“Logikanya, Setnov ini anggota DPR yang merupakan lembaga legislatif, tidak memiliki kewenangan untuk eksekusi, tidak mungkin seorang anggota legislatif bisa melakukan tindak pidana korupsi apalagi melakukan set up dalam pengadaan E-KTP seorang diri,” ujar Kamil Pasha.
Wartapilihan.com, Jakarta – Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov) divonis 15 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (24/4). Ia juga diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Putusan itu lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni pidana 16 tahun penjara dan membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
“Menyatakan terdakwa Setya Novanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan korupsi yang dilakukan bersama-sama dan menjatuhkan pidana dengan penjara 15 tahun,” ujar ketua majelis hakim Yanto saat membacakan amar putusan.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu terbukti melakukan korupsi proyek e-KTP sebanyak 7,3 juta dollar AS atau sekitar Rp 71 miliar (kurs tahun 2010) dari proyek pengadaan e-KTP. Ia mengaku terkejut dan kaget atas putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor itu.
“Jujur saya shock sekali. Karena apa yang didakwakan dan disampaikan itu perlu dipertimbangkan, tidak sesuai dengan persidangan yang ada,” ungkapnya.
Pengamat hukum Kamil Pasha mengatakan KPK tidak boleh berhenti sampai di Setya Novanto saja. Ia meminta KPK tidak tebang pilih dalam menentukan status tersangka dan menaikannya ke penuntutan di persidangan. Terlebih, melakukan sandiwara politik dengan menjadikan kasus ini sebagai alat barter di tahun politik Pilkada serentak, dan menjelang pemilu serta pilpres. Dimana, beberapa nama disebut terlibat akan mengikuti kontestasi politik.
“Logikanya, Setnov ini anggota DPR yang merupakan lembaga legislatif, tidak memiliki kewenangan untuk eksekusi, tidak mungkin seorang anggota legislatif bisa melakukan tindak pidana korupsi apalagi melakukan set up dalam pengadaan E-KTP seorang diri,” ujar Kamil saat dihubungi Wartapilihan.com, Selasa (24/4).
Ia menjelaskan, tidak menampik adanya keterlibatan atau bantuan dari anggota DPR, pihak swasta, dan pihak eksekutif di pemerintahan waktu itu terutama Menteri Dalam Negeri dan jajarannya. Seperti Olly Dondokambey, Tamsil Linrung, Mirwan Amir dan Melchias Markus Mekeng. Kemudian, Arif Wibowo, Ganjar Pranowo dan M Jafar Hafsah.
“Itu semua juga harus diangkat hingga ke persidangan, biarkan pengadilan yang menentukan bersalah atau tidaknya,” pinta Kamil.
Senada dengannya, Sekretaris Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Pedri Kasman meminta KPK betul-betul mengurai kasus ini sesuai fakta yang berkembang dalam persidangan dan penyidikan kasus ini.
“Semua nama yang pernah disebut dalam sidang sangat patut diminta keterangan. Jika ada indikasi ikut berjama’ah dalam praktek korup itu, segera naikkan statusnya jadi tersangka,” seru Pedri.
Pedri menilai putusan majelis hakim Tipikor menunjukkan betapa praktek korupsi sudah menjadi kanker akut di negeri ini. Seorang anggota DPR bisa mempengaruhi proyek sedemikian rupa dan merugikan negara puluhan miliyar.
“Ungkap setuntas tuntasnya. Jangan ada fakta yang ditutupi dan dibelokkan,” tegasnya.
Korbid Pemenangan Pemilu Sumatera DPP Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mencermati perubahan sikap yang bertolak belakang dari Setya Novanto selama mengikuti proses hukum yang dijalani.
Apabila sebelumnya selalu membantah terlibat dan merasa tidak pernah melakukan pelanggaran hukum, tetapi dalam beberapa kali sidang terakhir di Pengadilan Tipikor, mantan Ketua DPR itu telah mengakui kesalahannya bahkan pernah meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas perbuatannya melakukan tindak pidana korupsi.
“Ini perlu menjadi perhatian bagi kita semua, terutama bagi nama-nama yang juga akhir-akhir ini sering disebut dan membantah terlibat,” ujar Doli.
Terkait vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap Setnov, ia menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme hukum yang berlaku. Dalam mengambil putusan, menurutnya, hakim telah mempertimbangkan banyak variabel, termasuk tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, bukti-bukti, serta keterangan saksi-saksi yang ada.
“Jadi, seluruh proses yang telah dijalani hingga apapun putusannya harus kita hormati. Termasuk apabila Jaksa Penuntut Umum akan mengajukan banding, karena merasa putusannya tidak sesuai tuntutan, itu pun harus juga kita hormati,” papar Doli.
Terakhir, ungkap Doli, yang menjadi sorotan, kasus e-KTP adalah kasus besar dan melibatkan banyak sekali nama-nama, seperti para saksi, terdakwa, dan terpidana Setnov serta sebelum-sebelumnya.
Karena itu, putusan terhadap Setnov menurutnya bukanlah final atau akhir dari pengungkapan kasus megaskandal korupsi e-KTP. Dengan dukungan dari masyarakat yang luas, termasuk komitmen Partai Golkar untuk ikut mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, tentu tanggung jawab ada di KPK saat ini.
“Kita tunggu sejauh mana komitmen, keberanian, dan kerja profesioanal KPK untuk dapat mengungkap nama-nama lain yang disebut-sebut terlibat,” tandasnya.
Ahmad Zuhdi