Meski sertifikat halal masih bersifat voluntary (suka rela), sertifikat halal dapat menambah kepercayaan dan kenyamanan konsumen.
Wartapilihan.com, Jakarta — Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 mengenai Jaminan Produk Halal (JPH) akan dilaksanakan mulai 17 Oktober 2019 mendatang. Pemerintah mewajibkan (mandatory) pelaku usaha untuk mendapatkan sertifikat halal.
Perkara halal haram bukan saja terkait regulasi pemerintah, tapi merupakan perintah Allah Swt agar setiap muslim memperhatikan hal yang halal dan haram agar mendapatkan kenyamanan dalam ibadah dan memberikan ketentraman bagi masyarakat.
Namun, sebelum memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) harus mengetahui sistem jaminan halal (SJH). SJH didokumentasikan dalam bentuk manual.
SJH adalah suatu jaringan kerja dimulai dari komitmen manajemen puncak dan prosedur-prosedur yang disusun saling berhubungan, diterapkan dan dipelihara untuk menghasilkan produk halal, menghindari kontaminasi terhadap produk halal dan menjamin tidak adanya penyimpangan pada proses pengembangan atau reformulasi.
Bertempat di Smesco Jakarta dalam acara Indonesia Halal Expo (INDHEX), Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menggelar pelatihan SJH yang diikuti hampir 100 pelaku UMKM dari berbagai daerah, Sabtu (3/11).
Auditor LPPOM MUI Desytrianti menjelaskan, definisi halal bahan makanan adalah boleh, kecuali secara khusus disebutkan dalam Al-Qur’an atau Hadits seperti daging babi, hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, bangkai, darah, dan khamar.
“Mungkin dari kita tahu yang haram hanya daging babi. Padahal, dari babi banyak sekali turunan produknya. Seperti kulit, bisa jadi collagen, gelatin dan bisa diproduksi menjadi tas,” ujar Trisyanti.
“Untuk kuas makanan juga harus kita pastikan apakah dia dari bulu babi atau bukan. Kalau kuas sintetis mungkin kasar. Nah, bapak-ibu bisa mencari kuas dengan spesifikasi tertentu yang menggunakan bulu domba,” sambungnya.
Ia menuturkan, sumber bahan pangan, obat-obatan dan kosmetika yang berasal dari hewan, tumbuhan (nabati), mikrobial, dan lain-lain seperti mineral, sintetik dan campuran bahan tertentu, harus diperhatikan titik kritisnya.
Menurut dia, suatu produk dikategorikan menjadi empat jenis. Yaitu produk tidak beresiko, produk beresiko rendah, produk beresiko tinggi, dan produk beresiko. Produk tidak beresiko yaitu tidak melibatkan bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan serta fasilitas yang digunakan terbebas dari bahan najis dan haram.
“Seperti tepung beras, tepung jagung, ubi, gandum, pati singkong (tapioka), garam, madu, gas, rumput laut, CPO (cruth palm oil), bihun, soun, dan misoa tanpa penambahan bahan adiktif,” paparnya.
Sedangkan produk beresiko rendah yaitu melibatkan satu atau dua bahan kritis yang bukan kategori sangat beresiko tinggi dan fasilitas produksi bebas dari bahan najis dan haram. Diantaranya mie kering, mie basah, mie telor, minyak goreng, asam lemak, AMDK (air minum dalam kemasan, tepung telur, dan pacar cina. Adapun produk beresiko adalah selain ketiga kategori produk tersebut. Misalnya, biskuit, permen, coklat, mie instan, dan lain-lain.
“Dan untuk produk beresiko tinggi yaitu melibatkan bahan hewani atau bahan kritis lainnya. Ini yang dikhawatirkan mendekati haram bu. Karena harus melalui proses validasi di lapangam dan otentikasi di lab (laboratorium). Seperti gelatin, RPH, kondrotin, dan kolagen,” Trisyanti memaparkan.
Karenanya, kata dia, suatu produk harus memenuhi kriteria SJH. Kriteria tersebut yaitu kebijakan halal, tim manajemen halal, pendidikan dan pelatihan, bahan, produk, fasilitas produksi, prosedur tertulis untuk aktivitas kritis, penanganan produk untuk yang tidak memenuhi kriteria, mampu telusur, internal audit, dan kaji ulang manajemen.
“Maka itu, ketika pertama kita jumpa dengan pelaku usaha yang ingin mendaftarkan usahanya, ada empat prinsip SJH yaitu jujur, kepercayaan, partisipatif, dan absolut,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Trisyanti menjelaskan proses sertifikasi halal. Berikut Proses sertifikasi halal dalam bentuk diagram alir:
a) Perusahaan yang mengajukan sertifikasi, baik pendaftaran baru, pengembangan (produk/fasilitas) dan perpanjangan, dapat melakukan pendaftaran secara online. melalui website LPPOM MUI (www.halalmui.org) atau langsung ke website : www.e-lppommui.org.
b) Mengisi data pendaftaran : status sertifikasi (baru/pengembangan/perpanjangan), data Sertifikat halal, status SJH (jika ada) dan kelompok produk.
c) Membayar biaya pendaftaran dan biaya akad sertifikasi halal melalui Bendahara LPPOM MUI di email : bendaharalppom@halalmui.org
Komponen biaya akad sertifikasi halal mencakup honor audit, biaya sertifikat halal, biaya penilaian implementasi SJH, dan biaya publikasi majalah Jurnal Halal.
*) Biaya tersebut diluar transportasi dan akomodasi yang ditanggung perusahaan
d) Mengisi dokumen yang dipersyaratkan dalam proses pendaftaran sesuai dengan status pendaftaran (baru/pengembangan/perpanjangan) dan proses bisnis (industri pengolahan, RPH, restoran, dan industri jasa), diantaranya : Manual SJH, Diagram alir proses produksi, data pabrik, data produk, data bahan dan dokumen bahan yang digunakan, serta data matrix produk.
e) Setelah selesai mengisi dokumen yang dipersyaratkan, maka tahap selanjutnya sesuai dengan diagram alir proses sertifikasi halal seperti diatas yaitu pemeriksaan kecukupan dokumen —– Penerbitan Sertifikat Halal.
“Mengenai biaya, kami (LPPOM MUI) ada teknik hitungannya sendiri dan menyesuaikan dengan produknya,” ujar dia.
Ia menandaskan, diantara manfaat penerapan SJH yaitu meningkatkan kepercayaan konsumen untuk membeli produk tersebut, mencegah kasus ketidakhalalan produk bersertifikat halal, memunculkan kesadaran internal perusahaan dan memiliki kesinambungan proses produksi halal.
“Jadi, penetapan halal haramnya adalah komisi fatwa. Bukan auditor. Auditor hanyalah mengumpulkan data. Apabila terjadi ketidaksesuaian, kita kembali lagi melihat ke catatan dokumennya. Karena itu, produsen haru mengakui (jujur) bahan yang digunakan dari awal hingga akhir,” tutupnya.
Ahmad Zuhdi