Wartapilihan.com, Myanmar – Sejak pasukan keamanan menyapu desa-desa mereka di barat laut Myanmar pada akhir tahun lalu, sekitar 75.000 Muslim Rohingya telah melarikan diri dan melintasi perbatasan terdekat ke Bangladesh. Kini banyak dari mereka takut pihak berwenang di Myanmar akan membuat mereka tidak bisa kembali ke rumah.
Setidaknya sekali setahun, administrator lokal datang dari rumah ke rumah di desa-desa Rohingya dari utara negara bagian Rakhine. Administrator menyuruh setiap keluarga berbaris untuk memeriksa nama-nama mereka pada daftar resmi.
Nama-nama orang-orang Muslim yang ditemukan hilang maka akan dicoret menggunakan pena merah, kata warga Muslim.
Pemerintah mengatakan tidak menggunakan data jumlah warga untuk memaksa warga Rohingya keluar dari wilayah Myanmar dan tidak mengunakannya sebagai data daftar warga terbaru. Namun, para pejabat menegaskan bahwa warga yang namanya dicoret dari daftar akan menghadapi tindakan hukum berdasarkan undang-undang imigrasi jika mereka mencoba untuk kembali.
Muhammad Ismail (30) lolos dari kekerasan yang baru-baru ini terjadi dan sekarang tinggal di permukiman sementara di Bangladesh. Ayahnya mengatakan kepadanya melalui telepon bahwa para pejabat telah mengunjungi desa asalnya di Dar Gyi Zarin pada Januari. Para pejabat memeriksa warga yang masih berada di sana.
“Saya takut jika saya kembali, saya akan dipenjara,” katanya kepada Reuters, “Ini adalah hukum. Ini adalah bagaimana kita memahami aturan.”
Pendataan warga yang dilakukan di Myanmar ini adalah salah satu dari serangkaian langkah-langkah yang menurut aktivis HAM merupakan sistem apartheid terhadap 1,1 juta Rohingya yang tinggal di Rakhine Utara.
“Kami harus berdiri untuk foto bersama sebagai sebuah keluarga,” kata seorang pemimpin warga Rohingya yang tidak mau disebutkan namanya, “Mereka meminta (keterangan) mengenai anggota keluarga yang ada dan jika ada (anggota keluarga) yang hilang.”
Pihak berwenang juga telah mendata dan menandai bangunan untuk dibongkar karena diduga tidak memiliki izin yang berada di desa-desa Muslim. Warga Rohingya mengatakan bahwa gerakan mereka dibatasi jika mereka tidak menerima kartu identitas sementara yang baru.
Pemerintahan sipil yang terpilih secara demokratis, Aung San Suu Kyi, mengatakan bahwa skema kartu identitas akan memberikan minoritas Muslim lebih banyak hak. Akan tetapi, banyak warga Rohingya yang mengatakan bahwa mereka takut itu hanya tipu muslihat untuk menolak kewarganegaraan mereka.
Suu Kyi, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, telah dikritik oleh masyarakat internasional karena gagal menghadapi penganiayaan terhadap warga Rohingya di negaranya. Warga Myanmar yang mayoritas Buddha memandang warga Rohingya sebagai imigran ilegal yang tidak diinginkan dari Bangladesh.
Garis Merah
Angkatan bersenjata Myanmar meluncurkan tindakan keras di Rakhine Utara setelah pemberontak Rohingya menyerang penjaga pos perbatasan pada 9 Oktober 2016 lalu. Puluhan ribu orang melarikan diri dengan melintasi perbatasan selama kekerasan disebut oleh banyak lembaga kemanusiaan dan HAM terjadi pembunuhan massal dan pemerkosaan oleh angkatan bersenjata.
Kesaksian yang dikumpulkan oleh Reuters dari 10 warga dan pengungsi dan telah dikonfirmasi oleh dua pejabat pemerintah Myanmar menunjukkan upaya administrasi untuk mendata mereka yang telah meninggalkan sudah dimulai setelah serangan militer dimulai.
Pendataan warga biasanya dilakukan pada bulan Januari dan Februari.
Seorang pejabat imigrasi senior Rakhine Utara, yang menolak untuk diidentifikasi, mengatakan bahwa pendataan itu selesai tahun ini selain dari desa-desa yang paling parah dilanda konflik.
Namun, ia mengatakan bahwa para pejabat hanya menandai nama mereka yang hilang dengan pensil—bukan pena merah—dan menunggu perintah untuk menyelesaikan pendataan.
“Tahun ini, karena dikkhawatirkan dapat menciptakan konflik, kami telah menunda pendataan,” kata Kyaw Swar Tun, Direktur Departemen Administrasi Umum (GAD) yang berbasis di ibukota negara bagian Sittwe. “Kami sedang menunggu mereka untuk datang kembali.”
GAD mengawasi birokrasi lokal Myanmar secara luas dan dikendalikan oleh militer.
Ia menolak untuk menampilkan daftar tersebut karena kerahasiaan dokumen tersebut. Ia juga menolak untuk mengatakan kapan pendataan itu akan selesai. Namun, ia menambahkan, “Begitu mereka berada di daftar, mereka tidak bisa kembali.”
Pada hari Senin (13/3) pelapor khusus PBB untuk HAM di Myanmar, Yanghee Lee, memperingatkan adanya usaha menekan warga Rohingya, sebagaimana banyaknya warga yang mengungsi, bisa dilihat sebagai upaya untuk mengurangi jumlah warga Rohingya.
“Melakukan pendataan warga menunjukkan pemerintah (Myanmar) mungkin mencoba untuk mengusir penduduk Rohingya dari negara (Myanmar),” katanya kepada Dewan HAM PBB di Jenewa, “Saya sangat berharap bahwa ini tidak terjadi.”
Mayor Polisi Kyaw Mya Win mengatakan di kantor polisi Maungdaw, di Rakhine Utara, bahwa pihak berwenang di daerah akan mengajukan tuduhan terhadap mereka yang telah ditandai di dalam daftar.
“Orang-orang yang melarikan diri ke Bangladesh telah didakwa dengan tindakan imigrasi ilegal ketika mereka kembali ke negara itu (Myanmar),” katanya. Ia menolak untuk menguraikan dakwaan tertentu.
Kami Bukan Orang Asing
Administrasi sepanjang perbatasan Myanmar dengan Bangladesh sebagian besar ada di tangan paramiliter Polisi Penjaga Perbatasan (BGP).
Warga mengatakan bahwa segera setelah konflik meletus, BGP juga mulai mengidentifikasi bangunan di desa-desa Rohingya yang telah dibangun tanpa izin resmi, termasuk rumah, masjid, madrasah.
Seorang anggota GAD, Kyaw Swar Tun, mengatakan bahwa lebih dari 3.300 bangunan telah masuk dalam daftar untuk pembongkaran, namun ia mengatakan bahwa sejauh ini tidak ada bangunan yang dibongkar.
Min Aung, seorang menteri dan juru bicara pemerintah negara bagian Rakhine, mengatakan bahwa para pejabat telah memerintahkan penghentian pemeriksaan dan pendataan. Ia mengakui bahwa hal itu bisa menyebabkan ketegangan.
Namun, bangunan yang ilegal mereka harus dihancurkan, kata Min Aung, anggota Liga Nasional untuk Demokrasi. Ia mengatakan bahwa tindakan yang sama akan diambil di mana saja di negara ini.
“Pemerintah hanya membongkar bangunan liar, seperti toko, rumah, bangunan keagamaan, tetapi bangunan itu hanya gubuk, tidak bangunan yang benar-benar besar (permanen),” katanya.
Meskipun banyak Rohingya yang telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasai, kebijakan diskriminatif telah meninggalkan sebagian besar warga Rohingya tanpa identitas yang berlaku. Kartu sementara yang dikeluarkan pada 1990-an, yang memberi mereka hak suara, tidak bisa digunakan pada pemilihan tahun 2015.
Muslim di Rakhine Utara mengatakan bahwa mereka berada di bawah tekanan untuk menerima Kartu Verifikasi Nasional (NVC). “Jika kita tidak mengambil itu, kita tidak dapat melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya,” kata pemimpin komunitas.
Pemerintahan sipil Suu Kyi yang tidak bertanggung jawab atas keamanan dan tidak mengawasi BGP telah mendorong skema kartu identitas. Pemerintah mengatakan bahwa pemegang kartu akan dapat mengajukan permohonan kewarganegaraan.
Namun, Kyaw Hla Aung, seorang pengacara Rohingya di Sittwe, mengatakan bahwa skema itu merupakan sebuah bentuk untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai Rohingya—sebuah istilah dari warga Myanmar tidak mengakui kewarganegaraan warga Rohingya.
“NVC tidak berhubungan dengan kami. Itu untuk orang asing,” katanya.
Pejabat membantah bahwa pemerintah memaksa warga Rohongya untuk menerima kartu identitas tersebut.
“Hambatan tidak menghentikan orang-orang dari bergerak, tetapi mereka memeriksa NVC,” kata Menteri Negara Min Aung, “Kami tidak bisa membiarkan orang untuk bepergian tanpa dokumen.”
Demikian diwartakan Reuters. |
Reporter : Moedja Azim