Sikap tasamuh dan saling menghargai dalam menyikapi perbedaan paham antara sesama para imam mujtahid setelah ratusan tahun berlalu sikap mulia tersebut tidak diindahkan lagi oleh para pengikut masing-masing madzhab.
Wartapilihan.com, Jakarta– Setiap golongan pengikut madzhab mengklaim, bahwa pendapat madzhabnya yang benar dan pengikut pendapat madzhab-madzhab yang lain dituduh sesat dan menyesatkan. Bahkan, ada sikap yang paling ekstrim dikedepankan dengan berani mengkafirkan saudaranya yang seiman dan seagama karena tidak sepaham dan semadzhab dengan mereka. Problem keagamaan yang seperti itulah yang sering timbul dalam masyarakat muslim selama ini.
Jika tidak ditemukan dalilnya secara khusus dan jelas di dalam pelbagai sumber ajaran Islam, semua mengakui bahwa ijtihad para ulama menjadi pedoman. Tetapi, yang terjadi adalah saling menyalahkan, saling menuduh sesat dan menyesatkan, serta dalam kasus keagamaan sebagaimana di atas, seperti tidak ada juri atau hakim yang berupaya mendamaikan kedua pihak yang berseteru sebagai realisasi dari perintah Allah dalam Al-Qur’an. Dengan mengerahkan kekuatan demo dan mengedepankan luapan emosi, tetapi menafikan peran akal sehat untuk menyelesaikan masalah dengan “wa jaadilhum billatii hiya ahsan”, maka rusaklah rasa Ukhuwah Islamiyah dan hancurlah ikatan persaudaraan sesama muslim. (Baca: Abdul Karim Syeikh, “Potret Ukhuwah Islamiyah Dalam Al-Qur’an: Upaya Merajutnya Dalam Kehidupan Umat Islam,” Jurnal Ilmiah Al-Mu’ashirah 16, no. 2 (2020): 176.)
Berhadapan dengan problema yang sering muncul di tengah-tengah masyarakat muslim tersebut, timbul pertanyaan, bagaimanakah potret Ukhuwah Islamiyah yang sebenarnya? Pertanyaan selanjutnya, apa yang menjadi sumber keretakan Ukhuwah Islamiyah? Kemudian, bagaimanakah cara merajut kembali Ukhuwah Islamiyah yang telah terlanjur retak?
Hakikat Ukhuwah Islamiyah
Hakekat Ukhwah Islamiyah minimal terdapat empat hal. (Lihat: Cecep Sudirman Anshori, “Ukhuwah Islamiyah Sebagai Fondasi Terwujudnya Organisasi Yang Mandiri Dan Profesional,” Jurnal Pendidikan Agama Islam 14, no. 1 (2016): 117–25.) Pertama, nikmat Allah, sebagaimana firman Allah SWT. di dalam al-Quran, bahwa “(Berpegang teguhlah kamu dengan tali Allah) maksudnya agama-Nya (kesemuanya dan janganlah kamu berpecah-belah) setelah menganut Islam (serta ingatlah nikmat Allah) yakni karunia-Nya (kepadamu) hai golongan Aus dan Khazraj (ketika kamu) yakni sebelum Islam (bermusuh-musuhan, maka dirukunkan-Nya) artinya dihimpun-Nya (di antara hatimu) melalui Islam (lalu jadilah kamu berkat nikmat-Nya bersaudara) dalam agama dan pemerintahan (padahal kamu telah berada dipinggir jurang neraka) sehingga tak ada lagi pilihan lain bagi kamu kecuali terjerumus ke dalamnya dan mati dalam kekafiran (lalu diselamatkan-Nya kamu daripadanya) melalui iman kalian. (Demikianlah) sebagaimana telah disebutkan-Nya tadi (Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya supaya kamu beroleh petunjuk).” (Tafsir Jalalayn QS. ali Imrân: 103). Karena ukhuwah Islamiyah merupakan nikmat yang Allah berikan, maka sudah sepatutnya kita mensyukurinya dengan cara menjaga hubungan dan jangan sampai retak.
Kedua, perumpamaan tali tasbih, Allah SWT. berfirman dalam al-Quran, bahwa “(Teman-teman akrab) dalam hal maksiat sewaktu di dunia (pada hari itu) pada hari kiamat itu lafal Yaumaidzin berta’alluq kepada firman selanjutnya (sebagian dari mereka menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa) terkecuali orang-orang yang saling kasih mengasihi di dalam ketaatan kepada Allah swt., mereka itulah yang sebenarnya berteman, kemudian dikatakan kepada mereka yang bertakwa itu.” (Tafsir Jalalayn QS. az-Zukhruf: 67). Ukhuwah bukan hanya sekadar “tali” antara manusia satu dan manusia lainnya, tapi layaknya tali tasbih yang biasa digunakan untuk berdzikir kepada Allah SWT. Pun demikian dalam Ukhuwah Islamiyah, bahwa di dalamnya harus selalu ada Allah dengan cara bertaqwa kepada-Nya.
Ketiga, arahan rabbani, sebagaimana dalam al-Qur’an Allah berfirman, bahwa “(Dan yang mempersatukan) menghimpun (hati mereka) sesudah mengalami ujian-ujian. (Walaupun kamu membelanjakan semua kekayaan yang berada di bumi niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka) dengan kekuasaan-Nya. (Sesungguhnya Dia Maha Perkasa) Maha Menang atas semua perkara-Nya (lagi Maha Bijaksana) tiada sesuatu pun yang terlepas daripada kebijaksanaan-Nya.” (Tafsir Jalalayn QS. al-Anfal: 63). Karena Ukhuwah adalah arahan rabbani, maka mengokohkannya termasuk dalam bentuk ibadah, tidak memecah-belah persaudaraan, dan saling menguatkan satu sama lain.
Dan keempat, cermin kekuatan iman, sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an, bahwa “(Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah saudara) dalam seagama (karena itu damaikanlah antara kedua saudara kalian) apabila mereka berdua bersengketa. Menurut qiraat yang lain dibaca Ikhwatikum, artinya saudara-saudara kalian (dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat.)” (QS. al-Hujurat: 10). Ukhuwah Islamiyah juga dapat dimaknai seperti cermin. Bila cermin tersebut dalam kondisi retak, maka cermin tersebut tidak sempurna pantulannya ketika cahaya atau sinar datang menerpanya. Sama halnya dengan Ukhuwah Islamiyah, ketika sedang dalam keadaan terpecah belah, maka pertanda kekuatan iman kaum Muslimin sedang dalam tingkatan rendah. Maka, penting bagi kaum Muslimin untuk menjaga Ukhuwah Islamiyah, sebab di dalamnya terkandung pelbagai keutamaan yang di antaranya telah disebutkan diatas.
Sebab Keretakan dan Potensi Perbaikan
Ukhuwah Islamiyyah adalah modal dasar untuk menguatkan Islam di muka bumi ini. Dengan memperhatikan Ukhuwah Islamiyah, berarti membantu menegakkan syariat Islam di permukaan bumi ini, di zaman sekarang ini. Banyak perselisihan antara kaum Muslimin dikarenakan masalah sepele yang pada akhirnya berkepanjangan, sehingga lupa dengan siapa seharusnya Muslim berselisih. Ternyata, perselisihan itu menjadi umpan dan sasaran empuk bagi kaum kuffar untuk memperkenalkan kepada dunia tentang keburukan Islam yang selalu berselisih satu sama lain. Seyogyanya bagi kaum Muslimin, perselisihan yang sepele itu ditepis dengan membiasakan diri menjadi pribadi-pribadi yang berjiwa besar dalam menghadapi permasalahan, sebagaimana besarnya jiwa Rasulullah SAW.
Menurut Hafidhuddin (2003), terdapat beberapa jenis penyakit ukhuwah. (Baca: Eva Iryani and Friscilla Wulan Tersta, “Ukhuwah Islamiyah Dan Perananan Masyarakat Islam Dalam Mewujudkan Perdamaian: Studi Literatur,” Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi 19, no. 2 (2019): 401.) Pertama, pelbagai pertentangan yang terjadi sering diakibatkan oleh pemahaman Islam yang tidak komperehensif dan kaffah. Kedua, ta’asub dan fanatisme terhadap kelompoknya sendiri dan cenderung meremehkan atau menihilkan kelompok lain, padahal masih sesama umat Islam. Ketiga, kurang tasamuh terhadap perbedaan-perbedaan yang terjadi, sehingga menutup pintu dialog yang kreatif dan terbuka. Keempat, kurang tersedia untuk saling bertaushiyyah (saling menasihati) antara sesama umat Islam untuk mengurangi atau menghilangkan berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada. Kelima, kurang memahami kawan dan lawan yang sesungguhnya, sehingga sering salah mengantisipasi dan mengambil kesimpulan. Pelbagai jenis penyakit ini harus diupayakan bersama untuk disembuhkan, pun karena hal ini juga termasuk dalam ibadah.
Sebuah mutu kehidupan, sebuah peradaban, terbangun dengan indah di atas berpadunya kebenaran dengan hubungan saling menguatkan antar sesama (Fillah, 2011). “Alangkah indahnya gagasan,” kenang Hasan al-Banna dalam Mudzakkirotud Da’wah wa Da’iyah, “Dan alangkah bermaknanya jika ada sekelompok manusia yang berjanji setia untuk mewujudkannya.” Sungguh keliru jika dianggap para penebar kebajikan mendapat pendukung semata-mata karena balas jasa atas apa yang dia taburkan. Dalam sebuah kebenaran, keterbimbingan manusia, ada kekuatan yang jauh lebih besar, jauh lebih tinggi, dan lebih mulia yang menyatukan hati-hati itu.
Upaya Merekatkan Kembali
Kalangan ulama harus memahami betul arti “khilafah Allah di muka bumi”. Ada keharusan untuk memiliki pemahaman kuat, bahwa khilafah Allah di muka bumi hanya bisa tegak dengan cara melaksanakan sekuat tenaga pelbagai amanah yang telah didelegasikan oleh Allah SWT. Juga, harus memperkokoh pemahaman, bahwa bentuk kekuasaan lahiriah bukanlah sebuah keharusan bagi tegaknya khilafah Allah di muka bumi. Persatuan Islam hanya bisa diwujudkan dalam konteks hal-hal yang disepakati bersama. Tidak memperdulikan perbedaan dalam urusan-urusan furû’ dan hal-hal khusus yang tidak tersentuh oleh persatuan. Persatuan tersebut diupayakan dengan cara dan jalan yang disepakati bersama.
Kalangan ulama harus memahami betul pola pikir dalam menyikapi pihak yang berseberangan dalam konteks pemikiran atau ijtihad. Juga, harus berupaya menerapkan pola pikir tersebut dalam kasus-kasus riil yang terjadi, agar bisa menjadi karakter yang tertanam kuat dan menjadi teladan yang baik dalam hal ini. Ada keharusan untuk menghidupkan etika dalam membina hubungan, khususnya dengan berbagai mazhab Ahlussunnah Waljamaah, dan umumnya dengan aliran-aliran lain di tubuh umat Islam yang masih memiliki kesesuaian dalam kaidah dan dasar-dasar pokok agama.
Terdapat beberapa kewajiban yang mesti dilakukan untuk mewujudkan persatuan umat Islam. Yang terpenting adalah para pengikut Ahlussunnah Waljamaah memandang persatuan sebagai sesuatu yang baik dan berupaya untuk melaksanakan kewajiban persatuan itu. Juga harus menggambarkan kepada kelompok lain di dunia ini, bahwa persatuan merupakan sesuatu yang sangat baik. Hal tersebut bisa tercapai dengan relatif mudah melalui beberapa perangkat. Pertama, menampakkan kebaikan kelompok-kelompok lain, menutupi keburukan mereka, dan berprasangka baik kepada mereka. Kedua, membangun komunikasi yang baik dengan mereka melalui berbagai macam cara, seperti berkunjung, melakukan pendekatan, dan cara-cara lain yang berguna sebagai media komunikasi serta pengokoh hubungan dengan mereka. (al-Hamid Jakfar al-Qadri, Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat: Telaah Atas Pemikiran Al-Habib Umar Bin Hafizh Dalam Membina Ukhuwah Dan Membangun Dialog (Jagakarsa: Penerbit Mizan Pustaka, 2012).) Itulah nasehat Habib Umar dalam Multaqa Ulama pada 16 Muharram 1430 H di Bogor tentang Konsolidasi dalam Memperkokoh Ukhuwah dan Persatuan.
Wallahu a’lam bish showab.
Taufik Hidayat