Ramadhan akan segera pergi sebentar lagi. Menjelang Idul Fitri di hari ke-27 ini, akankah kita bersedih seperti bersedihnya langit, bumi dan malaikat?
Wartapilihan.com, Depok – Dalam sebuah hadits, Rasulullah shalallahu alaihi wa Sallam bersabda, “Apabila tiba akhir Ramadhan, ujar Nabi SAW dalam hadits dari Jabir RA, menangislah langit, bumi, dan malaikat”. Mereka berkata, ‘Musibah bagi umat Muhammad’. Sahabat lantas bertanya, “Musibah apa itu ya Muhammad?” Rasulullah SAW menjawab, “Musibah hilangnya Ramadhan, karena di bulan itu setiap doa dikabulkan, setiap sedekah diterima, setiap kebaikan digandakan, dan azab Allah dijauhkan”
Pengasuh Pondok Pesantren Madinatul Qur’an Indonesia, Dr. Syamsul Yakin, MA, menjelaskan, hadits ini menjadi ukuran kualitas puasa yang kita laksanakan. “Nabi memperingatkan, sedianya di akhir Ramadhan kita kian menginsyafi diri, kian merapat, mendekat ke Hadirat-Nya. Bukan justru bergembira, menyiapkan pesta-pora, dan merayakan kepergian Ramadhan dengan perasaan penuh kebebasan,” ujar Dr. Syamsul, hari ini (21/6), Depok.
“Benar Ramadhan berujung Idul Fitri dan saat itu kita beroleh bahagia. Tetapi Idul Fitri itu bukan penutupan puasa. Apalagi penghalal bagi semua tindakan hura-hura, kembali mengotori diri dan berbuat dosa,” lanjutnya.
Ia berkata, siapa yang di ujung Ramadhan ini bersedih seperti sedihnya langit, bumi, dan para malaikat? Dan siapa pula yang menganggap kepergian Ramadhan sebagai musibah?
“Pertanyaan ini hanya diri kita yang bisa menjawabnya. Tetapi, bisa juga kita bercermin pada teori al-Ghazali atau Ghazall’s Theory of Virtue tentang tingkatan orang-orang yang berpuasa.”
Dosen Universitas Syarif Hidayatullah ini menjelaskan, tingkatan orang yang puasa ada tiga tahapan. Pertama, puasa orang-orang awam atau masyarakat pada umumnya. Puasa model ini, menurutnya, sekadar menahan diri secara fisik-biologis mulai dari rasa lapar, haus, dan pemenuhan syahwat biologis. “Bisa jadi, kelompok ini akan merasa suka cita dengan berakhirnya Ramadhan karena terbebas dari belenggu. Puasa mereka baru sebatas ritual-formal yang miskin dari nilai-nilai spiritual. Baru sekadar membuat sehat jasmani, belum bertuah ruhani,” paparnya.
Kedua, yakni puasa kelompok orang-orang khusus. Puasa mereka sudah mampu mencapai tingkatan pertama dan dilanjutkan dengan memuasakan indera. Seperti puasa mendengar, melihat, mengendalikan tangan dan kaki, termasuk mengendalikan kata-kata. Ia mengutip hadits Rasulullah “Orang Islam, sabda Nabi SAW, adalah orang yang membuat orang lain selamat dari gangguan lidah dan tangannya” (HR. Bukhari)
Al-Quran surat Az-Zumar ayat 17-18 menegaskan, “Gembirakan hamba-hambaku, yang mendengarkan pembicaraan (yang bagus) dan hanya mengikuti yang paling bagusnya saja. Mereka itulah orang-orang mendapat petunjuk Allah dan mereka itulah orang-orang bijak.”
“Bisa dipastikan, kelompok kedua ini merasakan kesedihan yang mendalam begitu Ramadhan pergi. Bahkan mereka menginginkan Ramadhan sepanjang tahun. Seperti dinyatakan Nabi SAW: “Seandainya umatku tahu apa yang ada di bulan Ramadhan, pasti mereka menginginkan agar setahun itu bulan Ramadhan seluruhnya” (HR Ibnu Khuzaimah),”
Dan yang ketiga, puasa mereka yang super khusus, yakni puasa seperti tingkatan pertama dan kedua ditambah dengan “memuaskan hati-nurani”. “Inilah puncak tertinggi ibadah puasa yang menghasilkan kesadaran hati, kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam diri, dan kemampuan menjadi potret Tuhan di muka bumi,” ia melanjutkan.
Ia mengajak agar sadar bahwa tugas manusia sangat besar, yang menyeluruh dan tidak sederhana. “Saudaraku, mari kita bersadar diri dan belajar mengerti bahwa kita memanggul misi profetik yang holistik dalam hidup ini.”
“Puasa bisa menghantarkan kita untuk menggapainya. Inilah cita-cita tertinggi hidup kita dalam bahasa puitis al-Qur’an: “…Kemana engkau hadapkan wajahmu, di situlah wajah Tuhan…” (QS. al-Baqarah/2: 115),” pungkasnya. II
Eveline Ramadhini