Saya membaca, ada yang tidak sehat dari sekian pemberitaan terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS). Salah satunya, sekadar menjadikan HRS sebagai komoditas (barang dagangan). Dalam arti, semua mengambil keuntungan atas eksistensi serta ketokohan HRS.
Wartapilihan.com, Jakarta– Mulai dari media, orang-orang dekat HRS yang bernafsu untuk “Panjat Sosial” (Pansos), kalangan aktivis oposisi yang mendompleng kepopuleran HRS, begitu juga buzzer dan aktivis pendukung rezim, mereka punya isu untuk misalnya “habisi” HRS dan FPI. Begitu juga sambil menyelam minum air, hantam Anies Baswedan sekaligus.
Kemudian, apakah rezim Jokowi juga diuntungkan? Tentu saja. Gegap gempita berita tentang HRS mengurangi porsi pemberitaan atau perbincangan masyarakat atas beragam kebijakan rezim yang problematis. Sementara, rakyat sibuk bertengkar dengan rakyat, rezim leluasa meng-golkan beragam kebijakan sesuai selera penguasa. Itu sebabnya, arus informasi yang kurang sehat semacam ini perlu kita baca kembali secara kritis.
Betul bahwa HRS simbol perlawanan terhadap rezim Jokowi. Setidaknya di level jargon. Rezim Jokowi dengan revolusi mentalnya, sebuah jargon yang lama tak terdengar kabarnya karena sibuk bangun infrastruktur dari pada mental manusianya. Sementara, HRS begitu heroik dengan jargon Revolusi Akhlaknya, sebuah jargon yang juga belum jelas bentuk dan arah konkritnya. Kita, masyarakat awam, sebenarnya juga bertanya? Sebenarnya “perjuangan” HRS itu apa? Hasil akhir yang diinginkan seperti apa?
HRS dengan FPI sebagai ormas memang berbeda dengan ormas-ormas lainnya. Satu yang menojol adalah semangat menggeloranya dengan upaya mencegah beragam kemungkaran. Dalam terminologi Islam dikenal dengan Nahi Munkar. Dilevel ini, tentu eksistensi HRS dan FPI tak boleh dianggap remeh. Prestasi terbesarnya dibidang politik tentu menganjal “Si Mulut Arogan” Ahok untuk berkuasa kembali jadi Gubernur DKI. Walau, dilevel kemanusiaan, kehadiran HRS dan FPI juga tak bisa dilupakan begitu saja. Kerap menjadi pasukan terdepan ketika beragam bencana datang. Mereka siap siaga membantu.
Kembali ke pokok persoalan. Saya meyakini, saat ini banyak kalangan menjadikan HRS sekadar sebagai komoditas. Menjadikan HRS sebagai epicentrum atas beragam sepak terjang, kebijakan dan perilaku politik, baik individu maupun kelompok. Pikiran awalnya, keuntungan apa yang bisa didapatkan dengan kepopuleran HRS? Kalau ini terus terjadi, maka risikonya, bakal banyak peristiwa transaksional yang mungkin terjadi dibalik beragam isu tentang HRS dan FPI ini. Tentu Ini sangat membahayakan. Tak hanya bagi demokrasi tapi juga bagi Islam itu sendiri.
Saya melihat juga, ada kencenderungan saat ini ormas lain semacam Muhammadiyah sudah mulai agak gerah dengan model gerakan “kerumunan”. Ada juga kritikan halus dari Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) dengan pimpinan baru Dr. Adian Husaini. Sekarang diperlukan, tak melulu urusan politik praktis semata, tapi diperlukan meminjam istilah Dr. Adian sebagai “Dialog Intelektual”. Saya kira, hal ini sebuah agenda yang sangat memungkinkan, karena alam demokrasi memberikan ruang bagi siapapun bisa menjajakan beragam gagasan dan konsep bernegara ke depan. Bahkan gagasan NKRI bersyariah dari FPI pun memungkinkan untuk di dialogkan. Terakhir, kini saatnya kita mewarnai arus informasi dan media dengan gagasan-gagasan pencerahan yang lebih beradab dengan dialog intelektual. Bukan melulu menyesaki arus informasi dan media dengan nuansa sensasi, adu domba apalagi ujaran kebencian.[]
Yons Achmad
(Praktisi Komunikasi. CEO Komunikasik.com)