WARTAPILIHAN.COM, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI, Muhammad Romo Syafi’i menuturkan, aparat penegak hukum di Indonesia seperti aparat yang mewakili kepentingan luar negeri untuk menciptkan islamophobia di masyarakat. Peristiwa Minahasa Merdeka menurutnya jelas kasus makar, namun sampai saat ini Kepolisian belum mengusut kasus tersebut.
“Minahasa merdeka ini kan sebenarnya makar toh, tapi dari awal kita sudah tahu polisi sudah lagi tidak profesional, tidak modern apalagi terpercaya,” kata Romo Syafi’i kepada wartawan sebelum mengikuti rapat paripurna (Rapur) ke-24 pada pembukaan masa persidangan V di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat pada Kamis (18/5).
Sikap aparat kepolisian yang diskriminatif ini Romo menilai, harus menjadi evaluasi Kepolisian agar masyarakat tidak kehilangan kepercayaan (trust) kepada aparat yang mengawal dan menegakkan hukum. Oleh karena itu, ia akan mengadakan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kapolri Selasa (23/5) mendatang.
“Di Jakarta ada orang angkat parang saja di bilang makar, di Kalimantan ngepung pesawat, Fahri Hamzah juga di gitu kan di Manado bukan makar, ust Khaththath mimpin demo, menuntut keadilan hukum untuk Ahok; makar, Minahasa ingin merdeka; bilangnya kita jaga kondusifitas,” ungkap politisi partai Gerindra ini dengan nada keheranan.
Selain itu, kriminalisasi yang menimpa Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habieb Rizieq Shihab, Romo mengingatkan, apa yang dilakukan kepolisian kepada Habib Rizieq adalah suatu yang mengada-ngada, keyakinan dan kepercayaan umat kepada ulama justru semakin kuat.
“Saya sangat kenal kepada Habib Rizieq, Habib Rizieq itu jangankan kepada orang lain, kepada jamaahnya saja dia tidak berani salaman, apalagi melakukan hal seperti itu, itu jauh dari seorang Habib, itu merupakan rekayasa dan desain -aparat- untuk menciptakan ketidakpercayaan umat kepada Habib Rizieq,” Romo menerangkan.
Menurutnya, target kriminalisasi tersebut supaya umat Islam tidak percaya kepada ulama dan memiliki distrust society. Pasalnya, seperti ceramah di Jawa Timur dan Pangkal Pinang, ulama harus memiliki izin dari aparat berwenang.
“Saya mengatakan upaya untuk memisahkan ulama dengan umat sia-sia selagi Al Quran tidak bisa dipisahkan dari umat Islam, dan ketika umat mengetahui siapa yang mendesain, itu adalah ketidakpercayaan besar umat terhadap siapa yang mendesain itu. Jadi, kalau yang mendesain adalah tingkat kepolisian maka percayalah tingkat kepercayaan umat terhadap kepolisian akan hilang,” tandasnya.
Romo meminta pihak Kepolisian menghentikan rekayasa-rekayasa untuk membuat umat tidak percaya kepada ulama. Kepercayaan umat kepada ulama karena keyakinan hatinya kepada Al Quran.
“Selama Al Quran dibaca dan diyakini, mereka -aparat penegak hukum- sedang melakukan tindakan blunder yang pasti merugikan mereka sendiri,” pungkasnya.
Reporter: Ahmad Zuhdi