“HAM dalam konstitusi Indonesia bukanlah HAM yang tak terbatas, tapi HAM yang dibatasi oleh konstitusi dan UU PNPS harusnya dilihat sebagai bentuk hadirnya negara mengatur relasi antarumat beragama di Indonesia,” ujar Manajer Nasution.
Wartapilihan.com, Jakarta –Adanya Undang-Undang, merupakan bukti kehadiran negara dalam penyelesaian masalah dalam relasi umat beragama. Undang-Undang menjamin penyelesaian masalah di meja hijau. Tanpa Undang-Undang, dikhawatirkan umat beragama akan menyelesaikannya di lapangan hijau,” demikian keterangan Wakil Ketua Kajian HAM PP Muhammadiyah Manajer Nasution, sebagai Ahli bidang Hak Asasi Manusia (HAM) yang dihadirkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), atas perkara yang diajukan Komunitas Ahmadiyah.
Menurut Manajer, lahirnya UU no. 1/ PNPS/1965 merupakan bukti hadirnya negara dalam mengatur relasi kehidupan beragama yang telah memenuhi prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kewajiban Asasi Manusia (KAM).
“Aturan tentang pencegahan, penyalahgunaan atau penodaan agama yang dimuat dalam UU Nomor 1/PNPS/1965 masih konstitusional, dan tidak melanggar HAM,” ujar Manajer.
Ketentuan-ketentuan mengenai HAM termasuk yang berhubungan dengan nilai-nilai agama, lanjut mantan Komisioner Komnas HAM itu sejatinya sudah diatur dalam undang-undang dasar negara. Dia menilai, HAM dalam konstitusi Indonesia bukanlah HAM yang tak terbatas tapi HAM yang dibatasi oleh konstitusi dan UU PNPS harusnya dilihat sebagai bentuk hadirnya negara mengatur relasi antarumat beragama di Indonesia.
“Memang, setiap orang berhak beragama, tetapi setiap agama memperoleh perlindungan negara dari segala macam bentuk penyimpangan dan penodaan,” jelas Manajer.
Sidang Bongkar Kesesatan Ahmadiyah
Selain Manajer, MUI menghadirkan Anggota Fatwa MUI Aminuddin Ya’qub sebagai Ahli Bidang Agama, yang keterangannya-membuka tabir kesesatan Ahmadiyah-mencengangkan Sidang.
Aminuddin membongkar kesesatan Ahmadiyah mulai dari wahyu-wahyu sesat Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai nabi, sebagai Al-Masih, anak Tuhan, hingga banyaknya ayat-ayat Al-qur’an yang dipelintir dengan penggabungan beberapa ayat dan penambahan redaksional sekehendak hati untuk mengukuhkan kenabiannya.
“Ini adalah penodaan terhadap Al-Qur’an dan terhadap agama Islam,” Tegas Aminuddin.
Atas permintaan Mejelis Hakim, Aminuddin bahkan secara gamblang menyebutkan puluhan wahyu sesat Mirza Ghulam Ahmad yang terkumpul dalam kitabnya Ahmadiyah (Tadzkirah) yang memelintir ayat-ayat Al-Qur’an. Itu sebabnya, fatwa MUI menyatakan Ahmadiyah sesat dan menyesatkan, dan menyatakan pengikut Ahmadiyah telah keluar dari Islam.
Kesesatan Ahmadiyah lainnya juga dijelaskan Aminuddin bahwa Mirza Ghulam Ahmad bahkan (telah berani-Red) memberi label sesat dan murtad kepada seluruh ummat Islam yang tidak mengakuinya sebagai Nabi.
“Ini kesesatan yang nyata, karena Islam menjelaskan Nabi Muhammad SAW adalah Nabi Penutup (Khatamun-Nabiyyin–penutup para Nabi), sehingga tidak ada nabi lagi yang diutus oleh Allah SWT setelah Nabi Muhammad SAW,” ungkapnya.
Fatwa MUI: Pemerintah Wajib Larang Penyebaran Ahmadiyah
Lebih lanjut, Aminuddin menyangkal tuduhan Kuasa Hukum Ahmadiyah yang mengatakan Fatwa MUI tentang sesatnya Ahmadiyah sebagai pemicu munculnya kekerasan dan diskriminasi terhadap Ahmadiyah.
Kepada Majelis Hakim, Aminuddin gamblang menjelaskan, Fatwa MUI dikeluarkan jauh setelah kekerasan terjadi terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah. Kekerasan itu sudah lebih dahulu terjadi sebelum MUI mengeluarkan fatwa (2005) tentang sesatnya Ahmadiyah.
Adapun MUI mengeluarkan fatwa sesatnya Ahmadiyah –berdasarkan musyawarah para ulama- untuk tujuan mempedomani ummat dengan akidah Islam yang benar.
“Sebagai lembaga Ri’aayatul Ummah, MUI bertanggungjawab mengawal akidah,” tandas Aminuddin.
Dokumen Fatwa MUI atas sesatnya Ahmadiyah (2005), menyatakan:
1. Bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.
3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.
Dia menegaskan, Fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah tahun 2005 adalah bentuk penegasan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Jauh sebelum itu, beberapa lembaga Islam yang menyatakan Ahmadiyah sesat adalah Persis (1932), disusul oleh Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masaail NU.
Fatwa sesatnya Ahmadiyah juga dikeluarkan oleh Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa (Lajnah Daimah) Saudi Arabia dan Lembaga Ulama Senior Saudi Arabia dan Mujamma Fiqih yang menginduk kepada Rabithah Alam Islami dan Mujamma Fiqih Islam yang menginduk kepada Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Mujamma Riset Islam di Al-Azhar.
“Di negara Pakistan sendiri, tempat berdirinya aliran Ahmadiyah, ujar Aminuddin ke hadapan Majelis Hakim, Parlemen Pakistan sudah memfatwakan Ahmadiyah adalah kelompok minoritas non-muslim,” ujar Aminuddin.
Hadir dari dalam Sidang, selain dari MUI dan Dewan Da’wah, adalah utusan-utusan dari Komunitas Muslim Ahmadiyah Parakan Salak, Komnas Perempuan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Kuasa Presiden sebagai perwakilan dari Pemerintah.
Zuhdi/Yuddi