Bagaimana penjelasan pihak LPPOM terkait dibentuknya BPJPH oleh pemerintah beberapa waktu lalu.
Wartapilihan.com, Jakarta –-BPJPH sebagai badan yang dibentuk Pemerintah guna menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (JPH) diharapkan menjadl stimulan untuk membangkitkan dan menggairahkan perkembangan industri halal di Tanah Air yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
‘’Saya berharap BPJPH segera mengonsolidasikan tugas dan fungsi badan ini baik menyangkut perangkat kelembagaan, infrastruktur regulasi, prosedur kerja, Iayanan sertifikasi, sistem pengawasan maupun aspek pengembangan kerja sama domestik dan global,” ujar Menag Lukman Hakim Saifuddin dalam peresmian Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di Auditorium HM. Rasjidi Kementerian Agama, Rabu (11/10).
Namun, sebagian masyarakat memiliki asumsi bahwa hadirnya BPJPH, peran LPPOM bahkan MUI tidak ada dalam menjamin kehalalan suatu produk. Divisi Humas LPPOM MUI Faried menjawab anggapan seperti itu keliru. Sebab, kedua lembaga tersebut (BPJPH & LPPOM MUI) justru saling melengkapi.
“Dalam konteks BPJPH sebagai lembaga payung hukum pemerintah, (BPJPJ) akan melegalisasi sertifikat halal yang selama ini beredar, penataan administrasi dan tindakan hukum,” ujar Faried usai diskusi media gathering bersama Indonesia Halal Watch di Arabic Restaurant Jakarta – Sentral Al Jazeerah, Pramuka, Jakarta Timur, Kamis (28/12).
Sebab, lanjutnya, Undang-Undang sudah mengamanatkan bahwa sertifikasi halal sifatnya mandatory, maka wajib dilaksanakan oleh pelaku industri. Perusahaan yang tidak melakukan sertifikasi halal, maka dianggap melanggar Undang-Undang.
“Tindakan itu akan diambil oleh BPJPH. MUI sebagai lembaga yang memberi fatwa, fungsi dan perannya tetap seperti sekarang,” tuturnya.
Faried menyebut pada produk yang diajukan sertifikat halalnya, fatwanya tetap di MUI. Sementara itu LPPOM tetap menjalankan perannya sebagai pemeriksa halal. Perbedaannya, jelas Faried, apabika sekarang lembaga pemeriksa halal (LPH) hanya berada di LPPOM-MUI. Kelak, ketika UU JPH berlaku, maka akan banyak LPH lain seperti LPPOM MUI.
“Auditor kami tetap menjalankan fungsi seperti semula. LPPOM MUI memiliki partner yang banyak sekali untuk melakukan kajian penelitian kehalalan suatu produk. Seperti UI Halal Center, My Halal Kitchen, Halal Corner, dan lain sebagainya,” ungkap Faried.
Kendati pemeriksaan halal dilakukan oleh LPH selain LPPOM MUI, terang Faried, sertifikat halal tetap dikeluarkan oleh BPJPH setelah melalui fatwa dari MUI. Apabila memenuhi kajian syariah, maka MUI berhak mengeluarkan produk ini untuk diberikan sertifikat.
“Rangakaiannya, perusahaan mengajukan sertifikasi halal kepada BPJPH, BPJPH akan mendistribusikan pemeriksaannya kepada LPH, begitu selesai maka laporan ke fatwa MUI. Komisi fatwa MUI akan memeriksa proses dari kajian syariahnya,” papar dia.
“Kalau Badan POM akan dilibatkan dari sisi ke-thayyiban-nya. Saat ini, sebelum LPPOM MUI melakukan kajian, kita akan memeriksa secara legal apakah produk ini sudah mendapatkan izin beredar dari Badan POM. Setelah Badan POM mengeluarkan pernyataan produk memenuhi syarat kesehatan dan keamanan pangan, maka selanjutnya LPPOM akan memeriksa dari sisi kehalalannya,” imbuhnya.
Faried menjelaskan, pihaknya tidak akan melakukan pemeriksaan pengajuan sertifikasi, apabila tidak dilengkapi keterangan sehat dan thayyib dari Badan POM. Selain itu, dia mengatakan, LPPOM MUI adalah lembaga independen yang tidak dibiayai oleh negara dan tidak menjadi Aparatur Negara.
“Pembiayaannya kami kutip dari biaya. sertifikasi halal. Untuk satu sertifikasi berkisar antara Rp 1 sampai 1,5 juta. Sedangkan di luar itu, kami menyerahkan kepada perusahaan yang bersangkutan. Seperti sarana transportasi,” tukasnya.
Faried melihat animo masyarakat dalam menerima lahirnya BPJPH beberapa bulan lalu sangat tinggi. Hal itu dapat dilihat dari pengajuan di Komisi Fatwa MUI. Jika sebelumnya hanya 30-40 perusahaan per pekan, ini jumlahnya 60-80 perusahaan. Sebab, kata dia, produk halal tidak hanya baik dikonsumsi oleh muslim, tetapi juga non muslim. Terlebih, jika produsen pasif tentang kehalalan produk, maka Indonesia terus dibanjiri oleh produk dari luar negeri yang tidak jelas kehalalannya.
“Artinya ada kenaikan 30 sampai 50 persen atas minat perusahaan dalam melakukan sertifikasi halal. Sisi lain, yang tidak kalah penting adalah bargaining kita (Indonesia) dalam menempatkan halal sebagai kekuatan daya saing baik di tingkat global maupun regional. Tentu ini tugas seluruh stakeholder dan harus didukung penuh,” tutup Faried.
Ahmad Zuhdi