“Hal ini menjadi cambuk bagi kita semua, pemerintah, swasta dan masyarakat untuk mewujudkan kedaulatan digital secara komprehensif,” ujar Sukamta.
Wartapilihan.com, Jakarta — Kisruh persoalan data center dalam revisi PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik (PSTE) kembali mencuat. Pasalnya, dalam draft revisi tersebut data center untuk data-data nonstrategis bisa ditempatkan di luar negeri.
Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengatakan, dulu saat debat kandidat Pilpres 2014, Presiden Jokowi pernah menyatakan membuat program aplikasi IT itu gampang, panggil programmer, dua Minggu selesai.
“Waktu itu kasusnya aplikasi data kependudukan menggunakan E-KTP. Pernyataan ini menyiratkan optimisme bahwa jika kita mau bersungguh-sungguh, kita bisa lho membangun ekonomi digital dalam negeri secara komprehensif, termasuk infrastruktur digital, payung hukum dan big data, jadi tidak hanya soal aplikasi IT saja,” ujar Sukamta kepada Wartapilihan.com, saat dihubungi, Selasa (30/10).
Jika mudah, lanjut dia, kenapa persoalan data center sampai sekarang masih berpolemik? Dan kenapa malah muncul keinginan pemerintah untuk merevisi PP PSTE dengan membolehkan data center di luar negeri untuk data-data nonstrategis? Padahal pemerintahan Jokowi-JK sudah berjalan 4 tahun.
“Harusnya, pemerintah jangan mengundang polemik lagi, tapi fokus membangun kedaulatan digital,” katanya.
Sekretaris Fraksi PKS ini menambahkan bahwa alasan membolehkannya data center di luar negeri untuk data-data nonstrategis tidak bisa diterima dengan logika kedaulatan digital.
Di dalam draft revisi PP tersebut jenis data diklasifikasikan menjadi data elektronik strategis seperti data pertahanan, keamanan dan intelijen. Ada juga klasifikasi data elektronik dengan risiko tinggi dan risiko rendah.
“Jika data strategis hanya disempitkan ke dalam urusan pertahanan, keamanan dan intelijen, bagaimana dengan data-data yang lain?,” tanyanya.
Data pengguna Facebook yang tempo hari sempat bocor saja, menurut Sukamta, sangat penting, padahal bisa jadi dalam klasifikasi revisi PP tersebut masuk dalam kategori data elektronik dengan risiko rendah.
“Intinya saya mau sampaikan bahwa semua data itu sangat penting, meskipun tidak strategis, sehingga tidak bisa begitu saja kita serahkan dengan penempatan data center di luar negeri,” tegasnya.
Menurutnya, data yang terlihat sepele bisa berubah menjadi data strategis, apalagi dengan kemajuan teknologi semakin canggih. Data-data yang terlihat sepele bisa diolah sedemikian rupa dengan algoritma menjadi data strategis untuk mengcapture pola tertentu dalam suatu negara.
Dari data strategis itu bisa diolah sedemikian rupa menjadi pengetahuan (knowledge management) yang sangat berguna dalam pengambilan keputusan atau kebijakan.
“Saya juga kurang sepakat dengan pola pikir bahwa Indonesia belum mampu jika semua data center diletakkan di dalam negeri, bisa tutup start up – start up yang ada,” ujarnya.
Menurut dia, justru hal ini menjadi cambuk bagi kita semua, pemerintah, swasta dan masyarakat untuk mewujudkan kedaulatan digital secara komprehensif.
“Kita harus punya big data yang kita olah sendiri. Kalau persoalan data center saja kita tidak bisa mandiri, maka bagaimana dengan big data nanti?,” ungkapnya, heran.
Seharusnya, simpul Sukamta, jika Indonesia dinyatakan belum sepenuhnya siap dengan data center full di dalam negeri, ya jangan menyerah dengan keadaan. Berusahalah sekuat mungkin untuk mewujudkannya, membangkitkan ekonomi digital di dalam negeri.
“Ini seharusnya menjadi momentum kita untuk tertantang mewujudkan kedaulatan digital,” harap Wakil Rakyat dari Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Ahmad Zuhdi