Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada 19 Juli 2016, situs berita www.krjogja.com memuat berita dengan judul: “Perilaku Seks Pranikah Semakin Mengkhawatirkan.” Disebutkan, bahwa hasil RISET Kesehatan Dasar (RISKEDAS) di Indonesia tahun 2010 menunjukkan, 1% anak laki-laki dan 4% anak perempuan di seluruh Indonesia telah melakukan hubungan seksual sebelum usia 13 tahun. Beberapa bahkan ketika berusia di bawah 10 tahun.
Melihat fenomena ini, perlu ada upaya dalam mencegah dan mengatasi perilaku seks pranikah di kalangan remaja, salah satunya melalui intervensi berbasis keluarga dan sekolah.
“Keluarga merupakan faktor yang terutama dan utama mempengaruhi perkembangan remaja, walaupun dalam pertumbuhan dan perkembangannya juga dipengaruhi oleh teman sebaya, teman sekolah dan masyarakat. Salah satu bentuk keterlibatan keluarga adalah dalam bentuk monitoring parental,” ujar Linda Suwarni saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Kedokteran UGM.
Dalam disertasinya, Linda menyebutkan aspek-aspek monitoring parental yang dapat mencegah remaja melakukan perilaku seks pranikah, di antaranya pengetahuan parental yang meliputi keberadaan, aktivitas, dan teman-teman remaja, hubungan orang tua dengan remaja yang diindikasikan dengan kepedulian orang tua, kepercayaan yang diberikan, atau frekuensi komunikasi di dalam keluarga, serta kontrol parental yang terkait dengan pergaulan, jam malam, dan konsekuensi yang diterima remaja jika melanggar aturan/batasan yang sudah ditetapkan orang tua.
Terkait hubungan orang tua dan anak, hasil penelitian Linda terhadap remaja di Pontianak menunjukkan bahwa persepsi remaja terhadap pengetahuan parental, hubungan orang tua dengan remaja, komunikasi yang terjalin, serta kontrol perilaku dan kontrol psikologis masih rendah. Sebanyak 35,3% remaja menganggap hubungan mereka dengan orang tua mereka kurang baik, dan 57% remaja menganggap bahwa orang tua mereka sangat sibuk dengan pekerjaannya dan tidak memiliki waktu untuk makan malam bersama serta meluangkan waktu untuk bercerita.
Karena itu, ia pun menyarankan agar kedua orang tua dapat bekerja sama dalam melakukan pengawasan kepada anak remajanya sedini mungkin tidak hanya dengan mengetahui dan memantau keberadaan dan aktivitas remaja serta menyampaikan batasan dan aturan yang jelas, tetapi juga dengan menjalin komunikasi dan hubungan yang dekat dengan anak remaja melalui waktu kebersamaan dalam keluarga.
*****
Disertasi di UGM itu semakin menguatkan banyak hasil penelitian sebelumnya, bahwa bangsa kita memerlukan pendidikan keluarga yang baik. Dan ini sudah sangat mendesak; tidak dapat ditunda-tunda lagi. Masyarakat dan pemerintah perlu melakukan kampanye dan program besar-besaran untuk menerapkan konsep pendidikan keluarga.
Sebagai pemegang amanah kekuasaan, pemerintah sebaiknya membentuk satu kementerian khusus tentang pemberdayaan keluarga. Salah satu pilihannya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak diganti dengan Kementerian Pemberdayaan Keluarga. Fokus dari kementerian ini adalah memberdayakan suami-istri agar mampu menjadi guru keluarga yang baik bagi anak-anaknya. Bukan hanya perempuan yang perlu diberdayakan. Tapi, laki-laki juga perlu diberdayakan.
Di era disrupsi yang ditandai dengan dunia serba internet saat ini, institusi keluarga memegang peran penting dalam pendidikan anak. Dari keluarga, dari rumah kita masing-masing, kita bisa mendidik anak-anak kita agar menjadi manusia-manusia unggul, dengan gelar akademis formal, mulai S-1 sampai S-3.
Proses pembelajaran (transfer of knowledge) sudah bisa dilakukan dengan Open Online Courses. Tetapi, proses penanaman nilai, proses pendidikan akhlak mulia, harus tetap dilakukan oleh guru, terutama oleh para orang tua.
Dalam hal inilah, negara dituntut untuk hadir dengan program pendidikan keluarga yang unggul pula. Pendidikan bukan HANYA diarahkan agar anak-anak bisa mencari makan, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana anak-anak bisa menjadi orang baik.
Ilmu dan ketrampilan untuk bisa mencari makan termasuk yang harus dikuasai oleh anak-anak. Tetapi, yang lebih utama dan wajib dilakukan oleh para orang tua adalah mendidik anak-anaknya agar mengenal Tuhannya dan mengenal Nabi-Nya, serta mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Jadi, pendidikan keluarga yang diperlukan oleh bangsa Indonesia adalah pendidikan keluarga yang berbasis pada agama. Orang muslim mendidik anak-anaknya dengan pendidikan keluarga yang Islami. Begitu juga umat beragama lainnya. Jangan pendidikan keluarga disekulerkan, sehingga HANYA diarahkan bagaimana mengembangkan potensi anak untuk dapat bekerja mencari uang.
Semoga para calon presiden 2024-2029 lebih serius lagi dalam mengatasi masalah krisis pendidikan keluarga ini. Semoga. Amin. (Depok, 3 Januari 2024).