Bisnis Media Makin Tak Relevan?

by
Suasana seminar di Code Margonda, Depok Town Square, Jum'at malam, (12/10/2018). Foto: Eveline/Warta Pilihan.

Sejak munculnya media sosial di tengah masyarakat, benarkah peran media makin tidak relevan?

Wartapilihan.com, Jakarta — Di Indonesia, jumlah media terus berkembang pesat. Kini, terdapat 2.000 radio, 280 televisi lokal maupun swasta, dan 42.000 media online.

Menurut Kris Moerwanto selaku editor senior Jawa Pos Group, ia mengatakan, saat ini berbagai media semakin kompetitif karena pada saat bersamaan harus bersaing dengan media sosial.

“Sangat kompetitif media saat ini, semua mengejar iklan/readers, sementara semuanya gitu-gitu aja, pemasang iklan begitu aja. Objek yang sama yaitu pembaca, jadinya drama,” tutur Kris, Jum’at malam, (12/10/2018).

Ketika semua menjadi media, saat ini menurut dia, media berjualan konten (isi) untuk meraih angka pembaca dan bertujuan agar ada pihak yang berinvestasi iklan. Sedangkan saat ini, tegas dia, segmen tidak lagi bisa dibidik.

“Segmen adalah sekelompok orang memiliki profil atribut yg sama, dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, usia, dan lain-lain,” tuturnya.

Sekarang ini, tutur dia, kini semua media kini terpolarisasi 24 jam non stop, yang berbeda dengan zaman dulu, dimana informasi tersentralisasi di satu media, seperti TVRI. Kemudian masuk ke era desentralisasi, dimana konsumen menginginkan bacaan spesifik, seperti berita olahraga atau berita terkait ekonomi.

“Kini sudah enggak jelas, informasi yg didapatkan tidak lagi mengandalkan satu sumber. Ada problem berupa informasi overload jadi masing-masing media sekarang berebut untuk diperhatikan,” tegasnya.

Ukuran media online jaman sekarang, kata dia, untuk diperhatikan saja makin sulit, terlebih untuk dibayar (paid).

“Maka dari itu, kini terjadi hoax, fake news, post fact, post truth, enggak bisa lagi membedakan itu palsu, salah atau nggak. Gak bisa dibedakan dengan mudah, akibatnya dari sisi brand siapapun pemasang iklannya selalu memerhatikan brand safety,” tukas dia.

Ia menceritakan, dimana YouTube sering mengalami salah algoritma iklan, karena begitu crowded-nya informasi-informasi, hal tersebut berimplikasi pada mesin yang tidak bisa match pesan iklan dengan video yang mestinya cocok.

Problem kedua, menurut dia adalah fraud dimana tidak ada lagi pengukuran yg bisa dipercaya meski online. Hal yang makin memperparah, orang Indonesia cenderung mudah percaya soal apa saja yang media berikan.

Sementara itu, Ardhi Suryadhi, Wakil Pimred Detik.com mengatakan, media sosial justru bisa dimanfaatkan sebagai channel distribution untuk menyampaikan berita dari media.

“Media sosial punya guna banyak, ada basis potensial audience, ketika kita menghindari justru kita kehilangan potensial lost,” tegas Ardhi dalam kesempatan yang sama.

Di detik.com ia mengatakan, ada tim digital strategist mantau sosmed, memastikan konten kita sampai. Bikin campaign, adalagi sangat concern terhadap search engine.

“Judul yang sekarang lagi banyak dicari
Menggunakan google trend. Setya Novanto, Setnov atau Novanto. Ketika kita ketik ternyata paling banyak Setya Novanto. Kita pakai yang itu agar banyak yang view,” pungkasnya.

Di sisi lain, Deden Ridwan selaku founder Reborn Studios menjelaskan, dewasa ini bisnis film sangat menggiurkan karena banyak film yang booming berbasis buku novel terkenal.

“Semisal Laskar Pelangi, awalnya dari novel kemudian Habibie Ainun, ayat-ayat cinta, dibukukan difilmkan, 5cm juga, jadi sebenarnya sangat terkait. Intuisi buku atau film basisnya sama. Bagaimana kita melakukan kreasi konten itu. Ada pergeseran, film bagus sekarang karakter dramatik bukan otoritas film.

Industri buku gagasan, sekarang agak bergeser menjadi kekuatan cerita. Siapa yg memenangkan cerita, mana yang paling meyakinkan dan mengasyikkan. Saat ini ada pertarungan narasi. Story teller sangat penting,” pungkas dia.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *