Dana Haji

by

Karena kekurangan dana untuk membangun negeri, Presiden Joko Widodo menginginkan agar dana haji yang tersimpan di pemerintah bisa diinvestasikan untuk pembangunan infrastruktur. Tidak seuai dengan akadnya.

Keinginan Presiden Joko Widodo itu disampaikan seusai melantik Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Istana Negara, Jakarta, Rabu (26/7/2017) pekan lalu.

Dalam kesempatan itu, Presiden juga mengemukakan bahwa cara seperti itu sudah dipakai di negara lain, sepeti Malaysia. Proyek-proyek infrastruktur tersebut, menurut Presiden Joko Widodo, antara lain, pembangunan jalan tol dan pelabuhan.

Sontak, ide sang Presiden itu mendapat tanggapan luas dari masyarakat, karena ini menyangkut dana umat yang besarannya mencapai Rp 100 trilyun. Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra dan Wakil ketua DPR Fadli Zon dengan tegas menolak ide tersebut. Sementara Menteri Agama, Lukman Hakim Saefudin, tentu saja, menyetujui ide sang Presiden.

Sekarang, mari kita ikuti alur logika yang lurus. Pertama, dana haji akan dipakai untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan tol dan pelabuhan. Ini memang proyek yang cukup menguntungkan jika tidak ada permainan dan korupsi di dalamnya. Tapi perlu diingat, bahwa jalan tol itu modalnya baru mulai kembali paling cepat 15 tahun setelah jalan dioperasikan. Begitu pula sarana pelabuhan, butuh waktu cukup lama untuk kembali modal. Padahal, dana tersebut untuk keperluan jamaah haji yang nota bene daftar tunggunya antara 6 sampai 10 tahun.

Kedua, mencontek ide Tabung Haji Malaysia. Jelas tidak sama. Ketika jamaah haji Malaysia setor uang ke Tabung Haji, akadnya jelas, uang tersebut akan diinvestasikan, dan keuntungannya untuk kepentingan jamaah. Karena itu, ongkos haji jamaah Malaysia lebih murah dibanding dengan jamaah Indonesia, selisihnya mencapai Rp 10 jutaan. Jamaah Malaysia mendapat pelayanan yang bagus, bisa setara dengan jamaah plus di Indonesia, dapat penginapan yang lebih dekat dengan Masjidil haram, dan seterusnya.

Sementara, ketika jamaah haji Indonesia menyetor ke Kementrian Agama, tidak ada akad seperti jamaah haji di Malaysia. Bahkan, jamaah haji Indonesia tidak tahu menahu, akan diapakan dana yang sudah disetor tersebut. Kalau untuk kepentingan jamaah, mestinya, yang sudah setor Rp 25 juta dan mendapat daftar tunggu sampai 10 tahun itu, akan mendapat kemudahan dan kemurahan. Faktanya, hal itu tidak terjadi. Kalau mau aman dan nyaman, ya ikut ONH Plus yang ongkosnya berlipat-lipat itu.

Ketiga, ada Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV Tahun 2012 yang, antara lain, menetapkan, Butir C.2: “Dana setoran BPIH bagi calon haji yang termasuk daftar tunggu dalam rekening Menteri Agama, boleh di-tasharruf-kan(dikelola -pen) untuk hal-hal yang produktif(memberikan keuntungan), antara lain penempatan di perbankan syariah atau diinvestasikan dalam bentuk sukuk.”

Di butir C.4 secara tegas disebutkan: “Dana BPIH calon haji yang masuk daftar tunggu, tidak boleh digunakan untuk keperluan apapun kecuali untuk membiayai keperluan yang bersangkutan.”

Jadi jelas sudah peruntukan dana jamaah haji Indonesia berbeda dengan dana jamaah haji Malaysia yang dikelola oleh Tabung Haji.

Keempat, ini menyangkut “suasana batin” umat Islam yang selama ini kurang mendapat “keramahan” dari pemerintah. Di tengah berbagai manufer pihak penguasa mengkriminalisasikan para ulama dan institusi keagamaan, di saat yang sama, dana umat dipakai untuk pembangunan infrastruktur. “Suasana batin” yang kurang nyaman ini tentunya kurang tepat jika muncul ide semacam itu. Wallahu A’lam.

Herry M. Joesoef

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *