Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Mr. Mohamad Roem, seorang diplomat ulung dan tokoh Islam Indonesia, pernah menulis artikel berjudul: “Poligami, Monogami, dan Perjanjian Nikah.” Artikel dibuka dengan kutipan kata-kata Presiden Sukarno yang menjelaskan mengapa ia mengawini Hartini.
“Dan mengapa aku mengawini Hartini? Alasannya sederhana saja. Alasan pokok yang telah berlaku sejak permulaan jaman, yang akan tetap berlaku sejak permulaan jaman, yang akan tetap berlaku jauh sesudah aku tidak ada lagi: aku bertemu dengan Hartini. Aku jatuh cinta kepadanya. Dan percintaan kami adalah begitu romantis, sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal itu.” Cerita yang begitu romantis dengan Hartini tidak bersifat ‘einmalig’, artinya tidak berlangsung satu kali saja. Cerita itu berulang lagi dengan Ratna Sari Dewi.
Itulah petikan tulisan Mr. Mohamad Roem tentang kisah poligami Presiden Sukarno. Artikel itu ditulis Mohamad Roem pada tahun 1973, dimuat di Harian Abadi, selama tiga kali (15, 17, dan 25 September 1973). Jadi, ditulis tiga tahun setelah wafatnya Presiden Sukarno. Cerita poligami Sukarno itu dikutip Mohamad Roem dari buku berjudul: Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.
Berkomentar terhadap poligami Sukarno, Mohamad Roem menulis: “Orang dapat menerima alasan itu, malah menghargainya sebagai kejujuran dalam mengisahkan pengalaman sendiri, sebagaimana terdapat dalam banyak resensi tentang buku itu di Amerika. Orang juga dapat mengatakan bahwa itu bukan cinta, melainkan hawa nafsu yang tak terkendalikan. Malah orang dapat mengatakan hal itu sifat “mata keranjang”. Tapi, bagaimana pun juga kenyataannya harus kita akui: Presiden Sukarno dalam keadaan sudah kawin dengan Fatmawati dan dianugerahi lima orang putra-putri, kawin lagi dengan Hartini.
Waktu ia kawin dengan Fatmawati alasannya lain, yaitu bahwa Inggit Garnasih tidak mungkin memberikan keturunan kepadanya, meskipun Sukarno dan Inggit sudah hidup bersuami-istri lima belas tahun lebih dengan bahagia. Bagaimana perasaan Hartini terhadap Sukarno bukan rahasia. Di berbagai-bagai majalah sudah dimuat wawancaranya, bahwa ia pun jatuh cinta pada Sukarno, malah jatuh cinta pada pandang pertama.
Dan karena mungkin juga begitu romantis, kira-kiranya orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal itu. Kemudian kisah berulang lagi, kali ini dengan Haryati.”
Kisah poligami Presiden Sukarno itu dijadikan pembuka artikelnya yang panjang, menurut Mohamad Roem, karena kasus itu sudah menjadi pengetahuan umum dan merupakan satu kenyataan. Sukarno yang besar memang hanya seorang, tapi Sukarno dalam ukuran kecil dan format sedang, tidak sedikit jumlahnya.
“Tapi benar yang dikatakan oleh Presiden Sukarno itu, poligami (yang legal atau tidak legal) di Barat atau Timur, ada sejak permulaan jaman dan akan ada sampai akhir jaman. Soalnya ialah, peradaban yang satu membiarkan yang tidak legal berjalan terus, dengan segala akibatnya, peradaban yang lain berusaha menampung kibatnya dengan sebaik-baiknya. Poligami bukan soal orang laki-laki saja, yang dapat dilarang atau dibatasi. Kalau tidak ada wanita yang bersedia dimadu, orang laki-laki tidak mungkin berpoligami. Dalam pada itu, wanita yang bersedia menjadi istri kedua atau ketiga, tidak selamanya terdorong oleh “cinta”, tapi banyak faktor-faktor antara lain desakan ekonomi,” demikian tulis Pak Roem.
Menurut Pak Roem, dipandang dari satu sudut, poligami merupakan suatu perlindungan untuk wanita. Bukan yang sudah kawin yaitu istri pertama, tapi wanita yang mempunyai potensi menjadi istri kedua, ketiga dan seterusnya. Masih terbuka alternatif untuk menjadi istri yang sah, dilindungi oleh hukum. Kalau tidak, hanya terbuka kedudukan sebagai simpanan dengan memikul kewajiban tapi tidak mempunyai tuntutan hukum.
“Poligami juga memberi jaminan kepada anak-anak, bukan anak-anak dari istri yang pertama saja, tapi anak-anak yang lahir dari perhubungan itu. Jika tidak dibuka kemungkinan poligami, maka konsekuensinya sangat besar bagi wanita dan anak-anak yang lahir dari perhubungan semacam itu,” tulis Mohamad Roem.
Pak Roem menulis artikel tentang poligami itu pada tahun 1973, ketika umat Islam sedang dihebohkan dengan RUU Perkawinan yang sekuler. Umat Islam melakukan protes keras dan akhirnya RUU itu dibatalkan. Lalu, pemerintah dan DPR melakukan perombakan cukup mendasar dan mengesahkan RUU Perkawinan pada tahun 1974.
Pak Roem menjelaskan perbedaan konsep poligami dalam peradaban Barat dan peradaban Islam. Barat memandang poligami sebagai bentuk merendahkan martabat wanita. Tapi, lama-lama ada juga orientalis yang mengakui, bahwa Islam memiliki ukuran-ukuran yang berlainan dengan ukuran dunia Barat. Islam membolehkan poligami terbatas dan memberikan kedudukan yang sama kepada para istri dan anak-anak dalam hukum.
“Tanggung jawab orang yang mempunyai istri lebih dari satu berlipat ganda. Inilah salah satu jalan yang efektif untuk mengerem daya “cinta” yang tidak dapat diberantas dengan larangan undang-undang. Tapi Islam yang membolehkan poligami, sangat tegas dan jelas dalam pengaturannya. Semua istri serta anak sama kedudukannya dalam hukum. Tiap-tiap hubungan di luar yang dibolehkan, dianggap tidak sah, dipandang suatu dosa besar,” tulis Pak Roem lagi.
Mohamad Roem menyatakan, bahwa ada perbedaan yag essensiil, yang pokok antara masing-masing peradaban, yang tidak dapat dipersatukan, dan juga tidak perlu dipersatukan. “Tapi, jangan yang satu dipaksakan kepada yang lain,” tegas Pak Roem. (Depok, 7 Juli 2024).