Oleh: Dr. Adian Husaini
(Direktur Attaqwa College, Depok)
Pada 10 November 2019, Kota Bandung, Jawa Barat, kembali mencatatkan sejarah penting. Ibu Kota Propinsi Jawa Barat ini pernah menorehkan berbagai peristiwa bersejarah. Tahun 1946, pejuang-pejuang kemerdekaan RI membumihanguskan sekitar 200.000 rumah agar tidak bisa dipakai sebagai markas tentara Sekutu. Sejarah menyebutnya sebagai ‘Bandung Lautan Api’.
Wartapilihan.com, Bandung– Tahun 1955, Bung Karno memelopori Konferensi Asia Afrika (KAA), yang menurut Menteri Luar Negeri RI ketika itu, Roslan Abdulgani, salah satu jiwanya adalah semangat anti-zionisme. Tentu, banyak peristiwa bersejarah lain di kota sejuk dan indah ini.
Dan pada 10 November 2019, kembali Kota Bandung mencatat sejarah baru. Kali ini terjadi dalam bidang keilmuan dan peradaban. Ratusan cendekiawan dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura berkumpul untuk mendiskusikan tema penting: Worldview and Civilization.
Selama tiga hari (8-10 November 2019), mereka berkumpul – dengan biaya sendiri – dalam sebuah seminar internasional bertajuk: “Rekonstruksi Peradaban melalui Pengukuhan Pandangan Alam Islam.” Pembicara utama adalah Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, pakar pemikiran Islam internasional, yang kini merupakan chairholder pemikiran Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas di RZS CASIS-Universiti Teknologi Malaysia.
Prof. Wan Mohd Nor menguraikan betapa pentingnya peran worldview (pandangan alam) yang kokoh dan integratif (bersepadu) bagi kebangkitan satu bangsa dan peradaban (tamadun ) yang mulia (virtuous civilization/al-hadharah al-fadhilah). Al-Quran mengubah worldview bangsa Arab menjadi bangsa yang hebat setelah worldview mereka berubah. Mereka, misalnya, menjadi begitu dinta dan ‘haus’ ilmu bahkan cinta perjuangan dan pengorbanan karena paham siapa diri mereka, apa tujuan hidup mereka di dunia, apa hakikat dunia dan apa hakikat akhirat.
Prof. Dr. Muhammad Zainy Uthman, pakar fisika dan Islamic Science, memaparkan makalah menarik bertajuk: Atoms and Aqidah. Prof. Zainy menunjukkan bukti-bukti otentik, bagaimana ulama Nusantara abad ke-17, yaitu Syekh Nuruddin al-Raniri (w. 1658) sudah membahas masalah atom, dalam salah satu kitabnya Hill al-Zhill. Ia menguraikan sejarah teori atom, sejak Yunani sampai era fisika Modern, dan kontribusi para ulama Islam dalam bidang ini. Juga, bagaimana teori ini terkait dengan masalah aqidah Islam.
Pemakalah lain dalam seminar internasional tersebut adalah Prof. Tatiana Denisova (pakar Sejarah Melayu asal Rusia). Lengkapnya, berikut para pemakalah dan judul makalah yang dibentangkan: Dr. Abdullah Othman dari Singapura (Pedoman Tamadun Silam sebagai Panduan Perspektif Masakini: Refleksi Institut Al-Zuhri), Dr. Dinar Dewi Kania, INSISTS, Jakarta (The Path to Knowledge: al-Attas and Schuon on Epistemology), Dr. Salina Binti Ahmad, Trengganu Malaysia (Al-Attas’ Semantic Analysis in Tafsir: With Special Reference to ‘On Justice and the Nature of Man’), Dr. Henri Shalahuddin, INSISTS Jakarta (Feminisme dalam Tinjauan Epistemologi Melayu), Dr. Alwi Alattas, IIUM Kuala Lumpur (Education and Socio-Political Change: The Role of Ahl al-Sunna Madrasas in the 11th and 12th Centuries Midle East), Dr. Ahmad Bazli Shafie, Trengganu Malaysia, (Transformasi Sosial dan Pendidikan Alaf Baru), Dr. Muhammad Arifin Ismail, ISTAID Medan, (Pandangan Alam Islam dalam Tamadun Masyarakat Melayu), Dr. Aliza bin Elias, IIUM Kuala Lumpur (Faham ‘Budi’ Seputar Pembacaan Teks-teks Manuskrip Melayu hingga Kurun ke-18: Suatu Penelitian Awal), Dr. Mohd Zaidi bin Ismail, IKIM Malaysia (Elemen Kepimpinan), dan Dr. Adian Husaini, Attaqwa College Depok, (Universitas Unggul di Era Disrupsi).
Seminar internasional di Bandung ini berbeda dengan berbagai seminar internasional yang pernah saya ikuti. Semua pembicara dan peserta membayar sendiri seluruh biaya yang diperlukan. Peserta dari Indonesia datang dari Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Samarinda, Medan, Pekanbaru, dan sebagainya. Pembicara dan peserta seminar terlibat dialog intensif, baik dalam acara seminar, makan, olah raga, maupun kultum subuh.
Dalam ucaptamanya, Prof. Wan Mohd Nor menyatakan, bahwa, “Worldview of Islam, as underlined by Prof. Syed Naquib al-Attas, is the vision of truth and reality on the nature of God, human existence and the entire universe. It is based on revelation of God to the Holy Prophet Muhammad in the original language, memorized by him and his generation, and written in his presence, and authoritatively compiled by the closest companions of the earliest generation.”
Sedangkan tamadun mulia (al-hadharah al-fadhilah), kata Prof. Wan Mohd Nor, adalah: “A civilization that is based on certain foundational and permanent principles of private and public virtues, of wright and wrong, projected from a particular worldview based on Revelation and Religion, Reason and Experience, manifested in its legal, ethical, scientific, artistic, aesthetic, social-economic, and ecological principles and practices that respond to various changes in the totality of human existence across generations seeking for personal success and happiness in the world and the next.”
Tamadun Islam yang mulia seperti itu, bukan hanya wacana falsafah keagamaan semata. Tapi, peradaban itu telah wujud dalam diri Nabi Muhammad saw, keluarga, para sahabat, dan kehidupan kaum muslim dalam seluruh aspek kehidupan. Uniknya, peradaban Islam juga mendapat kontribusi dan memberikan manfaat kepada umat muslim dan bukan muslim.
Prof. Naquib al-Attas sudah mengingatkan, bahwa akar masalah yang menimpa umat Islam saat ini adalah ‘hilang adab’ (loss of adab), yang diakibatkan oleh kekacauan ilmu (confusion of knowledge). Maka, peradaban yang mulia itu akan rusak ketika ilmu yang dipelajari umat Islam sudah rusak. Ilmu yang harusnya mengantarkan manusia untuk semakin mengenal dan taat kepada Tuhannya, telah berubah menjadi ilmu yang menjauhkan manusia dari mengenal dan taat kepada Allah SWT.
Kerusakan ilmu itu akan berdampak luas ketika terjadi di lembaga pendidikan tinggi, seperti pada universitas modern saat ini. Prof. al-Attas dalam bukunya, Islam and Secularism, sudah mengingatkan, bahwa ‘universitas modern saat ini merupakan lambang seorang manusia dalam kondisi ketidakadilan (zalim)’ (The modern university is the epitome of man in a condition of zulm).
Universitas (universitatem/kulliyyah), sepatutnya bertanggungjawab melahirkan manusia yang sempurna (al-insan al-kulliy, insan kamil, insan mulia, atau insan bahagia); bukan melahirkan manusia parsial yang tidak mengenal diri dan Tuhannya, sehingga jauh dari kebahagiaan.
Walhasil, untuk mewujudkan peradaban mulia, para cendekiawan muslim dituntut berpikir serius dan bersungguh-sungguh serta ikhlas dalam bekerja. Pemikiran tentang Islamic worldview, pendidikan (ta’dib), dan peradaban mulia ini sudah disampaikan Prof. Naquib al-Attas dalam Konferensi Pendidikan Islam Internasional pertama di Kota Mekkkah tahun 1977.
Alhamdulillah, kini ribuan cendekiawan dari berbagai negara semakin bersemangat untuk mewujudkan pemikiran mulia itu dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat muslim. Semoga Allah meridhai usaha kita. Amin. (Bandung, 11 November 2019).