Pagi ini saya mendapat kiriman pesan via Whatsapp, sahabat saya mengirimkan pesan terusan yang berisi bahwa jika sampai dengan 17 Oktober 2024 masih ada produk dan café/resto yang belum memiliki sertifikat halal maka sangsinya harus di tutup.
Waratapilihan.com, Bogor– Lebih jauh lagi isi pesan terusan itu menyampaikan bahwa, akan lebih mengerikan kalau hal ini menjadi alat pemerasan oleh oknum yang ingin mengambil kesempatan.
Setelah menjawab pertanyaannya, saya terdiam sambil menggumam dalam hati, ini yang memang di khawatirkan dari sebuah kegiatan yang hanya focus pada angka capaian.
Islam itu agama kehidupan, bagi orang orang yang sudah menyatakan diri sebagai muslim. Mau tidak mau, suka tidak suka ya harus ikut pada aturan yang termaktub didalam kitab yang menjadi pedoman kita semua yaitu Alquran.
Mengkonsumsi makanan halal itu wajib bagi setiap muslim,kecuali dalam kondisi darurat, seperlunya. Ketersediaan produk halal menjadi keharusan bukan pilihan untuk setiap muslim
Bahan bahan yang diharamkan terbilang dalam Alquran.Artinya Allah menyediakan sesuatu yang halal di dunia ini jauh lebih banyak dari pada yang diharamkanNya. Namun kondisi yang disetir oleh prinsip kapitalislah yang menjadi pangkal utama dari keberadaan kondisi hari ini. Diperparah dengan pengembangan IPTEK terkait dengan pengembangan pangan ada di negara negara yang notabenenya negara yang minim muslim.Sementara konsumen terbesarnya adalah negara yang mayoritas muslim.
Berternak babi dibandingkan dengan hewan ruminansia lainnya sangatlah menjanjikan nilai ekonominya. Ditambah semua bagian dari babi tidak satupun yang tidak dapat dimanfaatkan.
Mengapa Bukan Sertifikat Haram?
Belasan tahun lalu pertanyaan ini juga kerap muncul, bahkan hingga saat ini pun masih muncul. Dengan alasan bahwa Allah mengharamkan terbilang dari jumlah yang tidak terbilang di alam. Jadi seharusnya yang lebih sedikitlah yang disertifikasi sebagai sertifikasi haram.
Masalahnya saat ini yang sedikit itu mencemari yang banyak dengan perkembangan ilmu dan teknologi di Industri pangan. Babi dan turunannya hadir dalam bentuk yang penggunaannya sekelumit,bukan lagi sekedar daging babi atau kulit babi yang dibuat kerupuk kulit. Rambut babi pun diperdagangkan dalam bentuk kuas. Baik kuas untuk digunakan di kegiatan pangan atau non pangan seperti kuas cat, atau kuas kosmetika.
Prof. KH Ibrahim Hosen, LML yang pernah menjadi ketua komisi fatwa MUI periode 1980-2000 menyampaikan, jika suatu produk yang telah bersentuhan dengan teknologi dan sudah tidak tampak lagi bentuk asli dari bahan tersebut, maka produk tersebut dapat dikategorikan sebagai produk yang syubhat (samar).
Karenanya dengan perkembangan IPTEK dan kebutuhan industry pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang menginginkan kepraktisan dalam penyiapan pangan, maka penggunaan bahan tambahan pangan atau produk-produk hasil IPTEK tidak dapat dihindari. Di area inilah sertifikasi halal dibutuhkan, bukan sertifikasi haram.
Karena kehadiran babi dan turunannya yang telah bertransformasi tidak dapat diidentifikasi tanpa proses pemeriksaan. Proses pemeriksaan inilah yang kemudian disebut audit halal.
Wajib sertifikasi halal atau jaminan produk halal?
Di era global saat ini,produk yang disajikan di hadapan kita bisa berasal dari berbagai negara. Saya sering menyebutnya “ the world on my plate”. Karena sampainya bahan-bahan yang kemudian diolah menjadi suatu produk local pun melalui rantai yang tidak pendek, yang disebut sebagai supply chain (rantai pasok) .
Aktifitas dan fasiltas di rantai pasok ini tentunya beragam. Isu halal belum terinternalisasi dalam aktifitas rantai pasok ini. Masalah kontaminasi silang masih menjadi isu yang “challenging”, terutama masih banyak bahan-bahan tambahan pangan (BTP) yang merupakan produk impor. Selain BTP, Indonesia juga masih banyak mengimpor daging yang berasal dari negara yang notabenenya Sertifikat halal menjadi suatu kemutlakan.
Sertifikasi halal adalah bagian dari kegiatan jaminan produk halal. Jadi jaminan produk halal seharusnya tidak hanya bertumpu pada proses sertifikasi. Pengawasan dan law enforcement juga merupakan bagian dari jaminan produk halal. Karenanya untuk negara yang mayoritas muslim dan ditambah lagi dengan konfigurasi pelaku usaha mikro kecil yang cukup besar (lebih dari 90 % pelaku usaha di Indonesia merupakan usaha mikro kecil) maka pemberlakuan jaminan produk halal semata bertumpu pada aktifitas sertifikasi menjadi kurang pas.
Indonesia yang telah mewajibkan sertifikasi halal sejak diberlakukan UU Jaminan Produk Halal dan perubahannya, menegaskan bahwa per 17 Oktober 2024 jika masih ada produk/gerai atau pun restoran yang belum memiliki sertifikat halal maka akan kena sangsi!
Pemerintah menetapkan skema sertifikasi halal dengan mekanisem regular dan self declare. Kedua skema menghasilkan output yang sama yaitu Sertifikat halal. Upaya ini belum juga mampu mendongkrak jumlah peserta yang ikut dalam program yang diberikan gratis oleh pemerintah, baik skema regular atau pun self declare . Tahun 2022 target BPJPH hanya tercapai kurang dari 10 persen dari target yang telah ditetapkan yaitu 10 Juta. Karenanya tahun ini target program sertifikasi dipatok 1 juta.
Yang perlu menjadi pertanyaan mengapa pelaku usaha mikro kecil tidak berminat ? Apakah kemudian penetapan pemberlakuan sangsi akan efektif dan sukses untuk mencapai target sertifikasi? Sukses tidak hanya sekedar angka capaian tentunya, tetapi proses sertifikasi halal yang benar menjamin kehalalan produk bagi konsumen muslim. Karena jika hanya sekedar sejumlah angka dan prosesnya tidak menjadi konsern, maka proteksi konsumen muslim jelas tergadaikan.
Pembenahan di Hulu
Pelaku usaha saat ini tampaknya sudah mulai menggeliat gelisah, bereaksi dengan ancaman sangsi per Oktober 2024. Stimulan yang baik sesungguhnya. Namun ini tidak bisa dijalankan dengan tanpa perencanaan yang baik.
Tidak tercapainya kuota yang diberikan tahun lalu, menggambarkan beberapa hal. Pertama sejalan dengan beberapa survei yang dilakukan, bahwa kepedulian halal belum menjadi suatu hal yang sudah terinternalisasi ditingkat konsumen muslim terutama generasi Milenial dan Zilenial. Kebutuhan halal hadir jika ada isu yang viral yang meragukan atau menemukan sesuatu yang haram.
Ditingkat pelaku usaha mikro kecil pun kesadaran ini belum sepenuhnya terinternalisasi. Mereka hanya berfikir pragmatis dengan membeli bahan yang tersedia dipasar dengan asumsi tidak ada masalah dengan isu halal. Karenanya, untuk kondisi ini sosialisasi halal awareness menjadi suatu yang krusial.
Perlu diapresiasi upaya pemerintah yang menegaskan sangsi jika pada Oktober 2024 pelaku usaha tidak memiliki sertifikat halal. Namun, sebaiknya sangsi itu dilakukan secara bertahap. Pembenahan hulu (seperti lalu lintas daging dan jeroan baik dari luar negeri ataupun antar pulau di Indonesia), keberadaan bahan dan BTP impor merupakan hal-hal krusial dari segi kehalalannya.
Pemerintah cq BPJPH harusnya membenahi dan memastikan bahwa hanya daging dari hewan halal beserta produk turunannya baik impor atau antar pulau memiliki dokumen pendukung yang valid dan mampu telusur(traceability). Bukan berarti daging haram tidak boleh masuk, boleh dengan persyaratan yang sangat ketat terkait jumlah dan peredarannya. Selain itu, masuknya BTP dan bahan lainnya yang merupakan produk impor juga perlu diperketat pengawasan dan law enforcementnya jika tidak memenuhi persyaratan halal.
Kedua kluster produk tersebut ada di hulu dari proses produk halal. Karena itu, jaminan kehalalannya menjadi cukup penting. Keberadaannya akan memberikan kepastian dan kemudahan bagi pelaku usaha mikro kecil yang akan melakukan proses sertfikasi halal. Baik jalur regular maupun self declare.
Menghadapi Oktober 2024, selain penahapan sangsi pada 2 kluster utama yang ada di hulu, sementara pelaku usaha mikro kecil cukup diberi peringatan keras, maka hal penting lainnya adalah sosialisasi ke pengawas di lapangan, masyarakat, dan pelaku usaha. Sosialisasi yang diberikan salah satunya bahwa tidak semua produk wajib sertifikasi sebagaimana termaktub pada Keputusan Mentri Agama (KMA) No.1360.
Dengan proses yang diusulkan ini semoga kewajban sertifikasi halal di Indonesia bisa memberikan added value bagi semua pemangku kepentingan di rantai pasok halal hingga konsumen, bukan sebaliknya beban yang menggelisahkan para pihak.
Mengkonsumsi produk halal merupakan kewajiban dan keharusan bagi konsumen muslim, bukan pilihan.
Elvina A.Rahayu, MP
Praktisi Halal @ Lima Pilar Halal
Anggota Pengurus @ICMI Bogor