Wartapilihan.com, Jakarta – Suatu hari di suatu kelas perkuliahan di Universitas ternama, seorang dosen Sosiologi Agama menanyakan, materi apa yang telah mereka baca untuk kuliah hari itu yang membahas tentang “Dunia Mistik di Jawa” dari Nielsen Mulder. Ketika ditanya, hanya satu orang yang membaca dari belasan mahasiswa. Dengan heran, ia bertanya satu demi satu kepada para muridnya, “Anda lebih suka mendengarkan atau membaca?” Hanya satu orang yang menjawab lebih suka membaca, sedangkan selebihnya menjawab lebih suka mendengarkan. Sang dosen lalu menyimpulkan, “Kultur orang Indonesia memang lebih suka mendengarkan daripada membaca.”
Televisi, benda kotak bersuara itu ternyata telah berhasil bertahan menjadi benda paling eksis hingga hari ini, meski sudah ada teknologi HP tercanggih. Terbukti dari tak pernahnya absen sebuah televisi di satu rumah maupun kantor-kantor. Sebuah rumah tanpa televisi barangkali bagaikan memakan sayur tanpa garam.
Benda yang sering kita sebut sebagai tipi itu nyatanya memberi dampak-dampak tak biasa bagi masyarakatnya. Pengaruh kuat itu melekat pada masyarakat Indonesia, pada kultur masyarakat. Salah satunya, menjadi makhluk yang pasif dalam menerima informasi, terutama pada anak-anak.
Pernahkah Anda mendengar anak Anda bernyanyi, atau melakukan apa yang dilakukan para artis di televisi? Suatu waktu, saya tercengang ketika Adik saya yang berumur 12 tahun hafal lagu Mars Perindo yang sering diiklankan pada tiga stasiun tv secara bersamaan dan berulang-ulang.
Anak-anak dengan mudahnya melakukan imitasi, dan menjadi penerima informasi yang pasif. Mari melawan lupa dengan mengingat kembali kasus pada tahun 2006, terjadi perkelahian hingga anak yang meninggal; usut punya usut, ia jadi objek bagi kawan seperjawatannya yang menonton Smackdown.
Ikatan Dokter Anak Indonesia memberikan data pada tahun 2002, jumlah jam menonton TV pada anak di Indonesia sekitar 30-35 jam per minggu atau 1.560-1.820 jam per tahun . Angka ini jauh lebih besar dibanding jam belajar di sekolah dasar yang tidak sampai 1.000 jam/tahun. Hal ini menunjukkan, betapa produktifnya anak-anak dalam menonton televisi, tetapi tidak juga disertai dengan tontonan bermutu.
Anak merupakan pendengar yang baik, peniru yang baik, tetapi bukan penindak yang baik, karena belum bisa membedakan mana yang salah dan benar. Dengan kata lain, anak dapat menyerap seluruhnya, yang jarang ada proses berpikir untuk mengasah kognisi, sehingga anak menjadi pemirsa yang pasif. Dua puluh hingga tiga puluh tahun kemudian, si anak dewasa akan terbiasa menjadi orang yang tersuapi informasi, yang akan berdampak pada raga yang dewasa tetapi pemahaman yang minim kritis.
Hal ini juga terbentuk dari iklan yang bertubi-tubi. Suatu acara televisi tidak akan terselenggara tanpa kehadiran iklan. Inti dari acara televisi justru sering terlihat agar bertujuan konsumtif, bukan mendidik. Terlihat dari betapa upaya televisi mengejar rating tinggi agar semakin banyak iklan yang bisa dipasangnya.
Televisi juga menanamkan diskursus yang kurang masuk akal, tetapi banyak diterima masyarakat awam. Betapa banyak anak di bawah umur yang sudah merokok hanya karena merasa ‘keren’ jika melakukannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Adstensity, perusahaan rokok Djarum mengeluarkan dana hingga Rp 6,494 triliun sepanjang Mei 2015 hanya untuk iklan di 13 stasiun televisi. Citra kekerenan pada rokok dengan slogan-slogan yang mereka bentuk, telah menjadi tanaman liar berakar pada pikiran anak muda.
Betapa masyarakat Indonesia telah menjadi kumpulan orang-orang pasrah disuapi informasi (lebih tepatnya iklan) ini dan itu. Hingga hanya mampu melihat mimpi-mimpi yang dibelanjakan untuk kulit putih mulus, atau rambut hitam yang panjang yang amat mengedepankan fisik; tetapi sama sekali minim dalam berpikir atau bertafakur tentang kehidupan.
Dalam Al-Quran Surah Al-Jathiyah: 13 dikatakan “Dan Dia telah menundukan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari padanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar benar terdapat tanda tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.”
Berpikir merupakan proses yang semestinya terjadi pada setiap manusia, karena ia dikaruniai akal. Dengan demikian, manusia dapat menemukan kebenaran yang hakiki. Allah menyukai orang-orang yang bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi ketika duduk, tidur maupun berdiri, hingga ia yakin ‘Rabb-ku, sesungguhnya tak ada yang sia-sia dalam penciptaanMu’ (QS. [3]: 191).
Selama masih dikuasai iklan berbasis kapitalisme, dunia pertelevisian tidak akan pernah murni; acara-acara berkualitas dan idealis hanya akan dijumpai beberapa saja. Maka, yang terbaik untuk anak sebenarnya adalah dengan menumbuhkan budaya baca pada dirinya. Dengan membaca, anak mengalami proses perkembangan berpikir dan menjadikan ia insan yang bijak pada masa depannya.
Menurut studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, budaya baca di Indonesia berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara. Seperti yang dilansir Kompas, Indonesia justru berada pada peringkat di bawah Thailand pada urutan ke-59. Hal ini menunjukkan betapa minimnya minat baca di Indonesia.
Betapa indahnya jika sang anak membaca buku-buku yang ringan dan melembutkan hati. Misal, sang anak membaca 25 kisah nabi, atau bahkan membaca buku-buku cerpen dan sastra. Tidak hanya mengajak berpikir, tetapi juga memperkaya bahasa dan linguistiknya.
Umar bin Khattab berkata, “Ajarilah anak-anakmu sastra, karena sastra membuat anak yang pengecut menjadi pemberani.”
reporter: Eveline Ramadhini