Kitab-kitab itu semakin lapuk dimakan usia. Warisan sejarah bagai debu yang terlupakan masa. Bilakah kitab itu lestari di hati para insan muda?
Wartapilihan.com, Cirebon –Kitab-kitab itu ia simpan di dalam sebuah lemari. Ia gendong kitab itu, kami yang kala itu mengunjunginya boleh memegangnya tetapi mesti pelan-pelan saking rentannya terhadap pelapukan. Kitab itu, tak disimpan di suhu tertentu dan tempat tertentu, hanya bertumpuk di sebuah almari.
Merawat kitab bukanlah hal yang mudah. Perlu penjagaan ketat, pewarisan pada tangan terbaik, dan menggali peninggalan itu secara cermat. Namun hal itu tak begitu banyak terjadi pada kitab-kitab yang diampu oleh Bambang Irianto, seorang Budayawan Cirebon.
Siang itu, Warta Pilihan menemuinya, untuk sekedar bertanya dan belajar tentang kitab bermuatan sejarah itu. Tak disangka, dua bulan lalu ia baru saja mengisi pameran kitab di Universitas Indonesia. Ia rupanya sudah banyak mengisi seminar menjadi pembicara dari kampus ke kampus tentang kitab-kitab yang ia miliki yang merupakan warisan dari leluhurnya.
“Saya sudah isi seminar kemana-mana, bahkan saya didatangi doktor dan profesor. Mereka belajar dari saya,” kata Bambang, kepada Warta Pilihan, di Jalan Gerilyawan, Kesambi, Cirebon, Jawa Barat.
Salah satu kitab yang ia simpan adalah kitab tentang Patarekan Muhammadiyah, atau Tarekat Muhammadiyah yang penulis dan penyalinnya tidak diketahui.
Kitab setebal 54 halaman itu ia dapatkan dari leluhurnya dahulu. Berbahasakan Jawa dan berhuruf Arab Pegon, kitab ini berisikan tentang pengobatan dan kesehatan batin dengan teknik dzikri atau mengingat Allah.
“Teknik ini merupakan tingkat kedua setelah penguasaan teknik Lam Alif dan Penyuwun Sari atau Cirebon Meditation sebagai tingkat dasar,” tuturnya.
Namun, yang ia sayangkan betul, hingga sekarang belum ada pihak yang dapat memberi dukungan untuk keberlangsungan kitab-kitab itu, terutama pihak pemerintah Kota Cirebon.
“Pemerintah (kota) Cirebon tidak punya anggaran khusus untuk merawat kitab-kitab semacam ini,” ungkap Bambang prihatin.
Sebab tak ada dana untuk merawatnya, ia berupaya untuk merawat sendiri kitab-kitab itu. Tak jarang ia pribadi merogoh kocek yang besar untuk melakukan perawatan khusus agar tak segera lapuk.
“Satu laminating Jepang ini, per lembarnya seratus ribu, bayangkan saja berapa biaya yang harus dikeluarkan,” lanjut Bambang menunjuk salah satu kitab.
Berbeda dengan di Malaysia, kitab-kitab peninggalan leluhurnya, pula yang asli milik Indonesia akan dibeli oleh mereka dengan harga yang fantastis. “Malaysia sangat menghargai sejarahnya. Kitab seperti ini bisa dibeli 1,5 juta hingga belasan juta,” terang Bambang.
Ketika ditanyakan tentang bagaimana kelanjutan ‘nasib’ kitab-kitab ini, pemilik Rumah Budaya Pesambangan Jati ini menjelaskan, “Ya sudah, tidak usah diurus. Tidak usah diapa-apakan. Untuk apa?” Sindirnya.
Ia pernah mengatakan hal itu di dalam sebuah seminar juga. Kala itu, ada seorang mahasiswa yang marah-marah kepadanya karena jawaban tersebut. Sebetulnya, Bambang mengatakan itu supaya terpantik semangat para generasi muda untuk melestarikan kitab.
“Ada mahasiswa yang marah, lha, saya tanya, Anda bisa merawatnya? Ambillah ini, rawat kitab-kitab ini,” tukas dia. Namun sang mahasiswa tak berkutik, hanya diam saja.
Ia menghimbau pada generasi muda agar tergerak untuk melestarikan peninggalan leluhur. Pasalnya, banyak hal yang sebetulnya dapat dipelajari; kitab-kitab mengandung khazanah besar yang patut untuk digali.
Eveline Ramadhini