Bahkan Sayidina Umar pun Terpana

by
Ilustrasi Sayidina Umar : tarbiyah.net

Wartapilihan.com – “Sa’id bin Amir adalah pribadi yang telah menukar kehidupan dunianya untuk meraih akhirat dan lebih mengutamakan Allah dan Rasul-Nya dari pada lainnya” (Sejarawan Islam)

Said bin Amir al-Jumahi adalah satu dari ribuan pemuda yang keluar menuju Tan’im yang terletak di dataran tinggi kota Mekkah karena panggilan para pembesar Quraisy untuk menyaksikan akhir perjalanan hidup Khubaib bin Adi R.A, salah satu sahabat Nabi SAW setelah mereka memperdayainya dengan tipu daya.

Masa muda yang sempurna dan semangat remaja yang menggelora membuatnya sanggup untuk menerobos pundak orang-orang yang sedang berkerumun, hingga mampu mensejajarkan dirinya dengan para pembesar Quraisy yang sedang ada di tanah lapang tersebut, seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, dan lainnya.

Posisinya ini memberikan ruang baginya untuk ikut menyaksikan tawanan Quraisy yang sedang terbelenggu dengan rantai. Ketika kaum wanita, anak-anak dan para pemuda Quraisy bersama-sama mendorong sang tawanan untuk terjun ke jurang kematian, sebagai balas dendam terhadap pribadi Muhammad dan sebagai pelampiasan atas terbunuhnya para pembesar Quraisy di perang Badar.

Tatkala kelompok besar yang penuh emosional ini tiba dengan tawanannya di tempat yang telah dipersiapkan untuk pembantaian, maka berdirilah pemuda bernama Said bin ‘Amir al-Jumahi dengan tegap dan mendekati Khubaib yang dihadapkan pada tiang salib. Terdengarlah suara Khubaib yang teduh nan tegar, di antara teriakan kaum wanita dan anak-anak, ia berkata: “Jika kalian mengizinkan aku shalat dua raka’at sebelum kematianku, maka aku lakukan…”

Said bin Amir memandang Khubaib dengan seksama, saat Khubaib menghadap ke arah kiblat dan menunaikan shalat dua raka’at alangkah bagusnya dua raka’at yang ditunaikan! Alangkah sempurnanya dua raka’at yang di lakukannya!…

Kemudian ia kembali melihat Khubaib menghadap kepada para pembesar Quraisy, seraya berkata: “Demi Allah, jika bukan karena khawatir kalian akan menduga bahwa aku menunaikan shalat dengan lama dikarenakan takut menghadapi kematian, niscaya aku perbanyak shalatku.”

Dengan kedua matanya, Said bin Amir menyaksikan kaumnya memutilasi Khubaib hidup-hidup. Mereka memotong bagian demi bagian anggota tubuhnya, seraya berkata pada Khubaib: “Apakah engkau mau jika muhammad menggantikan posisimu saat ini, dan engkau selamat dari siksaan!”

Dengan darah yang mengalir deras dari tubuhnya Khubaib menjawab: “Demi Allah, aku tidak ingin berada dalam keadaan aman dan tentram di tengah-tengah keluarga dan anak-anakku, sementara Muhammad tersakiti meskipun cuma tertusuk duri.”

Orang-orang melambaikan tangan mereka ke langit, suara mereka bergemuruh : “Bunuh dia… Bunuh dia…!”

Said bin Amir memperhatikan Khubaib mengangkat matanya ke langit sedang ia berada di atas kayu (tempat penyaliban), seraya berdoa: “Ya Allah, hitunglah jumlah mereka, bantailah mereka dengan tercerai berai dan jangan biarkan seorangpun dari mereka lepas dari siksa-Mu.” Kemudian hembuslah nafasnya yang terakhir, dengan jumlah sayatan pedang dan luka tusukan anak panah serta tombak di tubuhnya yang tak bisa dihitung lagi.

Kaum Quraisy kembali ke Mekkah, dengan adanya peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di antara mereka, mereka melupakan kekejian yang telah mereka lakukan kepada Khubaib. Akan tetapi seorang pemuda yang masih dalam masa pertumbuhannya menuju baligh bernama Said bin Amir al-Jumahi tidak pernah mampu melupakan lintasan peristiwa yang telah dialami oleh Khubaib meski sejenak.

Ia selalu melihatnya dalam mimpi saat ia tertidur. Ia selalu melihat bayangannya saat dalam keadaan terjaga, ketika Khubaib sedang melakukan shalat dua raka’at dengan begitu tenang dan thuma’ninah saat berada di hadapan kayu salib. Ia menangkap getir rintihan kesedihan di kedua telinganya saat Khubaib mendoakan kecelakaan dan kebinasaan terhadap kaum Quaisy. Said bin Amir menjadi sangat takut jika (suatu saat) petir menyambar tubuhnya atau ia tertimpa batu karang yang jatuh dari langit.

Sesungguhnya Khubaib telah mengajarkan kepada Said bin Amir pengetahuan yang belum pernah ia tahu sebelumnya…

Ia mengajarkan kepada Said bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah mempertahankan  keyakinan dan berjihad demi tegaknya keyakinan itu hingga ajal menjemput.

Khubaib juga telah mengajarkan kepadanya bahwa keimanan yang tertanam kokoh di dalam jiwa  mampu melakukan hal-hal ajaib, membuat kemukjizatan-kemukjizatan dan kejadian luar biasa…

Khubaib juga mengajarkan hal lain, bahwa seseorang yang dicintai oleh sahabatnya dengan kecintaan yang mendalam itu adalah seorang Nabi yang telah mendapatkan dukungan dari langit.

Saat itulah Allah Ta’ala membuka pintu hidayah di dada Said bin Amir untuk menerima Islam, ia berdiri di hadapan umat dan menyatakan dengan terbuka bahwa ia  berlepas diri dari dosa-dosa Quraisy dan pelanggaran-pelanggaran mereka, serta menyatakan lepasnya ia dari ikatan patung-patung berhala sekaligus memeluk agama Allah (Islam).

Said bin Amir al-Jumahi hijrah ke Madinah, dan tetap bermulazamah (berinteraksi aktif) dengan Rasulullah SAW, bahkan ikut serta bersama Rasulullah SAW dalam perang Khaibar dan peperangan yang sesudahnya.

Tatkala Nabi SAW kembali ke pangkuan Rabb-Nya, ia ridha dengan ketetapan (Allah Ta’ala terhadap Nabinya). (Ia wujudkan keridhaannya) dengan tetap menghunuskan pedangnya di bawah panji kepemimpinan dua khalifahnya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab ra. Ia menjadi contoh dan panutan satu-satunya bagi setiap mukmin yang telah menukar dunianya demi meraih akhirat, bahkan ia lebih mengutamakan keridhaan Allah dan pahala dari sisi-Nya dari pada tuntutan nafsu dan kemauan jiwanya.

Kedua khalifah pengganti Rasulullah SAW telah mengetahui kejujuran dan ketakwaan Said bin Amir al-Jumahi, keduanya bahkan selalu mendengar dan menyimak nasihat dari petuah-petuahnya.

Said bin Amir al Jumahi memasuki rumah Umar di awal menjabat sebagai khalifah, seraya berpesan: “Wahai Amirul Mukminin, aku wasiatkan kepadamu agar engkau takut kepada Allah dan janganlah engkau takut kepada manusia berkenaan dengan hak Allah Ta’ala. Jangan sampai tutur katamu bertentangan dengan perbuatanmu, karena sesungguhnya sebaik-baik ucapan dan tutur kata adalah ketika dibuktikan dengan perbuatan…

Wahai Umar! Perhatikan selalu urusan siapa saja yang telah Allah serahkan amanat  kepemimpinan kepadamu dari kaum muslimin, baik yang jauh maupun yang dekat. Cintailah mereka sebagaimana engkau mencintai diri dan keluargamu, dan bencilah apa saja yang engkau benci apa-apa yang terjadi pada diri dan keluargamu, serta taklukkanlah kelamnya kegelapan (untuk disinari) menuju cahaya kebenaran, dan jangan takut dalam menegakkan ketetapan Allah Ta’ala meskipun harus mendapatkan cacian dan celaan.”

Umar menjawab: “ Siapa yang mampu melakukan itu semua, wahai Said?”

Said menjawab: “Orang seperti engkaulah yang mampu dari kalangan mereka, yaitu yang telah Allah serahi kepemimpinan untuk memimpin umat Muhammad SAW, dan terlebih tiada seorangpun penghalang antara dirinya dan Allah Ta’ala.”

Dalam keadaan demikian, Umar memanggil Said bin ‘Amir al Jumahi untuk mendukung dan membantunya, Umar berkata: “ Wahai Said! Sesungguhnya aku telah menjadikanmu sebagai amir (gubernur) untuk wilayah Himsh.”

Said menjawab: “Wahai Umar! Aku bersumpah atas nama Allah Ta’ala agar engkau tidak memfitnah dan menyesatkanku hingga aku terbuai dengan dunia.” Umar seketika menjadi marah dan berkata: “ Celakalah kalian! Kalian serahkan urusan kepemimpinan umat ini di pundakku kemudian kalian menjauh dariku! Demi Allah! Aku tidak akan melepaskan dan membiarkan dirimu.”

Kemudian Umar mengangkat Said menjadi gubernur untuk wilayah Himsh, seraya berpesan : “Maukah aku berikan bekal untukmu?”

Said bin Amir menjawab: “ Untuk apa Amirul Mukminin?! Sesungguhnya yang aku terima dari Baitul Mal telah melebihi dari kebutuhanku.”

Kemudian ia berangkat menuju Himsh.

Tidak lama berselang, hingga sebagian utusan dari penduduk Himsh menemui Amirul Mukminin, maka Umar memerintahkan kepada utusan ini, seraya berpesan: “Tuliskan  untukku nama-nama penduduk yang berhak mendapatkan bantuan sehingga aku dapat menutup kekurangan dan memenuhi kebutuhan mereka.”

Maka orang-orang kepercayaan ini menuliskan data-data orang fakir untuk diserahkan kepada Amirul Mukminin, dan di dalamnya terdapat nama si Fulan, si Fuan, dan Said bin Amir.

Maka Umar bertanya : “Siapakah Said bin Amir ini?!.” Mereka menjawab: “Gubernur kami.”

Umar bertanya kembali: “Gubernur kalian faqir?!”

Mereka menjawab: “Benar.” Demi Allah sungguh telah berlalu beberapa hari, namun api tidak menyala di rumahnya.”

Menangislah Umar hingga air mata membasahi jenggotnya, kemudian dengan segera meletakkan seribu dinar dalam sebuah kantong, seraya berpesan: “Sampaikanlah salamku kepada Said, dan katakan kepadanya: “Amirul Mukminin Umar telah mengirimkan sejumlah harta ini kepadamu untuk bisa digunakan memenuhi kebutuhanmu.”

Utusan Umar mendatangi Said bin Amir dengan membawa kantung berisi dinar. Said bin ‘Amir mencermati kantung tersebut, yang ternyata berisi sejumlah uang dinar, maka ia berusaha menjauhinya, serta berkata: “Inna lillahi wa Innaa ilaihi raji’un.” Seolah telah terjadi musibah atau tertimpa puluhan kayu bakar memenuhi halaman rumahnya.

Sang istri yang terkejut seraya mendatanginya dan berkata: “Apa yang terjadi kepadamu wahai Said?… Apakah Amirul Mukminin meninggal dunia?!”

Said menjawab: “Bahkan lebih besar dari itu.”

Istrinya bertanya: “Apakah kaum Muslimin kalah dalam salah satu peperangan?”

Ia menjawab: “Bahkan lebih besar dari itu.”

Sang istri bertanya: “Apakah yang lebih besar itu?”

Ia menjawab: “Dunia telah merasuki jiwaku untuk merusak akhiratku, dan fitnah itu sudah menimpa dalam rumahku.”

Tanpa mengetahui tentang jumlah berapa dinar tersebut, sang istri berkata: “Seharusnya engkau melepaskan diri dari hal itu.”

Said bertanya kepada istrinya: “Maukah engkau membantuku untuk melepaskan diri dari hal tersebut ?”

Istrinya menjawab: “Ya.”

Maka Said mengambil kantung dinar pemberian Umar itu lalu membaginya di beberapa kantung dan kemudian membaginya ke kaum muslimin yang faqir.

Tidak berselang waktu yang lama, hingga Umar bin Khatthab mengunjungi wilayah-wilayah Syam guna menyelidiki kondisi penduduknya. Maka tatkala singgah di wilayah Himsh yang lebih dikenal dengan Kuwaifah yang merupakan bentuk tashghir dari kata Kufah. Penyamaan Himsh dengan Kufah dikarenakan banyaknya keluhan penduduknya terhadap para petugas negara dan aparat penerintahannya sebagaimana yang biasa dilakukan oleh penduduk Kufah. Maka tatkala tiba di Himsh, Umar ditemui oleh penduduk yang hendak mengucapkan salam kepadanya, Umar bertanya kepada mereka: “Bagaimana pemimpin kalian terhadap kalian?”

Penduduk Himsh mengadukan empat perbuatan yang tidak mereka sukai dari pemimpinnya, yang masing-masingnya lebih berat dari sebelumnya.

Maka berkatalah Umar: “Aku pertemukan Said dengan para penduduk, dan aku berdoa kepada Allah Ta’ala agar tidak merusak dugaanku kepadanya, sebab telah menaruh kepercayaan yang besar kepadanya.”

Maka keesokan harinya, ketika rakyat dan pemimpinnya (Said) berada di sampingku (Umar), aku bertanya kepada mereka: “Apa yang kalian keluhkan dari pemimpin kalian?”

Mereka menjawab: “Pemimpin kami tidak menemui kami kecuali hari telah beranjak siang!!”

Maka aku (Umar) berkata: “Apa yang akan engkau jawab perihal pengakuan ini wahai Said?”

Said terdiam sejenak, kemudian ia berkata: “Demi Allah, sesungguhnya aku enggan untuk menyampaikannya, namun karena aku harus menjawab maka dengan berat hati aku akan menjawabnya: “Sesungguhnya keluargaku tidak memiliki pelayan, karenanya setiap pagi aku membuat adonan untuk mereka, kemudian aku tunggu sejenak hingga adonan sempurna dan mengembang lalu aku membuat roti untuk mereka. Setelah selesai aku berwudhu dan berangkat untuk menemui dan berkhidmat kepada umat.”

Umar berkata kepada penduduk Himsh: “Apa lagi yang akan kalian adukan dari kepemimpina Said bin ‘Amir al-Jumahi?”

Mereka menjawab: “Said bin Amir tidak pernah menemui warga di malam harinya.”

“Maka jawaban apa yang akan engkau sampaikan kepada mereka, wahai Said?” tanya Umar.

Said menjawab sesungguhnya demi Allah, sebenarnya aku enggan untuk mengatakannya juga. Adapun siang hari telah aku peruntukkan bagi rakyat, sedang di malam hari telah kuperuntukkan hanya bagi Allah Ta’ala semata.”

Umar bertanya: “Wahai rakyatku…apa lagi yang kalian keluhkan dari Said bin Amir?”

Mereka menjawab: “Sesungguhnya dalam sebulan terdapat satu hari di mana Said bin Amir tidak keluar rumah untuk menemui siapapun.”

Umar bertanya: “Bagaimana itu terjadi, Wahai Said bin Amir?”

Ia menjawab: “Sesungguhnya aku tidak memiliki pelayan wahai Amirul Mukminin, dan aku tidak memiliki baju yang lain kecuali yang kukenakan saat ini, oleh karenanya aku mencuci sebulan sekali dan menunggunya hingga kering, baru aku keluar menemui rakyat di siang hari.”

Kemudian aku (Umar ) bertanya lagi: “Apa lagi yang kalian keluhkan dari Said bin Amir al-Jumahi?”

Rakyatnya menjawab: “Seringkali Said bin Amir pingsan di tengah majelisnya sehingga terputuslah apa yang sedang didiskusikannya.”

Aku bertanya: “Kenapa hal itu terjadi Wahai Said?”

Said menjawab: “ Aku pernah menyaksikan pembantaian terhadap Khubaib bin ‘Adi sedang saat itu aku masih musyrik. Aku melihat kaum Quraisy memotong satu-persatu bagian tubuhnya, seraya berkata: “Apakah engkau menginginkan Muhammad menggantikan posisimu saat ini?”, Khubaib bin ‘Adi menjawab: “Demi Allah, aku aku tidak ingin ada dalam keadaan aman dan tentram di tengah-tengah keluarga dan anak-anaklku, sedang Muhammad tersakiti meskipun setusuk duri.” Dan sungguh demi Allah, tidaklah setiap aku teringat kejadian hari itu dan bagaimana aku membiarkannya serta tidak mambantunya maka aku merasa bahwa Allah Ta’ala tidak mengampuni dosaku, maka pingsanlah aku ketika mengingatnya.”

Saat itulah Umar bin Khattab berkata: “Segala pui bagi Allah Ta’ala yang tidak merusak keyakinanku terhadap Said bin Amir.”

Kemudian Umar menyerahkan seribu dinar kepada Said bin Amir al Jumahi untuk memenuhi kebutuhannya. Maka tatkala istrinya melihat pemberian Umar, berkata sang istri: “Segala puji  bagi Allah yang telah memberikan kecukupan kepada kami dari melayanimu, belikanlah untuk kami bahan makanan dan sewakanlah kami pelayan.”

Said bin Amir menjawab: “Maukah kamu mendapat sesuatu yang lebih baik dari itu semua?’

Istrinya menjawab: “Apakah itu?”

Said menjawab: “Kita serahkan uang dinar ini kepada yang telah membawakannya kemari dan lebih baik harta itu dikembalikan karena melebihi kebutuhan kita terhadap harta tersebut.”

Istrinya bertanya lagi: “Bagaimana itu terjadi ?”

Said menjawab: “Kita pinjamkan harta tersebut kepada Allah sebagai pinjaman kebaikan.”

Istrinya menjawab: “Ya, mudah-mudahan Allah Ta’ala membalas dirimu dengan balasan yang terbaik.”

Said tidak meninggalkan majelisnya hingga membagi sejumlah dinar itu ke beberapa kantung, seraya berpesan kepada seseorang keluarganya: “Berangkatlah dengan membawa kantung berisi dinar ini dan berikanlah kepada para janda, anak yatim, keluarga-keluarga miskin dan keluarga-keluarga faqir dari keluarga si Fulan.”

Semoga keridhaan Allah Ta’ala tercurahkan kepada Said bin ‘Amir al Jumahi, sungguh ia termasuk mereka uang lebih mendahulukan kepentingan orang lain dari pada dirinya sendiri meskipun sesungguhnya ia sangat membutuhkan. | R

Penulis : Dr Abdurrahman Raf`at Basya (Sirah min Hayaatish Shahabat/Sirah Rasulullah, Pustaka as Sunnah, 2010) |

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *