Wartapilihan.com, Jakarta – Dekan Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin mengatakan, salah satu nilai dasar bernegara yang belakangan ini mengalami tantangan dan ujian adalah soal keadilan dalam penegakan hukum. Contoh yang aktual saat ini ketika masyarakat nyaris kehilangan harapan dalam membaca arah penyelesaian kasus penistaan agama atas tersangka Basuki Tjahaja Purnama (Gubernur DKI Jakarta) yang sedang dalam proses persidangan di pengadilan.
.
“Harapan masyarakat bahwa majelis hakim yang memutuskan perkara ini, yang insya Allah akan dilaksanakan pada Hari Selasa 09 Mei 2017, memiliki kemerdekaan dalam menjatuhkan vonis sesuai dengan rasa keadilan dan fakta-fakta dalam persidangan sebelumnya,” tutur Ketua Umum Baznas periode 2005-2015 (dua periode) ini kepada Warta Pilihan pada Ahad (7/5).
Menurutnya, jika berbagai elemen masyarakat, terutama umat Islam, kembali menggelar Aksi Simpatik 5-5 (yang sudah dilaksanakan, Jumat 05 Mei 2017 yang berjalan dengan aman, baik, dan tertib) untuk menyampaikan aspirasi tegakkan hukum seadil-adilnya di bumi Indonesia ini, hal itu adalah sangat wajar dan tidak perlu dicurigai macam-macam.
Pemerintah dan penegak hukum diharapkan dapat memahami dan arif membaca situasi bahwa publik sudah bosan dan muak dengan kamuflase penegakan hukum yang pernah dialami bangsa ini di masa Orde Lama dan Orde Baru. Ketika politik berada di atas hukum, keadilan dalam hukum tidak bisa diharapkan akan terwujud,” sambung Dosen Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).
Lebih lanjut, kata Prof. Didin, negara Indonesia adalah negara hukum yang mengharuskan hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, dan hukum tidak boleh hanya tegas dan pasti terhadap kaum yang lemah, tetapi juga harus berani bersikap adil terhadap mereka yang memegang kekuasaan politik maupun kekuasaan ekonomi.
“Menegakkan keadilan yang paling sulit dan berat ialah terhadap kalangan elite dan disitulah terletak nilai jihadnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadits imam Bukhari dan Muslim, bahwa seutama-utamanya jihad adalah menegakkan kalimat haq pada penguasa yang dzalim (afdlalul jihadi kalimatu haqqin inda sulthonin jâirin),” terang Guru Besar Ilmu Agama Islam Institut Pertanian Bogor ini.
Sesuai konstitusi UUD 1945, negara Indonesia adalah negara hukum, dimana setiap warga negara sama kedudukannya dalam hukum, dan pemerintah (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) wajib menjunjung tinggi hukum. Mengutip amanat founding fathers NKRI, almarhum Mohammad Hatta, dalam bukunya berjudul Menuju Negara Hukum (1975) bahwa keinsyafan hukum dalam masyarakat dan rasa tanggungjawab sangat diperlukan untuk mempercepat tumbuhnya negara hukum yang sempurna. Sejalan dengan tumbuhnya negara hukum, maka kedaulatan hukum akan membatasi kekuasaan dari para penguasa.
“Kondisi faktual yang kita saksikan dan temukan dari waktu ke waktu, kedaulatan hukum seringkali tertatih-tatih menghadapi kepentingan di luar kepentingan hukum. Suatu keadaan ironis dan bertolak belakang dengan nilai dasar bernegara dan prinsip negara hukum yang secara teoritis dijunjung tinggi, namun kadangkala dilanggar dalam praktek, secara sadar dan sengaja,” tukas pria berkelahiran Bogor, Jawa Barat, 21 Oktober 1951.
Jika keadaan yang tidak ideal ini terus dibiarkan berlangsung, imbuh Prof. Didin, tanpa langkah serius untuk memperbaikinya, maka negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat) akan tetap menjadi cita-cita dan utopia sampai kapan pun, sementara yang dialami masyarakat ialah negara yang berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).
“Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH, seorang pejuang hukum Islam dalam pembentukan hukum nasional dan semasa hidupnya menjabat Ketua Muda Mahkamah Agung Republik Indonesia memberi perumpamaan menarik mengenai filosofi hubungan hukum dan masyarakat yang patut untuk direnungkan, Hukum itu dapat disamakan dengan udara bagi kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, yang kalau udara itu tidak lancar dan tidak bersih, masyarakat akan merasakan dampak negatifnya dan keresahan akan timbul,” ucap Professor yang pernah mendapat Bintang Jasa Utama dari Presiden RI, Joko Widodo pada 13 Agustus 2015.
Sejalan dengan makna ungkapan di atas, kehidupan berbangsa dan bernegara membutuhkan tegaknya supremasi hukum supaya terhindar dari sumber kekacauan dan praktik hukum rimba. Di negara yang benar-benar negara hukum sebagai landasan pengaturan masyarakat, tidak seorang pun yang kebal terhadap hukum. Begitu pula kekuasaan pemerintah di semua lapisannya dibatasi oleh norma-norma hukum.
“Dalam hadis yang lain, Rasulullah Saw memperingatkan bahwa Akan datang melanda umatku di mana pemimpin yang berkuasa berlaku bagai (sifat) singa, para pembantunya bagai (sifat) serigala, para ulamanya bagaikan (sifat) hewan, rakyatnya bagaikan (sifat) domba. Bisa dibayangkan nasib domba yang hidup di tengah tengah situasi demikian.
Rasulullah SAW pun menyatakan bahwa, Qadhi-qadhi (hakim) itu ada tiga golongan, dua golongan di dalam neraka dan satu golongan di dalam surga,” Prof Didin menerangkan.
Dua golongan hakim yang akan terjerumus masuk neraka ialah; Pertama, hakim yang telah mengetahui kebenaran dan keadilan, tetapi dia menyeleweng atau berbuat zalim dalam kekuasaan hukum yang dipercayakan kepadanya. Kedua, hakim yang menjatuhkan hukum tanpa pengetahuan tetapi malu untuk mengatakan bahwa ia tidak mengetahui tentang hakikat persoalan yang akan diputuskannya, sehingga ia memutuskan berdasarkan pada kebodohannya. Adapun golongan hakim yang akan masuk ke surga ialah hakim yang mengetahui hakikat perkara yang akan diputuskannya dan dia menetapkan putusan hukum tersebut sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
“Hadis di atas mengisyaratkan pentingnya ketertiban dalam masyarakat yang berlandaskan hukum, keadilan dan kebenaran. Pengalaman banyak membuktikan bahwa pemimpin yang mencari kekuasaan hanya untuk berkuasa, meski dibungkus dengan janji-janji untuk mensejahterakan rakyat, lebih banyak terjerumus menjadi penguasa tirani yang mempermainkan hukum sehingga menjadi sumber bencana bagi negaranya,” saran Sekretaris Majlis Pimpinan Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia.
Pemimpin adalah pelayan bagi seluruh rakyat yang dipimpinnya. Dalam makna dan substansi demikian, segala kebijakan dan keputusan yang diambil haruslah menjadikan kepentingan rakyat sebagai pertimbangan utama, bukan justru mendahulukan kepentingan pihak lain, misalnya kepentingan pemilik modal atau kepentingan pencitraan diri pemimpin, sementara rakyat hanya dijadikan obyek.
“Ummul Mukminin Siti Aisjah r.a berkata, saya mendengar Rasulullah Saw bersabda di rumahku ini, Ya Allah, siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu mempersulit pada mereka, maka persulitlah urusannya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah segala urusannya.” (HR. Muslim),” tukas Anggota Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia (MUI).
Pengasuh rubrik konsultasi zakat, infak, shadaqah (ZIS) di Republika ini mengingatkan, pemimpin bukanlah Malaikat yang tak pernah salah, sehingga kritik dan penyampaian aspirasi positif dan membangun tetap diperlukan. Penguasa yang anti-kritik yang positif dan membangun, hanya akan merugi dan membawa kerugian bangsa dan negaranya.
“Kita berdoa kepada Allah SWT, mudah-mudahan para pemimpin bangsa dan negara kita adalah pemimpin yang amanah dan jujur, mencintai keadilan dan kebenaran serta mencintai rakyatnya. Kita berdoa, mudah-mudahan para penegak hukum dikaruniai sifat amanah dan tanggungjawab untuk menegakkan hukum dengan seadil-adilnya,” tutupnya.
Reporter: Ahmad Zuhdi