Paska bencana di wilayah Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, banyak beredar video dan foto soal penjarahan yang dilakukan oleh warga yang terdampak bencana. Tidak hanya makanan dan minuman yang dijarah, tetapi juga barang-barang tersier, seperti barang elektronik, bahkan pembobolan ATM. Wajarkah hal tersebut?
Wartapilihan.com, Jakarta – “Dalam situasi pasca bencana besar, dengan akses transportasi terputus, minimnya bahan makanan, air, dan bahan bakar, aksi warga membobol toko dan mengambil air dan makanan dapat dimaklumi,” tutur Kriminolog Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin, saat dihubungi Warta Pilihan (wartapilihan.com), Selasa, (2/10/2018).
Di dalam kriminologi, Iqrak menjelaskan, terdapat istilah ‘crime of survival’, di mana dalam situasi bencana, mencuri bahan makanan dan air utk bertahan hidup, tidak bisa disebut kejahatan. Penjarahan dalam hal makanan atau minuman menurutnya dapat dimaklumi, meskipun dalam situasi bencana yang tidak berdampak luas, di mana komunikasi dan transportasi masih terhubung, dapat berarti kejahatan.
Penjarahan yang dilakukan pun turut merambat ke barang-barang elektronik, hingga penjebolan mesin ATM. Menurut Iqrak, hal tersebut disebut kejahatan dan tidak dapat dibenarkan.
“Tapi yang terjadi beberapa hari terakhir, sampai menjarah barang-barang elektronik, bahkan ada indikasi akan membobol ATM, jelas tidak dapat dibenarkan, atau itu jelas kriminal,” jelas dia.
Pasalnya, jika warga telah membobol toko mengambil barang elektronik atau berusaha membobol ATM, hal tersebut sudah tidak lagi untuk bertahan hidup. “Mungkin saja awalnya dilakukan oleh mereka-mereka yang selama ini kriminal karir, dan dalam situasi putus asa, ini seakan menjadi pemicu bagi perilaku kolektif penjarahan,” tegasnya.
Adapun soal kepanikan yang menular, menurut dosen di Program Studi Kriminologi Universitas Indonesia ini, motif melakukan kejahatan terkait properti biasanya tidak berkaitan dengan situasi panik.
Sementara itu, Sosiolog Universitas Indonesia, Ganda Upaya mengatakan, pernyataan Tjahyo Kumolo selaku Mendagri telah merusak tatanan sosial. Pasalnya, paska pernyataannya dipublikasikan oleh media, penjarahan justru semakin marak.
“Kalaupun ingin membantu rakyat Palu harus terukur dengan koordinasi dengan aparat Pemda dan Polisi, sehingga pihak swalayan akan menseleksi makanan, minuman , obat-obatan, dan selimut yang memang dibutuhkan oleh warga Palu.
Jadi tidak akan dibiarkan warga mengambil TV, kulkas, telepon seluler, laptop yang tidak untuk survival. Sekarang yang terjadi secara faktual adalah penjarahan yang akan merusak solidaritas warga Palu,” tutur Ganda, kepada Warta Pilihan.
Adapun penjarahan terhadap makanan tetapi tidak boleh, menurut dia. Pasalnya, tetap saja makanan milik orang lain. “Yang lebih baik adalah, pihak Pemda dan pihak Swalayan dengan segera membagikan kebutuhan pokok untuk warga Palu. Kalau tidak dengan segera dibagikan, maka warga yg lapar akan menjarah untuk survival,” pungkas dia.
Kondisi Paska Bencana di Berbagai Negara
Di Jepang, paska terjadinya gempa 9 Skala Richter dan juga tsunami pada tahun 2011, tidak ada penjarahan yang dilakukan sama sekali. Padahal banyak warga Jepang yang harus bertahan hidup meski rumah telah hancur, kekurangan air, pangan, maupun obat-obatan.
Supermarket di Jepang, alih-alih menaikkan harga karena permintaan yang naik, justru secara inisiatif para pengusaha menurunkan harga, bahkan memberikannya secara cuma-cuma. Bahkan, kendati kelaparan dan terjadi krisis orang-orang Jepang yang berbelanja di supermarket tetap mengantri dengan tertib. Bisa dikatakan, kultur Jepang sangat berbeda dengan negara lainnya, karena kultur kedisiplinan yang telah mendarah daging kepada masyarakat Jepang.
Di negara lainnya, usai terjadi gempa di Haiti dan Cile, setelah banjir besar di Inggris pada tahun 2007 dan selepas badai Katrina di Amerika Serikat, seluruh warganya juga menjarah makanan untuk bertahan hidup.
Sedangkan di berbagai wilayah di Indonesia paska terjadinya gempa, rupanya Aceh pun mengalami penjarahan. Pada tahun 2005, polisi menangkap 31 tersangka penjarahan di Banda Aceh. Di Lombok pun terjadi penjarahan di toko-toko wilayah Gili Trawangan. Aksi perampokan juga banyak terjadi di rumah warga yang meninggalkan rumahnya. Sedangkan di Jogjakarta, tidak terjadi penjarahan makanan maupun barang tersier.
Tidak hanya bencana alam, kondisi krisis ekonomi juga dapat memacu masyarakat untuk melakukan penjarahan. Seperti diketahui 20 tahun lalu ketika krisis ekonomi tahun 1998, banyak dilakukan tindak kriminal yang bukan hanya penjarahan, tetapi juga pemerkosaan dan pembunuhan.
Seperti diketahui, hingga saat ini, polisi telah menangkap 45 warga Palu yang dianggap telah meresahkan korban gempa akibat penjarahan yang dilakukan.
Eveline Ramadhini