Akankah Pandemi Berujung Krisis Pangan?

by
Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB University, Prof Dwi Andreas Santosa

Sejak awal corona masuk Indonesia, hal yang dikhawatirkan selain pandemi ini terus meluas adalah ketersediaan pangan selama masa wabah. Karena, bisa dibilang kedaulatan suatu negara bergantung pada ketahanan pangan yang dimiliki, jika suatu negara mengalami kerentanan pangan, maka akan mudah timbul berbagai kontraksi sosial yang berujung pada stabilitas negara.

Wartapilihan.com, Bogor— Berkaca pada sejarah, setidaknya pada 2007-2008, krisis pangan di beberapa negara terjadi akibat turunnya produksi pertanian dan menaiknya harga pangan, krisis tersebut menyebabkan kerusuhan di 12 negara di dunia. Bahkan, pada 2011 peningkatan harga pangan menimbulkan kerusuhan besar di 15 negara di dunia dan pergantian rezim di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara yang dikenal dengan Arab Spring. Bagaimana dengan Indonesia saat ini?

Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB University, Prof Dwi Andreas Santosa, berpendapat, ketersediaan pangan terutama beras tahun ini produksinya menurun dibandingkan tahun lalu. Produksi tahun ini kemungkinan besar di bawah konsumsi, sehingga tergantung bagaimana perjalanan ke depannya.

“Pemerintah harus menghitung betul-betul dengan tepat terkait jumlah panen dan luas tanamnya di bulan Juli, sehingga bisa diprediksi berapa produksi tahun 2020 ini,” kata Prof Andreas saat diwawancara Risalah.

Menurut dia, apabila kalkulasi produksi ditambah stok Bulog dan stok awal tahun masih kurang, maka tidak ada pilihan pemerintah untuk melakukan impor. “Kalau tahun ini produksinya turun, tapi masih cukup untuk konsumsi, ya tidak perlu (impor), jadi saat ini data menjadi penting, terutama untuk bulan Juli nanti,” ujarnya.

Kendati begitu, dia menilai stok pangan secara umum, selain beras aman-aman saja, ini terlihat dari harga yang relatif rendah di pusat produksi (petani). Menurut dia, hal yang perlu dilakukan pemerintah adalah menjamin sistem logistik pangan. Sistem logsitik harus benar-benar terjamin lancar walaupun ini tidak mudah, karena apa yang diinginkan pemerintah bisa saja lain di tingkat bawah.

“Contoh, sistem logistik pangan di Indonesia ini kebanyakan informal, alias tidak resmi atau tidak dilengkapi surat-surat. Padahal, misalnya saja untuk beras ada enam sampai tujuh izin kalau kita melakukan perdagangan beras,” katanya.

Lebih lanjut, Andreas berujar, sistem logistik terbesar adalah sistem logsitik tanpa surat atau non formal. Menurut dia, sistem logistik informal saat ini terkena imbasnya. Begitu pun logistik pangan di Indonesia terpengaruh, sehingga harga di konsumen masih tetap tinggi, sementara di petani jatuh.

“Pemerintah pusat harus mengingatkan jajaran di bawahnya, karena sekarang hampir di semua jalan diperiksa ya (saat PSBB). Jadi, masalah besar itu harus diatasi pemerintah,” ujar dia.

Berkaitan dengan ketersediaan pangan masyarakat di pedesaan, ia menilai justru tidak ada masalah karena mereka produsen. Justru yang menjadi masalah saat ini bagaimana mereka bisa memasarkan produknya, karena harga di tingkat petani banyak yang jatuh, sementara harga konsumen stabil.

“Hanya saja, menurut saya kebutuhan nasional untuk stok beras harus di atas 30 juta ton untuk menjamin ketersediaan pangan,” katanya.

Mengenai kebutuhan nasional, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) ini mengingatkan, selain sistem logistik nasional, sistem logistik dunia juga tidak boleh terganggu. Apabila saat ini Indonesia butuh beras, tiba tiba Thailand dan Vietnam menutup pintu ekspor, maka pemerintah bisa kewalahan.

“Negara yang surplus itu India, tapi India sama saja, sekarang ini semua negara berusaha mengamankan stok masing-masing. Nah semoga saja berubah, kalau itu berubah di dunia internasional, dalam arti arus perdagangan berjalan dengan baik, saya yakin krisis pangan (di Indonesia) tidak akan terjadi,” tuturnya.

Terlebih, Indonesia merupakan importir pangan terbesar. Pada tahun 2018, dari delapan komoditas saja total impornya 27,6, juta ton, sementara tahun 2019 lalu turun sedikit sekitar 26 juta ton. Ia mengingatkan, hal ini perlu diwaspadai, jika sistem perdagangan internasional terganggu, maka Indonesia dengan kuota impor besar bisa terganggu.

“Seperti gandum 100 persen kita impor, beras 1.17 juta ton per tahun pada pemerintahan saat ini (2015-2018) lebih tinggi dibanding periode sebelumnya sebesar 0.90 jt ton per tahun (2004-2014), gula 60-70 persen kita impor, kedelai 80 persen impor, dan bawang putih 100 persen impor. Jadi, kalau sistem perdagangan internasional terganggu, pasti akan terdampak kepada Indonesia,” jelasnya.

Indonesia Hadapi Dua Tantangan Sekaligus

Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef, Dhenny Yuartha Junita menyampaikan bahwa Indonesia sedang menghadapi dua tantangan sekaligus. Pertama, tantangan perubahan iklim. “Tantangan ini memang tanpa disadari sudah mengakibatkan perubahan pola produksi pertanian, akibatnya jumlah pasokan pangan seringkali sukar diproyeksi,” kata Dhenny, kepada Risalah, saat diwawancara belum lama ini.

Kedua, lanjutnya, persoalan Covid-19. Menurut dia, Covid-19 mendisrupsi rantai distribusi pangan dan merubah psikologis konsumen. “Makanya, berapapun pasokannya, kalau rantai produksi terhambat dan psikologis konsumen dengan peningkatan kecenderungan konsumsi, maka akan menimbulkan gejolak pasokan,” ujarnya.

Dia mengingatkan bahwa persoalan krisis pangan sudah di depan mata, maka itu strateginya perlu diidentifikasi secara detail, mulai dari jangka pendek hingga jangka panjang. Dhenny menyebutkan, di jangka pendek fokusnya mengendalikan psikologis konsumen, dan rantai distribusi.

Selain itu, pembatasan pembelian masih perlu dilakukan. Kemudian urusan distribusi, termasuk didalamnya kecepatan importasi, dan penyerapan optimal produksi pertanian. Menurut dia, beberapa negara sudah menggelontorkan dana yang besar untuk pertanian di tengah pandemi, anggaran dana itu digunakan untuk membeli produksi petani dengan harga yang wajar untuk kemudian disalurkan ke kota-kota yang defisit, agar persoalan petani yang justru tidak lagi tertangani, saat ini bisa ditanggulangi.

“Berikutnya, baru bicara jangka menengah hingga jangka panjang. Jangka menengah misalnya, mobilisasi masyarakat untuk memanfaatkan lahan kosong seperti urban farming hingga jangka panjang seperti cetak sawah tersebut,” tuturnya.

Namun, jangan sampai strategi jangka panjang menjadi fokus di jangka pendek. “Misalnya cetak sawah, itu kan strategi jangka menengah-panjang, cetaknya perlu waktu sembilan hingga 10 bulan, belum infrastruktur lainnya,” ujar dia.

Menghidupkan Lahan Mati Menjadi Hidroponik

Berkaitan dengan strategi masyarakat dalam mengantisipasi krisis pangan dan menanggulangi jika krisis terjadi, Dhenny menjelaskan, pertama, isu membatasi permintaan pangan sewajarnya oleh masyarakat hingga saat ini masih penting. Kedua, pemanfaaatan urban farming bisa dilakukan untuk mencukupi kebutuhan pangan dan ekonomi saat ini. “Lahan-lahan kosong bisa dimanfaatkan,” urainya.

Ia mengatakan, peluang masyarakat menghidupkan lahan yang mati untuk dihidupkan dan menjadi tanaman hidroponik sangat terbuka. Justru di tengah krisis ini jadi momentum dan banyak daerah sudah mulai memanfaatkan ini.

“Di daerah rumah saya, gang sempit pun masih bisa dimanfaatkan untuk budidaya hidroponik. Jadi di bawah orang jalan, di atasnya banyak tanaman hidroponik yang menggantung, tentu ini jadi momentum menggerakkan mobilisasi pola tanam yang lebih efisien dan efektif,” ujarnya.

Di Kampung hidroponik, Pengadegan Timur, Pancoran, Jakarta Selatan, tutur Dhenny mencontohkan, sepanjang orang jalan di kanan kirinya dipenuhi tanaman hidroponik. Di bawahnya budidaya lele, dan beberapa budidaya tanaman menggantung dengan media hidroponik.

“Tanamannya berganti-ganti. Tapi nggak pernah putus, selalu saja pascapanen ada tanaman-tanaman baru dan itu dimobilisasi masyarakat,” ungkapnya.

Dia menekankan bahwa menciptakan kedaulatan pangan bukan sekedar menutup defisit pangan. Desa ataupun kampung yang berdaulat pangan, punya daya tahan atau resiliensi terhadap krisis ekonomi dan dampak pandemi. Syaratnya, petani ataupun masyarakat tersebut memliki tanah ataupun optimal memanfaakan secara optimal lahan ataupun ruang untuk tanaman pangan.

“Nah ini yang perlu dimobilisasi oleh pemerintah. Mobilisasi masif tentunya,” ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *