Cara para ulama menyebarkan agama Islam di Jawa terbilang unik. Pasalnya, mereka tidak langsung berkhotbah, terlebih lagi berperang menumpahkan darah; melainkan mengajarkan tembang puji-pujian, yang sebagian disebut Suluk.
Wartapilihan.com, Depok – Ketua Paguyuban Budaya Suluk Nusantara, Bambang Wiwoho membagi kesukaannya untuk melestarikan budaya suluk Nusantara. Hal ini tercermin pada pembukaan pertama ‘Seri Kajian dan Latihan Seni Mocopat’ yang baru saja memasuki seri pertama, yakni Suluk Kidung Kawedar Sunan Kalijaga, Pupuh (bait) 1-3 yang dilaksanakan Sabtu lalu, 26 Agustus 2017.
Wiwoho (68 tahun) yang merupakan wartawan senior menjelaskan, penting untuk melestarikan budaya suluk Nusantara ini. Pasalnya, sejarah mengenai hadirnya suluk di Nusantara merupakan tombak yang menggambarkan era peralihan dari kepercayaan kepada roh-roh gaib dan agama Syiwa Buddha menuju Islam.
“Para ulama yang dimotori oleh Walisanga yang berdakwah pada abad XV – XVI, mengenalkan agama Islam antara lain dengan cara melengkapi gamelan Jawa menjadi seperti sekarang ini, menciptakan tembang-tembang baru, menggubah wayang menjadi versi Islam,” ujar Wiwoho, kepada Warta Pilihan, Selasa siang, di kediaman Wiwoho, Perumahan Depok Mulya I, Depok, (29/8/2017).
“Ajaran tembang-tembang Islami itu diberi nama Suluk, sesuai tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa,” lanjutnya.
Penulis buku ‘Islam Mencintai Nusantara’ ini melanjutkan, suluk berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti cara atau jalan. Dalam Tasawuf, suluk berarti jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Gusti Allah. Salah satunya, suluk yang dibawa oleh Sunan Kalijaga berupa Suluk Kidung Kawedar.
“Melalui pendekatan kebudayaan, khususnya kesenian antara lain tembang-tembang suluk tersebut, agama Islam dapat berkembang cepat di Pulau Jawa. Padahal diperkirakan para pendakwah Islam sudah tiba di Pulau Jawa sekitar abad sepuluh sampai sebelas, bahkan ada yang menyatakan sejak abad tujuh Masehi,” pungkas Wiwoho.
Lelaki kelahiran Pati ini berharap, budaya suluk Nusantara bisa dilestarikan, terutama oleh kaum muda. Supaya anak muda mengerti bagaimana asal-usul mereka. “Paguyuban ini terbentuk atas dasar kecintaan kepada budaya Jawa, dan keinginan untuk melestarikan kebudayaan Jawa maupun Nusantara. Maka, mudah-mudahan anak muda juga tergerak untuk melestarikannya,” tandas dia.
Eveline Ramadhini