Permintaan maaf sang sutradara termasuk penghapusan video dari akun sosmed Div. Humas Polri tidak dapat menghilangkan unsur pidana yang telah ditimbulkan.
Wartapilihan.com, Jakarta – Pengacara senior, Eggi Sudjana menduga kuat telah terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh sekumpulan orang, terstruktur, terorganisir dan massif, yang dilakukan secara sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian, permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan agama Islam.
“Merujuk pada unsur `Barang Siapa` yang secara nyata melibatkan banyak pihak, maka semua pihak yang terlibat dalam proses produksi, penjurian, evaluasi, penentuan kemenangan, pendistribusian via jejaring sosial, seluruh sponsor, hingga admin akun div humas Polri harus diperiksa, dan berpotensi menjadi tersangka serta dapat langsung ditahan,” kata Eggi Sudjana di Jakarta, Kamis (29/6).
Artinya, lanjut Eggi, dalam konteks akademis, video SARA tersebut bukanlah produk ilmiah sehingga tidak perlu diverifikasi secara akademis. Kalau-lah video ini dianggap karya cipta akademis, maka tetap saja harus diproses pidana sebagaimana Tesis HRS yang juga diproses hukum oleh Polda Jabar, termasuk buku Jokowi Under Cover.
“Silahkan pilih, video SARA mau disetarakan Tesis atau Buku Karangan Bambang Tri, yang jelas keduanya telah diproses pidana. Mau Lapor ke Mabes Polri? Ke Polda? Polres? Polsek? Adakah jeruk makan jeruk? Sampai disini kita bisa memahami kenapa HRS tidak lapor balik fitnah chat Firza Husein ke Mabes Polri. Mau lapor ke Presiden? Bukan-kah Kapolri ada pada kendali Presiden sehingga semua kebijakan penegakan hukum ada pada kendali Presiden? Mau berdalih tidak mau intervensi Hukum?,” ungkap Eggi dengan nada geram.
Sebelumnya diketahui, Div Humas Mabes Polri mengunggah video yang pada pokoknya berisi adegan orang Kristen yang sedang sekarat di dalam ambulan, tidak perkenankan lewat oleh jamaah pengajian orang Islam, padahal orang yang sekarat itu sangat membutuhkan pertolongan dan akses menuju rumah sakit.
“Konten atau informasi dalam video tersebut jelas keliru, fitnah yang sangat kejam terhadap umat Islam, dan merupakan sarana untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan agama Islam,” Eggi menerangkan.
Menurutnya, video tersebut melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.
“Ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah),” ucap Eggi.
Berdasarkan ketentuan pasal 21 ayat 4 KUHAP, semua Tersangka pengedar video SARA yang diunggah div humas Polri dapat langsung ditahan, karena ancaman pidana pasal 28 ayat 2 UU ITE diatas 5 (lima) tahun.
Unsur “Setiap Orang” kata Eggi dalam pasal 28 UU ITE dapat meliputi siapa saja yang memiliki andil dalam penyebaran video SARA yang diunggah Div. Humas Mabes Polri. Secara institusi yang wajib bertanggung jawab adalah Divisi humas Polri, Lembaga Penjurian Video, Lembaga atau umah produksi Pembuat Video, dan seluruh lembaga sponsor.
“Sebab, pertanggungjawaban pidana hanya diberikan kepada orang bukan lembaga, maka yang wajib diperiksa dalam kasus video SARA adalah Sang sutradara film, seluruh aktor dan kru, kepala Div. Humas Mabes Polri, dan penanggung jawab sponsorship dari mitra,” tegasnya.
Eggi menuturkan, tindak pidana tidak saja diberlakukan kepada para pelaku utama tetapi juga terhadap siapa saja yang menyuruh, membantu, atau turut serta melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, maka Kapolri juga harus diperiksa untuk memastikan ada atau tidaknya keterlibatan baik secara aktiv maupun secara pasif berupa persetujuan, hingga akhirnya video SARA tersebut beredar luas di masyarakat.
Unsur `dengan sengaja` dalam
Kasus video SARA yang diunggah Div. Humas Mabes Polri dapat dibuktikan dengan teori sengaja kemungkinan. Meskipun sengaja dengan maksud maupun tujuan, dapat ditepis pihak sutradara dengan berdalih tidak ada niat dan maksud untuk memfitnah umat Islam dan memecah belah kelompok individu dan masyarakat. Tetapi secara kemungkinan, pihak Sutradara patut melihat kuat adanya kemungkinan ketersinggungan umat Islam dan potensi pecah belah masyarakat dari video yang di produksi,” jelasnya.
Unsur `tanpa hak menyebarkan informasi” harus dimaknai dalam konteks tanpa hak mendeskreditkan persepsi umat Islam dalam video yang digambarkan intoleran dan sadis. Seharusnya, saran Eggi, sang Sutradara harus meminta izin terlebih dahulu kepada seluruh umat Islam sebelum mendistribusikan video SARA tersebut atau setidak-setidaknya meminta izin untuk menggunakan hak mendistribusikan video SARA melalui perwakilan umat Islam di Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai representasi umat Islam.
“Unsur `menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)` adalah unsur objektif bukan subjektif. Unsur ini dikembalikan kepada dua hal. Pertama, keterangan saksi fakta dari masyarakat yang merasa tersinggung dan tidak terima dengan video SARA tersebut,” tandasnya.
Kedua, keterangan dari saksi ahli yang menjelaskan bahwa video SARA tersebut memang tidak layak disebarluaskan. Mengenai adanya ketersinggungan umat Islam, ini merupakan fakta yang sangat jelas dan tidak dapat dipungkiri.
“Akhirnya rakyat dan Umat Islam mengadukan semua kedzaliman ini hanya kepada Allah SWT dan menyampaikannya kepada publik. Hanya Allah SWT, sebaik-baik penolong dan Dzat maha pemberi keadilan,” pungkasnya.
[Ahmad Zuhdi]