Sejarah gempa mengungkap, setidaknya ada 7 peristiwa gempa kuat yang merusak dan sebagian memicu tsunami di Teluk Palu dan sekitarnya. Catatan paling tua gempa Palu terjadi pada 1905. Selanjutnya gempa kuat terjadi pada 1907, 1909, 1927, 1937, 1968, dan 2012.
Wartapilihan.com, Jakarta – Hal tersebut disampaikan Daryono, Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG. Ia mengatakan, gempa kuat yang mengguncang Palu pada tahun 1909 diperkirakan berkekuatan di atas M=7,0.
“Gempa ini merusak banyak rumah di zona Graben Palu. Saking kuatnya guncangan, diceritakan setiap orang yang berdiri kemudian terjatuh, konon buah kelapa muda dan daun-daunnya pun sampai berjatuhan ke tanah,” kata Daryono, Selasa, (2/10/2018).
Gempa dan Tsunami Palu pada 1 Desember 1927 bersumber di teluk Palu. Selain menimbulkan kerusakan bangunan sangat parah, gempa ini juga memicu tsunami di Teluk Palu. Banyak bangunan di kawasan pantai mengalami rusak parah dan menyebabkan sebanyak 14 orang meninggal dan 50 orang luka-luka. Bencana tsunami tersebut hingga kini dikenang oleh masyarakat Palu dan Donggala sebagai peristiwa “air berdiri di Teluk Palu”.
“Gempa dan Tsunami Tambu pada 14 Agustus 1968 merupakan gempa kuat yang bersumber di lepas pantai Tambu. Diduga kuat gempa ini masih berkaitan dengan aktivitas Sesar Palu Koro. Akibat gempa ini, di Teluk Tambu mengalami surut hingga sekitar 3 meter dan selanjutnya terjadi hempasan tsunami. Tsunami juga menerjang hingga Teluk Palu. Dampak gempa dan tsunami dilaporkan sebanyak 160 orang meninggal,” jelas dia.
Gempa terakhir yaitu gempa kuat yang terjadi pada 18 Agustus 2012 M=6,2. Episenter diperkirakan terletak di antara Kulawi dan Danau Lindu. Gempa bumi ini menyebabkan 5 korban meninggal dan 694 orang luka-luka.
“Catatan peristiwa gempa kuat dan tsunami di atas kiranya cukup menjadi bukti akan aktifnya Sesar Palu Koro. Ke depan, potensi gempa di kawasan ini tetap ada dan patut diwaspadai,” ia menegaskan.
Di kalangan para ahli, gempa merusak yang terjadi di Donggala dan Palu ini bukan hal yang aneh. Secara tektonik wilayah Donggala dan Palu memang terletak pada perlintasan jalur Sesar Palu-Koro.
“Berdasarkan catatan sejarah, jalur sesar ini sudah beberapa kali memicu terjadinya gempa besar yang merusak dan sebagian memicu tsunami destruktif di Teluk Palu dan sekitarnya. Sebagai generator dari serangkaian gempa yang mengguncang Donggala dan Palu, tampaknya kita perlu lebih dalam mengenal struktur geologi Sesar Palu-Koro ini,”
Daryono lebih lanjut menjelaskan, ada pelajaran penting yang dapat dipetik dari peristiwa gempa dan tsunami Palu dan Donggala ini guna menata strategi mitigasi ke depan. Pasalnya, korban meninggal dan luka ternyata tidak disebabkan oleh gempa, tetapi akibat bangunan yang roboh dan menimpa penghuninya.
“Melihat banyaknya bangunan yang mengalami kerusakan, maka penting upaya nyata dan serius dalam merealisasikan bangunan tahan gempa bagi masyarakat. Jika tidak, maka sampai kapanpun setiap terjadi gempa kuat, masyarakat kita akan terus menjadi korban,” ia menegaskan.
Di wilayah pesisir yang sumber gempanya dekat dengan pantai, terang dia, peringatan dini tsunami kurang efektif, karena waktu tiba tsunami di pantai sangat singkat. Waktu emas untuk penyelamatan sangat singkat.
“Jalan keluarnya, masyarakat harus membangun kapasitas untuk evakuasi mandiri. Konsep evakuasi mandiri sangat efektif dalam melindungi masyarakat pesisir dari tsunami, dimana masyarakat pesisir menjadikan guncangan gempa kuat yang terjadi sebagai peringatan dini tsunami.
Sehingga jika merasakan gempa kuat masyarakat pesisir harus segera menjauh dari pantai. Masalah tsunami terjadi atau tidak, urusan belakangan, yang utama jiwa sudah terselamatkan,” tekan dia.
Menurutnya, keberadaan stasiun monitoring muka laut sebagai saran konfirmasi terjadinya tsunami sangat penting di pantai–pantai rawan tsunami. Pasalnya, alat ini sangat diperlukan untuk mendukung sempurnanya operasional peringatan dini tsunami termasuk mendukung keputusan kapan berakhirnya ancaman tsunami.
“Kapan akan terjadi gempa kita belum mampu memprediksi, tapi kita harus siap menghadapinya. Sosialisasi mitigasi, edukasi, da pelatihan evakuasi, harus terus dilakukan secara berkesinambungan agar kita semua dapat hidup harmoni dengan alam yang rawan gempa,” pungkas dia.
Eveline Ramadhini