Abdullah Azzam di Mata Kekasih

by
Abdullah Azzam. Foto: istimewa

Sang pejuang selalu meletakkan fondasi jihad dalam cintanya

Wartapilihan.com – Di belakang pejuang kuat, ada mujahidah yang hebat. Inilah kalimat yang tepat dalam  melukiskan kisah cinta Abdullah Azzam dengan Ummu Muhammad. Cinta, pengorbanan, dan air mata menjadi pelangi yang mewarnai perjalanan keduanya. Sebuah kisah sejoli yang menjadi saksi keteguhan pejuang Afghanistan dalam mengusir penjajah Uni Soviet pada tahun 1980-an.

Abdullah Azzam lahir di kampung Asy-Syawahinah, Kota Jenin, Palestina pada 1941 M. Mujahid ini lahir dari pasangan Al- Haj Yusuf Musthafa Azzam dan Zakiyah Shalih Husain Al-Ahmad yang terkenal sebagai keluarga ternama di Palestina.

Sejak kecil sampai dewasa, keluarga Abdullah Azzam sangat berperan dalam mengasuh dan mendidik anaknya hingga kelak menjadi pejuang Islam. Saat menginjak bangku sekolah dasar, Abdullah Azzam sudah bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Sehingga tak heran, pengamat Ikhwan asal Yordania bernama Abu Majid sering mengunjungi Abdullah Azzam di desanya.

Di mata Abu Majid, Abdullah Azzam kecil telah menampakkan kecerdasannya. Kepandaiannya saat itu telah mengalahkan anak-anak seusianya di zamannya. Tamat dari bangku sekolah menengah, Abdullah Azzam meneruskan pendidikan di College Pertanian Khadorri sampai tingkat Diploma. Walau pelajar termuda di kalangan teman-temannya, Abdullah Azzam adalah murid yang paling cerdas.

Hubungan antara Keluarga Abdullah Azzam dengan Ummu Muhammad tergolong sangat erat. Keluarga mereka menjadi salah satu dari sekian banyak keluarga Palestina yang menjadi pengungsi usai perang 1948. Kedekatan ini bermula semenjak keluarga Ummu Muhammad harus mengungsi ke Jenin.

Ummu Muhammad sendiri lahir di rumah kakak perempuan Abdullah Azzam. Saat itu, Abdullah Azzam masih berumur 8 tahun. Seiring berjalannya waktu, Ummu Muhammad beserta keluarga harus meninggalkan Jenin untuk pindah ke Tulkarem, sebuah Kota Palestina di Tepi Barat. Di waktu yang sama, Abdullah Azzam juga sedang menuntut ilmu Sekolah Tinggi Pertanian Khadorri di Tulkarem.

Tak disangka, Abdullah Azzam datang mengunjungi keluarga Ummu Muhammad muda. Dan, tiga hari berselang, ayah Abdullah Azzam meminta kesediaan sang hawa untuk menjadi pendamping anaknya. “Akhirnya ia menikahiku saat umurku 12 tahun,” tukas Ummu Muhammad.

Menurut Ummu Muhammad, Abdullah Azzam adalah seorang suami yang baik serta ayah yang peduli. Ia memaknai cinta dengan menunjukkan sikap kasih sayang. “Mungkin ada orang lain seperti dia di dunia ini, tetapi tak ada yang memiliki jiwa kemanusiaan yang unik seperti dirinya,” imbuh Ummu Muhammad saat diwawancara media Asharq Al-Awsat, pada 2006 lalu.

Jika salah seorang anaknya sakit, kata Ummu Muhammad, suaminya bisa tak tidur sepanjang malam. Bahkan, Abdullah Azzam begitu dekat Ibrahim, anaknya yang turut meninggal bersamanya di Afghanistan. “Apa yang kebanyakan membedakannya adalah bahwa ia meletakkan jihad di garis depan keprihatinannya,” Ummu Muhammad mengisahkan suaminya.

Semenjak menikah, Abdullah Azzam selalu fokus dalam beribadah. Tidak ada hari yang dilewatinya untuk mendirikan shalat. Bahkan musim dingin tak menghalanginya untuk menyiram air wudhu.

Kesederhanaan Abdullah Azzam juga berlaku kepada pola makan. Ummu Muhammad bercerita, terkadang suaminya hanya makan roti berhari-berhari. Sering kali, ia hanya memiliki dua pasang celana: satu untuk dipakai dan lainnya dicuci. Namun demikian, kata Ummu Muhammad, suaminya selalu bersih dan terawat. Semua itu dilakukan Abdullah Azzam sebagai bentuk latihan sebagai seorang pejuang. Beigitulah Abdullah Azzam meletakkan fondasi cinta. “Jihad baginya seperti air dan ikan,” terang Ummu Muhammad.

Kepada kaum wanita, Abdullah Azzam berpesan untuk menjauhi kehidupan mewah dan megah. Sebab, kemewahan itu musuh dan akan merusak jiwa manusia. “Hindarilah barang-barang yang tidak terlalu penting dan cukupkanlah dengan kebutuhan-kebutuhan primer,” ujarnya.  Ia juga meminta para wanita untuk membina anak-anak menjadi orang yang berani dan siap berjuang.

“Tanamkanlah pada jiwa anak-anak kalian cinta jihad dan perjuangan. Hiduplah dengan penuh perhatian terhadap problematika kaum Muslimin. Biasakanlah paling tidak sehari dalam sepekan hidup menyerupai kehidupan kaum muhajirin dan mujahidin yang hanya memakan sekerat roti kering dan beberapa teguk air.”

Pada hari Jum’at, 24 November 1989 di Peshawar, Pakistan, Abdullah Azzam akhirnya menjemput cita-citanya. Ketika dalam perjalanan untuk memberikan khotbah Jumat, mobilnya melaju di atas ranjau yang ditanam oleh musuh. Abdullah Azzam gugur bersama dengan dua orang anak lelakinya.

Dalam sebuah nasihatnya, Ummu Muhammad pun melukis kata-kata yang indah soal kematian.

“Saudari-saudariku tercinta, sesungguhnya, umur itu sangatlah pendek dan kehidupan ini hanyalah hembusan-hembusan nafas yang akan dihitung dan dihisab. Maka, apakah tiap dari kita sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi hari berpisahnya orang-orang yang saling berkasih sayang dan saling bersahabat?”

“Hari berpisahnya kita dari dunia yang fana ini, menuju yaumil hisab –hari perhitungan- dan alam kekal. Hari yang menjadikan harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali bagi mereka yang menghadap Alloh dengan qalbun salim (hati yang sehat).”

Penulis: Pizaro

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *