Media telah terbukti sangat efisien untuk membentuk opini publik. Gara-gara propaganda dan rekayasa opini, gerakan sosial bisa diciptakan namun bisa pula dihancurkan. Perang bisa dibenarkan, kemarahan massal dapat dibentuk, apalagi didorong arus ideologi. Media telah menunjukkan fenomena nyata sebagai produsen realitas maupun realitas semu dalam jiwa secara kolektif.
Wartapilihan.com, Jakarta– Sayang, masyarakat sering tak menyadari apa yang sedang terjadi. Masyarakat kadang juga tak memahami apa yang sedang dibidik dengan gempuran berbagai muatan media. Masyarakat juga tak mampu mendeteksi berbagai strategi yang paling umum tentang media sebagai alat psikososial yang berseliweran di tengah-tengah kehidupan mereka.
Untunglah pakar linguistik dari MIT dan kritikus terkemuka abad ini, Noam Chomsky, telah menyusun daftar sepuluh strategi umum yang paling efektif untuk memaksakan agenda tersembunyi dalam rangka memanipulasi opini warga lewat media. Dengan gamblang Chomsky mensintesis dan mengekspos praktik manipulasi lewat media yang begitu canggih.
Jika ditilik lebih mendalam, semua strategi itu sama-sama efektif dan sama-sama efisien, meski dari sudut pandang tertentu terasa sangat merendahkan, sebab beberapa strategi itu mendorong pada kebodohan, mempromosikan rasa bersalah, mempromosikan gangguan, atau membangun masalah buatan, kemudian secara ajaib mereka memecahkan masalah buatan itu.
Strategi pertama disebut sebagai Strategi Gangguan. Strategi gangguan ini disebut Chomsky sebagai elemen utama dari kontrol sosial. Strategi ini sengaja dipakai untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu penting dan perubahan yang ditentukan oleh elit politik dan ekonomi. Caranya dengan membanjiri masyarakat dengan gangguan informasi yang tak signifikan. Strategi gangguan juga penting untuk mencegah minat publik untuk memahami berbagai bidang ilmu, terutama ekonomi, psikologi, neurobiologi dan cybernetics.
Dalam buku Silent Weapons for Quiet War disebutkan berbagai metode yang diterapkan: “Media: Keep the adult public attention diverted away from the real social issues, and captivated by matters of no real importance; Schools: Keep the young public ignorant of, real mathematics, real economics, real law, real history; Entertainment: Keep the public entertainment below a sixth-grade level; Work: Keep the public busy, busy, busy, with no time to think; back on the farm with the other animals.”
Buku Silent Weapons for Quiet War adalah sebuah manual rekayasa sosial Amerika Serikat, tertanggal Mei 1979 yang didedikasikan sebagai terbitan dalam rangka ulang tahun “Perang Dunia Ketiga” yang biasa disebut sebagai Quiet War. Buku ini ditemukan pada 7 July 1986 dan kemudian dibocorkan oleh bekas intel Angkatan Laut Amerika Serikat Milton William Cooper. Buku ini menjadi buku paling kontroversial setelah The Protocols of The Learned Elder of Zion.
Dari penjelasan Chomsky maupun uraian buku Silent Weapons if Quiet War, kita dapat menyaksikan bahwa apa yang berseliweran di media kita adalah banjir informasi yang sebenarnya tidak terlalu penting amat. Cobalah tengok media kita, baca berita-berita yang ditulis dan ditayangkan, lihatlah talkshow-talkshow di televisi kita. Benar mereka menyinggung berbagai masalah, tapi rata-rata hanya berputar-putar di permukaan, menonjolkan dampak, memunculkan pro kontra ecek-ecek, tapi tak menyentuh akar masalah yang sebenarnya.
Lihatlah apa yang dipelajari anak-anak kita di sekolah. Apakah mereka mendapat pengajaran yang baik tentang matematika, pengetahuan alam, sejarah, informatika dan bahasa. Bukankah masyarakat saja diributkan soal ganti buku tiap naik kelas, kualitas buku ajar yang buruk, materi pelajaran yang ajaib-ajaib? Belum lagi mahalnya buku dan hilangnya mata pelajaran penting, sementara mereka dicekoki PR dan tugas-tugas yang kadang tak jelas maksudnya.
Tengok pula dunia entertainment kita. Betapa banyak tayangan hiburan yang melecehkan akal sehat; talkshow-talkshow dagelan yang memamerkan kebodohan orang; komedi-komedi porno, slapstick, dan sarkastik; gambar-gambar seronok dan gosip-gosip murahan berlabel infotainment, informasi selebritis, dan investigasi selebritis muncul di mana-mana. Anehnya, tayangan-tayangan below a sixth-grade level itu disiarkan berjam-jam, dengan alasan rating dan share tinggi serta slot iklannya laku dijual.
Rutinitas pekerjaan kaum buruh, karyawan, dan kaum menengah perkotaan di Jakarta dan lima kota besar Indonesia menggambarkan betapa sibuknya mereka. Meski strategi gangguan mungkin belum sempat diterapkan untuk membuat super sibuk, mereka sudah dibuat repot dengan kemacetan, transportasi massal yang tak memadai, dan lingkungan kerja yang tak kondusif. Akibatnya mereka sudah tak ada waktu lagi untuk berpikir serius di luar pekerjaan, atau kembali mengurus lingkungan sekitar. Di waktu senggang mereka mencoba rehat dengan olah raga, rekreasi dan entertainment.
Strategi Kedua adalah Membuat Masalah, Kemudian Tawarkan Solusi. Metode ini juga disebut “masalah-reaksi-solusi.” Dengan metode ini “sebuah situasi” sengaja diciptakan untuk memancing publik, sehingga ketika pihak berkepentingan mengajukan sebuah solusi radikal, publik akan membenarkan solusi yang diberikan itu, meski menabrak berbagai aturan.
Di masa Orde Baru dulu, sebelum Operasi Petrus (Penembakan Misterius) dimulai, angka kejahatan tiba-tiba melonjak. Media memberitakan betapa kriminalitas jalanan kian brutal, dan polisi sebagai penegak hukum seolah tak mampu menanggulangi. Masyarakat pun ketakutan. Ketika militer atas perintah penguasa memberikan solusi dengan Operasi Petrus, masyarakat hanya diam –antara takut dan setuju— dan cenderung membenarkan operasi pembasmian preman itu. Padahal di tahun-tahun sebelumnya “gali” justru dibina aparat intelijen Opsus (Operasi Khusus) dan dimanfaatkan sebagai “tangan kotor pemerintah”.
Ketiga adalah Strategi Bertahap. Suatu kebijakan yang menyebabkan berbagai masalah, akan diterapkan bertahap, selama bertahun-tahun dan berturut-turut. Menurut Chomsky, strategi ini diterapkan ketika Amerika Serikat memberlakukan kebijakan sosial ekonomi baru neoliberalisme secara radikal selama 1980 dan 1990. Saat itu terjadi kebijakan minimal negara, privatisasi, kerawanan sosial, fleksibilitas, pengangguran besar-besaran, persoalan upah, dan tak ada jaminan upah layak. Jika kebijakan itu diterapkan secara sekaligus, maka akan terjadi begitu banyak perubahan yang bisa berujung revolusi.
Menunda pemberlakuan keputusan adalah strategi keempat. Cara lain agar publik mau menerima keputusan yang tidak populer adalah menonjolkan bahwa keputusan itu adalah “sesuatu yang menyakitkan namun perlu”, dan mencoba meyakinkan bahwa publik pasti akan menerima keputusan itu di masa depan. Masyarakat akan lebih mudah menerima sebuah pengorbanan di masa depan dari pada pembantaian segera. Sebab, keputusan itu tidak serta merta berdampak pada diri mereka.
Masyarakat, massa, publik, juga selalu cenderung memiliki harapan naif bahwa “segala sesuatu akan lebih baik besok”, dan bahwa pengorbanan yang diperlukan mungkin bisa dihindari pada saatnya nanti. Hal ini memberikan lebih banyak waktu bagi masyarakat untuk membiasakan diri dengan gagasan perubahan dan menerimanya dengan pasrah ketika saatnya tiba.
Di Indonesia, strategi penundaan keputusan sudah sering diterapkan. Misalnya dalam penetapan kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik, dan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak popular lainnya. Dalam kasus kenaikan BBM, reaksi keras umumnya hanya muncul pada saat kebijakan diumumkan. Ketika kebijakan itu benar-benar diterapkan, masyarakat hanya bisa pasrah, dan mencoba memaklumi karena kehidupan mereka harus tetap berlangsung.
Strategi Kelima adalah Tampil ke Tengah Publik Seperti Seorang Anak Kecil. Kita melihat, betapa sebagian besar iklan untuk masyarakat memakai pidato, argumen, sosok, dan khususnya intonasi, anak-anak yang tampak lemah. Dengan tayangan itu seolah-olah penonton adalah sekumpulan anak-anak kecil atau penyandang keterbelakangan mental. Menurut Chomsky, semakin keras upaya menipu penonton, maka ia akan semakin cenderung mengadopsi nada infantilizing (kekanak-kanakan).
Mengapa bisa begitu? Menurut Chomsky, “Jika seseorang menemui orang lain dengan gaya seolah-olah ia adalah anak berusia 12 tahun atau kurang, maka dengan probabilitas tertentu, orang yang ditemuinya akan cenderung bereaksi atau merespon tanpa rasa kritis, seperti seorang anak berusia 12 tahun atau lebih muda dari itu.” Coba rasakan, betapa mudah kita merasa iba pada pengemis anak-anak dari pada pengemis yang sudah berusia paruh baya, atau remaja.
Strategi selanjutnya adalah Lebih Menggunakan Sisi Emosional dari Sekadar Refleksi. Menurut Chomsky, memanfaatkan aspek emosional adalah teknik klasik untuk menyebabkan arus pendek pada analisis rasional, yang pada akhirnya menjalar ke arti penting individu. Penggunaan sisi emosional akan membuka pintu alam bawah sadar untuk sebuah implantasi atau okulasi ide, keinginan, ketakutan dan kecemasan, dorongan, atau mendorong perilaku.
Di panggung politik, metode seolah-olah menjadi korban agar meraih simpati publik yang emosional dan merasa kasihan telah berkali-kali diterapkan, dan berkali-kali pula masyarakat termakan strategi ini. Sepuluh tahun lalu, SBY dengan sukses meraih simpati masyarakat dengan tampil di media sebagai orang yang “dikuyo-kuyo” setelah memanfaatkan momentum tidak diajak rapat-rapat lagi oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, ditambah dianggap seperti anak kecil oleh Suami Presiden Taufiq Kiemas.
Apakah aspek emosional juga yang menyebabkan Presiden Joko Widodo meraup dukungan?
Strategi ketujuh adalah Menjauhkan Masyarakat dalam Ketidaktahuan dan Menjadi Biasa-biasa Saja. Caranya dengan membuat publik tak mampu memahami teknologi dan metode yang dipakai untuk mengontrol dan memperbudak mereka. Cara yang paling jitu adalah dengan memberlakukan kurikulum pendidikan yang “riuh” tapi tidak membuat peserta didik memahami ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai.
Dalam buku Silent Weapons for Quiet War dijelaskan bahwa: “The quality of education given to the lower social classes must be the poor and mediocre as possible so that the gap of ignorance it plans among the lower classes and upper classes is and remains impossible to attain for the lower classes…” “Kualitas pendidikan yang diberikan kepada kelas-kelas sosial yang lebih rendah sebisa mungkin harus berkualitas buruk dan biasa-biasa saja sehingga terjadi kesenjangan ketidaktahuan antara kelas bawah dan kelas atas, yang tidak akan mungkin dicapai kelas bawah.
Strategi Kedelapan adalah Mendorong Masyarakat untuk Puas Dengan Kondisi Yang Biasa-biasa Saja. Caranya dengan mempromosikan kepada masyarakat untuk mempercayai bahwa faktanya menjadi bodoh, vulgar dan tidak berpendidikan adalah sesuatu yang modis. Coba lihat talkshow-talkshow dagelan kita yang cenderung “masokhis”, karena menertawakan kebodohan diri sendiri. Tengok pula celoteh, meme, cuit, status di media-media sosial kita saat ini.
Strategi kesembilan adalah Memperkuat Perasaan Menyalahkan Diri Sendiri. Caranya, membiarkan masyarakat meratapi kemalangan yang menimpa pribadi mereka, akibat kekurangcerdasan mereka, terbatasnya kemampuan, atau sedikitnya usaha mereka. Jadi, dari pada memberontak melawan sistem ekonomi, ketidakmampuan diri sendiri dan rasa bersalahlah yang menciptakan depresi. Akibat munculnya perasaan menyalahkan diri sendiri maka aksi pun terhambat. Padahal tanpa aksi, revolusi tidak akan pernah terjadi.
Strategi kesepuluh adalah dengan Mengenal Individu Lebih Baik dari pada yang Mereka Ketahui Tentang Diri Mereka Sendiri. Selama 50 tahun terakhir, kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat telah menghasilkan kesenjangan antara pengetahuan umum dan pengetahuan yang dimiliki dan dioperasikan kelompok elit yang dominan. Berkat biologi, neurobiologi dan psikologi terapan, “sistem” telah menikmati pemahaman yang canggih dari manusia, baik secara fisik maupun psikologis. Sistem ini telah membuat para pakar mengenali orang biasa dengan lebih baik, bahkan lebih mengenali seseorang, dari pada orang itu sendiri terhadap dirinya. Metode inilah yang kini banyak diterapkan oleh tim kampanye politik, tim pemasaran, tim advertising untuk memikat masyarakat sebagai konsumen produk-produk mereka.
Berbagai rambu Noam Chomsky sudah sangat jelas. Dengan sedikit mendalaminya, kita bisa membaca beberapa gejala penerapan strategi itu di tengah masyarakat, dengan memanfaatkan media kita. Sekarang, tinggal mampukah kita mengantisipasi semua strategi manipulasi itu dengan nalar yang jernih, memilah dan memilih serta mengambil sikap secara arif.
Hanibal W Y Wijayanta
Wartawan Utama