Sepanjang tahun 2017, marak operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap aparatur pengadilan, termasuk hakim.
Wartapilihan.com, Jakarta –Praktik suap dan isu jual beli perkara di pengadilan menunjukkan persoalan tersebut tergolong sebagai masalah yang serius. Hal itu tentu saja menjadi catatan kelam bagi dunia peradilan mengingat hakim seharusnya dapat menjaga kewibawaan dan keluhuran martabat.
Sejak sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) digelar oleh Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) pertama kali di tahun 2009, kasus suap dan gratifikasi cukup mendominasi hingga sekarang. Dari 49 sidang MKH yang telah dilaksanakan, ada 22 laporan karena praktik suap dan gratifikasi, yaitu sekitar 44,9%. Praktik suap dan isu jual beli perkara ini juga selalu menghiasi sidang MKH pada setiap tahunnya. Demikian disampaikan Juru Bicara KY Farid Wajdi dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (4/1).
“Hal ini tentu menjadi keprihatinan dan sudah sepatutnya menjadi pembelajaran bagi semua pihak. KY mengimbau para hakim untuk senantiasa memegang teguh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Sebagai mitra kerja, KY juga mengapresiasi langkah pembinaan dan pembenahan yang telah dilakukan MA. Namun, KY berharap agar MA lebih tegas terhadap oknum yang telah mencederai kemuliaan lembaga peradilan,” ujar Farid.
Selain itu, kata Farid, KY mengajak untuk sama-sama menjauhi perilaku korupsi dengan menjadikan pengadilan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dengan sendirinya dapat mengembalikan kepercayaan publik sehingga peradilan bersih, bermartabat dan agung dapat terwujud.
“Selain kedua kasus tersebut, perselingkuhan-pelecehan juga termasuk yang banyak disidangkan dalam MKH, yaitu 17 perkara (34,6%). Pada tahun 2009 dan 2010 kasus perselingkuhan belum pernah digelar di sidang MKH. Namun, sejak tahun 2011-2017 laporan ini selalu ada. Bahkan, di tahun 2013 dan 2014 laporan ini mendominasi,” tuturnya.
Menurut dia, jauhnya penempatan tugas seorang hakim dari keluarganya ditengarai menjadi salah satu sebab maraknya pelanggaran kode etik berupa perselingkuhan di kalangan para hakim. Oleh karena itu, pola mutasi dan promosi hakim sebaiknya mempertimbangkan kebutuhan agar tidak terlalu jauh dari keluarganya. Selain itu, kenaikan tunjangan dan fasilitas para hakim juga ditengarai menjadi penyebab meningkatnya kasus perselingkuhan.
“Kasus lainnya yang disidangkan di MKH, antara lain: bersikap indisipliner (5 laporan), mengonsumsi narkoba (3 laporan), memanipulasi putusan kasasi (1 laporan), dan pemalsuan dokumen (1 laporan). Khusus di tahun 2017, KY dan MA menggelar 3 kali sidang MKH karena kasus penyuapan (1 laporan) dan perselingkuhan (2 laporan),” terangnya.
31 Hakim Diberhentikan dalam MKH
Sidang MKH merupakan forum pembelaan diri bagi hakim yang berdasarkan hasil pemeriksaan dinyatakan terbukti melanggar KEPPH dan direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian. Sepanjang MKH dilaksanakan pada tahun 2009-2017, sebanyak 31 orang hakim telah dijatuhi sanksi pemberhentian tetap.
Selain itu, sebaran sanksi MKH menunjukkan sebanyak 16 orang hakim dijatuhi sanksi berupa nonpalu 3 bulan s.d. 2 tahun, 1 orang dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis dengan akibat pengurangan tunjangan kinerja sebesar 75% selama 3 bulan, dan 1 orang mengundurkan diri sebelum MKH.
“Penjatuhan sanksi ini merupakan upaya penegakan KY dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Atas kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan, maka layak diberikan sanksi untuk menjerakan,” tegas Farid.
Dia menilai, penjatuhan sanksi tersebut menarasikan tidak ada toleransi atas perilaku curang sekaligus upaya memperbaiki dan membersihkan lembaga peradilan itu adalah agenda tak berkesudahan.
“Apapun jenis atau tingkatan sanksi sepatutnya tidak ada pilihan bahwa sanksi terdahulu mesti dijadikan sebagai pelajaran penting bagi setiap hakim,” terangnya.
Pengawasan dan Akuntabilitas
Pelanggaran KEPPH yang terus terjadi harus dipangkas dengan sistem pembinaan dan pengawasan yang efektif. Hal ini mengingat hakim adalah profesi yang mulia sehingga harus terus dijaga marwahnya dengan memegang teguh KEPPH sebagai pedoman.
Perlu dipahami, persoalan suap di lingkungan peradilan bukan sekadar persoalan klasik yang penyelesaiannya hanya dengan cara menjatuhkan putusan etik maupun pidana. Aparat peradilan memiliki sisi kemanusiaan yang juga membutuhkan pembinaan simultan dan siraman rohani untuk menghidupkan nurani yang kadangkala jauh dari nilai-nilai etis.
“Hakim tidak hanya didorong untuk meningkatkan keilmuan, tapi juga menyeimbangkan kekuatan nilai dan etika profesi hukum (transfer of value). Independensi peradilan harus diikat dengan pertanggungan-jawab (akuntabilitas), yakni dapat mempertanggungjawabkan pekerjaan profesionalnya kepada kebenaran ilmu pengetahuan, institusi, publik, hati nurani dan kepada Allah Yang Maha Kuasa,” tandasnya.
Pengawasan, simpul Farid, tentu lebih efektif apabila MA bersinergi dengan KY dalam upaya menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Pemberian sanksi hendaknya tanpa diskriminasi dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Pembinaan dan pengawasan yang efektif ini sebagai pintu masuk mewujudkan akuntabilitas publik tanpa mengganggu independensi hakim.
“Langkah pencegahan juga harus terus digalakkan dalam rangka menjaga kemuliaan profesi hakim. Agar setiap hakim dapat menginternalisasi nilai-nilai dalam KEPPH dan menjadikan KEPPH sebagai norma, maka perlu ada pelatihan bagi hakim yang bertujuan membentuk karakter hakim. Salah satunya melalui pelatihan KEPPH,” tutupnya.
Ahmad Zuhdi