INDAH SEPERTI DULU

by

 

by Iwan Wientania

Pantai ini Indah sebagaimana namanya, Samudera Indah,
tapi di hari-hari biasa tidak begitu ramai pengunjungnya.
Pantai seperti ini ada di lima tempat di kota ini.
Dan kalau mau wisata ke distinasi gunung pun sangat dekat.
Hanya satu jam dari pusat kota.

Dari pantai ini ke pulau-pulau terdekat seperti pulau Kabung, pulau Penata, pulau Lemukutan hanya satu jam naik perahu motor.
Kalau populasi penduduk di sini seperti kota-kota di Jawa, tentulah pantai ini sangat ramai dikunjungi.

Sementara ponakanku mencari minuman
aku duduk sendiri di sebuah pondok.
Hanya ada cicit burung di dahan dan di kejauhan menemaniku.
Hampir enam pulun tahun kutinggalkan pantai ini, namun tetap indah seperti dulu.
Sepinya merayap menyingkap tabir pintu memoriku, perlahan, diantara gemesik daun di pohon-pohon,
desir ombak beserta belaian angin lembutnya yang masih tetap akrab, bersahabat, mengelus tubuhku.

Malam harinya hujan bagaikan dicurahkan dari langit.
Kalau hujan seperti ini di Depok pastilah terjadi banjir di Jakarta.
Dan setelah agak reda di ujung malam suara kodok mulai bersahutan-sahutan, bersenandung dalam simponi yang ramai.
Ada seperti suara kercek perlahan, ada seperti ketokan-ketokan dan ada yang keras seperti suara gendang.

Semasa kecilku dulu aku bertanya-tanya tentang suara itu.
Bagiku justeru agak menakutkan.
Tapi sesudah berusia tujuh atau delapan tahun barulah aku tahu bahwa itu suara kodok mau kawin.

Tadi, kulihat hapeku ada whatsapp dari mbak Hikmah, kenalanku di grup whatsaap seniman,
“Assalamualaikum.
Mas Ridwan berlibur atau menghindari demo ?”, tanyanya.

Kujawab,
” Wa’alaikumussalam, mbak.
Saya liburan, bulan ini dan mungkin sampai beberapa bulan kedepan sambil silaturahim, ziarah, Jalan-jalan dan lain-lain.
Saya sulit menghindari demo karena demo bergelut diruang kepala dan bilik hatiku.

Saya banyak saudara di kota ini karena kedua nenekku orang Banjar dan Melayu, sedangkan dua kakekku orang Jawa pendatang, dan aku lahir di kota ini.

Disini banyak orang Tionghua, Melayu, J awa, Madura, Bugis dan Dayak, tapi Dayak lebih banyak di pedalaman dari pada di pesisir.
Selama ini belum pernah terjadi benturan di antara beragam suku.
Mereka baik-baik saja. Cuma nuansa Tionghua terasa semakin kental dari pada dahulu.
Kata penjual es potong yang mampir di pondok tempat aku duduk, ” Mereka banyak anak sehingga berkali-kali lipat perkembangannya dari pada suku-suku lainnya ”
Oleh karena itu kulihat semakin banyak klenteng dan kuburan serta ornamen Tionghua di pusat kota.

Dulu kota ini mendapat julukan kota indah dan ada juga yang menyebutnya kota amoy.
Tapi salah seorang dari kawan-kawanku menyebutnya kota sunyi sehingga aku sering menyanyikan lagu ” Kota sunyi, kota sunyi si patah hati. Kota tempatku menyandarkan diri… ”

( Singkawang, medio September 2025 )