupun dari pemerintah yang telah bekerja keras,” ujar Bamsoet di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (25/5).
“Ini menunjukan kepada rakyat bahwa DPR RI dan pemerintah selalu dapat bersinergi dengan baik. Hal ini harus kita pertahankan demi kepentingan bangsa dan negara. Termasuk dalam penyelesaian RUU KUHP yang telah melewati 5 kali masa sidang dan kita targetkan selesai dalam dua kali masa sidang mendatang,” sambungnya.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI menjelaskan, ada berbagai kemajuan dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Antara lain mengenai konstruksi UU yang tidak hanya fokus pada pemberantasan melainkan juga mengedepankan tindakan pencegahan, peran TNI yang akan diatur dalam peraturan presiden, serta adanya perlindungan dan pemulihan kepada pelaku dan korban.
“Jika dibaca item pasal per pasal, tidak ada pasal karet yang bisa disalahartikan maupun ambigu dalam penggunaannya. Semua pasal sangat jelas dan terang benderang, karena pembahasaannya dilakukan secara mendalam dan komprehensif. Selain kepada tindak pemberantasan dan pencegahan, dalam UU ini juga ada hak pemulihan terhadap korban yang berkaitan dengan medik, psikososial, psikologi, kompensasi, dan restitusi,” paparnya.
Dengan begitu banyaknya keberhasilan yang dicapai, terutama dalam hal pemulihan korban, Bamsoet menilai RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai salah satu produk legislasi yang patut diacungkan jempol. Sebagai perbandingan, UU mengenai terorisme di Amerika saja tidak memuat penangangan terhadap korban.
“Berbagai keberhasilan yang terdapat dalam setiap pasal di UU ini merupakan ikhtiar kita bersama agar tindakan terorisme tidak ada lagi di Tanah Air. Sedini mungkin kita akan cegah munculnya kelompok ekstrim yang bisa menjerat saudara kita menjadi teroris. Karena pada dasarnya, baik pelaku maupun korban, mereka semua adalah saudara sebangsa yang perlu kita jaga. Insya Allah UU ini akan membawa kedamaian di Bumi Indonesia,” pungkasnya.
Untuk diketahui, konsep definisi terorisme alternatif kedua yang disepakati pemerintah dan DPR yaitu;
Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif politik, ideologi, atau gangguan keamanan.
Secara keseluruhan, perubahan di revisi UU Terorisme meliputi penambahan substansi atau norma baru untuk menguatkan peraturan dalam UU sebelumnya.
Wakil Ketua Pansus RUU Terorisme Supiadin Aries Saputra menyampaikan delapan poin penambahan substansi atau norma baru tersebut. Pertama, kriminalisasi baru terhadap berbagai rumus baru tindak pidana terorisme seperti jenis bahan peledak, mengikuti pelatihan militer atau paramiliter atau latihan lain, baik di dalam negeri maupun luar negeri dengan maksud melakukan tindak pidana terorisme.
Kedua, pemberatan sanksi terhadap pelaku tindak pidana terorisme baik permufakatan jahat, persiapan, percobaan dan pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Ketiga, perluasan sanksi pidana terhadap korporasi yang dikenakan kepada pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang-orang yang mengarahkan kegiatan korporasi.
Keempat, penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dalam jangka waktu tertentu.
Kelima, keputusan terhadap hukum acara pidana seperti penambahan waktu penangkapan, penahanan, dan perpanjangan penangkapan dan penahanan untuk kepentingan penyidik dan penuntut umum serta penelitian berkas perkara tindak pidana terorisme oleh penuntut umum.
Keenam, perlindungan korban tindak pidana sebagai bentuk tanggung jawab negara.
Ketujuh, pencegahan tindak pidana terorisme dilaksanakan oleh instansi terkait seusai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan BNPT.
Kedelapan, kelembagaan BNPT dan pengawasannya serta peran TNI.
Rumusan Tambahan
Selain itu, terdapat juga rumusan fundamental strategis dari hasil masukan berbagai anggota Pansus bersama Panja pemerintah. Hal tersebut termaktub dalam 12 poin yaitu sebagai berikut;
1. Adanya definisi terorisme agar lingkup kejahatan terorisme dapat diidentifikasi secara jelas sehingga tindak pidana terorisme tidak diidentikkan dengan hal-hal sensitif berupa sentimen terhadap kelompok atau golongan tertentu tapi pada aspek perbuatan kejahatannya.
2. Menghapus sanksi pidana pencabutan status kewarganegaraan. Hal ini dikarenakan sesuai universal declaration of human right 1948 adalah hak bagi setiap orang atas kewarganegaraan dan tidak seorang pun dapat dicabut kewarganegaraannya secara sewenang-wenang atau ditolak haknya untuk mengubah kewarganegaraannya.
3. Menghapus pasal yang dikenal oleh masyarakat sebagai pasal Guantanamo yang menempatkan seseorang sebagai terduga terorisme di tempat atau lokasi tertentu yang tidak dapat diketahui oleh publik.
4. Menambahkan ketentuan mengenai perlindungan korban tindak pidana terorisme secara komprehensif mulai dari definisi korban, ruang lingkup korban, pemberian hak hak korban yang semula di UU 15/2003 hanya mengatur kompensasi dan restitusi saja. Kini dalam UU Tindak Pidana Terorisme yang baru telah mengatur pemberian hak berupa bantuan medis rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santunan bagi korban yang meninggal dunia, pemberian restitusi dan pemberian kompensasi.
5. Mengatur pemberian hak bagi korban yang mengalami penderitaan sebelum RUU Tindak Pidana Terorisme ini disahkan. Artinya bagi para korban sejak bom Bali pertama sampai Bom Thamrin.
6. Menambahkan ketentuan pencegahan. Dalam konteks ini, pencegahan terdiri dari kesiapsiagaan nasional kontraradikalisasi dan deradikalisasi.
7. Memasukkan ketentuan bahwa korban terorisme adalah tanggung jawab negara.
8. Melakukan penguatan kelembagaan terhadap BNPT dengan memasukkan tugas, fungsi, dan kewenagan BNPT.
9. Menambah ketentuan mengenai pengawasan.
10. Menambah ketentuan pelibatan TNI yang dalam hal pelaksanaannya akan diatur dalam peraturan presiden dalam jangka waktu pembentukannya maksimal 1 tahun setelah UU ini disahkan.
11. Mengubah ketentuan kejahatan politik dalam pasal 5, di mana mengatur bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari kejahatan politik yang tidak dapat diekstradisi. Hal ini sesuai ketenuan UU 5/2006 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris.
12. Menambah pasal yang memberikan sanksi terhadap aparat negara yang melakukan abuse of power.
“Demikian beberapa kemajuan dalam pembahasan yang telah dicapai dalam pembahasan RUU ini. Perubahan terjadi juga dalam segi redaksional dan pasal dan ayat. RUU ini akan lebih sistematis,” ujar Supiadin.
Ahmad Zuhdi