Refleksi Penghujung Ramadhan: “Vainglory” vs. “Humility”

by

Oleh: Taufik Hidayat (https://ngalirspace.wordpress.com/)

Seorang hadir dalam acara dimana ia bertindak selaku pembicara/pemateri. Dalam pikirannya terlintas, “presentasi ini pasti membuat mereka terpesona, banyak yang belum pernah mendengar wawasan ini.”. Baik saat coffee-break maupun sesi materi, ia begitu yakin dengan kecemerlangan dirinya, dan menilai hal yang ia wartakan sebagai hadiah besar bagi audiens. Sewaktu mencoba mengingat kembali acara itu, yang ia ingat hanyalah tentang orientasi perasaan dirinya sendiri.

Seorang yang memiliki kendaraan, perhiasan, aset, atau barang/komoditas lain, lalu dalam benaknya berkutat perkataan, “sekarang sudah punya ini, berikutnya bakal punya itu, dst.,” secara tak sadar perhatiannya bergeser ke seberapa ia bisa memperoleh perhatian atas kepemilikan benda daripada nilainya. Selain itu, yang menempel atas fisik diri pun tak luput dikoarkan, “saya punya wajah-tubuh-rambut yang menawan”, “jabatan dan gelar ku tak sembarang”, dan “lihatlah pakaian modis dan model rumah elite gue”.

Dengan kata lain, semua hal yang melekat/dimilikinya, manusia dapat bertindak-tanduk diatas bayangan tujuan untuk merekayasa citra di hadapan khalayak dan memperoleh tempat dalam perhatian mereka.

Ialah ‘vainglory’, semacam ilusi yang memberikan kesan kejayaan/kemapanan dengan membesar-besarkan diri, memperkuat identifikasi pribadi dengan hal-hal fana, dan mejauhkan kesadaran diri dari yang patut untuk selalu disadari.[1] Dalam upaya untuk mendapatkan rasa berharga itu (melalui pujian manusia salah satunya), manusia turut membatasi akses terhadap nilai tak terbatas dari bersandar pada Tuhan, dan pada akhirnya membuat jiwa menjadi hampa. Dalam diri ‘yang terpisah’ itu, selalu ada dorongan untuk menampilkan, bahwa “saya orang istimewa”, “saya orang penting”, “saya orang berada”.

Di platform-platform dunia maya misalnya, seorang bersolek dengan begitu menawannya, memperagakan apapun itu agar membuat orang lain terkesan, mendapat pujian, dan berbuah sanjungan diri. Saat respon tak sesuai keinginannya, ia membuat rekayasa alternatif agar kepentingan hasrat atau atensinya tetap terwujud. Ia seakan mirip dengan anekdot bebek dan angsa yang berjalan dengan kikuk-kikuk sambil menggericau. Pun seperti yang dikatakan St. Ambrosius tentang pertanyaan seorang ayah kepada anak wanitanya.[2] “Wahai anak ku, apakah yang membuat manusia patut berbangga? Apakah kerana ia terkenal? Pandai lagi berbakat? Atau sebab jadi orang berkeliling harta?”.

Betapa banyak cara agar terjerembab dalam pola vainglory ini. Sebut saja pelbagai kelakuan berikut. Seorang berusaha keras untuk terus menumpuk aset pribadinya hingga nampak mengungguli lingkungan sekitarnya. Seorang yang hanya mau berbelanja di toko-toko tertentu untuk mengenakan pakaian bermerek. Seorang pejabat pemerintahan atau perusahaan yang mengendarai kendaraan mewah untuk menjaga citra posisinya. Seorang yang mendesain sedemikian rupa tampilannya agar mendapatkan pengakuan di sosial media. Seorang yang lebih menyukai perkenalan ketika gelar dan penghargaannya disebut.[3] Sementara lingkungan sekitarnya diabaikan untuk terus berada dalam kubangan ketimpangan.

Vainglory, bagi Agustinus, sebagaimana dalam bukunya “The City of God”, didefinisikan selaku kepedulian yang berlebihan. Keserakahan misalnya, dipandang sebagai kepedulian atas kekayaan yang melebihi dari kepedulian atas kaum miskin. Sementara, Aquinas dalam “Summa Theologiae”-nya juga menilai, bahwa vainglory sebagai gangguan kepedulian.[4] Menurutnya, akan sangat sia-sia, jika seorang ingin orang lain mengagumi kemurahan hatinya, sementara ia tidak benar-benar murah hati. Menjadi tidak berguna, bila seorang yang memiliki barang/komoditas yang mahal lagi bermerek, lalu ingin orang lain mengaguminya lantaran kepemilikian atas benda-bendanya. Bahkan aneh, bila seorang baru merasa nyaman ketika ia lebih popular atau lebih tinggi status sosial-ekonominya dibanding masyarakat sekitarnya.

Vainglory selain dapat membentuk manusia menjauh dari hal-hal utama serta kehilangan kendali atas kebahagiaan hakiki, juga dapat mengarah pada ketidak-jujuran. Jika seorang hanya peduli pada reputasinya, maka yang terpenting bukanlah bersikap baik, melainkan dianggap baik. Oleh sebabnya, ia tergoda untuk mendorong orang lain mengganggap dirinya “lebih” dengan apapun caranya.[5] Seorang yang mengidap vainglory selalu dihadapkan pada godaan untuk membuat dirinya terlihat “lebih”, agar bertambah banyak hasratnya yang tersaluri. Serupa halnya bilamana kita justru senang ketika dianggap sebagai “atas”/“pemenang” oleh yang liyan.

Disambung bahan refleksi, marilah kita menafsir tentang apa itu humility, lewat cerita masyhur masyarakat ihwal lelakon tokohnya maupun renungan ringkas makna katanya.

Ialah kisah Kiai Subchi, seorang sepuh yang tinggal di Parakan, Temanggung. Dikenal dekat dengan rakyat kecil, lantaran kebiasan uniknya. Beliau mengizinkan tanahnya digarap orang yang tak punya lahan serta turut membagikan hasil panenya untuk rakyat marginal. Kisah lain ihwal kebaikan hati Kiai Subchi hingga disegani rakyat di sekitarnya kemudian ditulis dengan baik oleh Munawar Aziz dalam buku Pahlawan Santri, Tulang Punggung Pergerakan Nasional.

Adapula K.H. Sahal Mahfudh, sebagaimana ditulis oleh Ida Khoirunnisa’, dikenal dengan pelbagai usahanya dalam pemberdayaan masyarakat lewat peradaban fikih sosial. Dalam zakat misalnya, Kiai Sahal tidak hanya menganjurkan zakat sebagai tanggung jawab agama, tetapi ada semangat pemberdayaan untuk fakir miskin yang merasakan kesusahan hidup.[6] Dengan demikian, zakat dapat menjadi jembatan agar kaum miskin di pelosok desa dan tepi kota dapat bangkit dan bisa menjadi penopang utama perekonomian.

Tentu masih banyak peristiwa/cerita/kisah lain yang mungkin kita sendiri menjadi saksinya atas betapa humility seorang manusia.

Dalam Islam, humility mewujud dalam bingkai makna diantaranya melalui dua istilah, yakni “tada’a” (silakan baca QS. al-An’am: 42-43 dan QS. al-A’raf:55-56) dan “khasha’a” (silakan baca QS. al-Mu’minun: 1-2 dan QS. al-Hadid: 16). Kata ini setara dengan ketundukan kepada Allah, yang-mana hamba harus meninggalkan segala keegoisan dan kesombongan atas kekuatannya, tunduk sebagai hamba Allah di atas segalanya, serta bersikap rendah hati lagi lemah lembut terhadap sesamanya,[7] Dengan ini, humility tak sekadar kesalehan pribadi, melainkan lebih dari itu.

Dr. Yasir Qadhi pernah menyampaikan tentang buah dari kerendahan hati. Pertama, Allah SWT. sangat menyukai orang yang rendah hati dan sederhana, sehingga sifat tersebut menjadi penjaga di akhirat. Lalu, buah lain yang muncul dari seseorang yang rendah hati adalah rasa syukur. Terakhir, kerendahan hati akan berbuah izzah (martabat dan rasa hormat).[8] Sebagaimana sabda Nabi SAW., bahwa barangsiapa yang berendah hati, maka Allah akan angkat derajatnya dan berkati mereka dengan izzah. Hanya orang yang benar-benar rendah hatilah yang Allah SWT. ridhoi dengan rasa hormat dari masyarakatnya.

Sekian, sebagai penutup, ada satu pesan sufistik untuk kita semua:

“Humble yourself, you’ll grow greater than the world. Your Self will be revealed to you, without you.”, kata Rumi.

[1] Kutolowski, Mark. 2021. “The Spirit of Vainglory, or Unraveling the False Self”.

[2] Rozhneva, Olga. 2014. “Pride, Vanity, and Self-Esteem. From the Legacy of the Optina Elders”.

[3] Young, Rebecca K. D.. 2016. “Glorious Things of Me Are Spoken: The Vice of Vainglory”.

[4] Bierson, Marshall. 2021. “Vainglories Are Like Ogres: Defining Vainglory”.

[5] Bierson, Marshall. 2021. “Vainglories Are Like Ogres: Why is Vainglory Such a Big Deal?”.

[6] Izul Adib, dkk. 2018. “Bunga Rampai Biografi: Menelisik Kisah Ulama Nusantara”.

[7] Huda. 2019. “How Is Humility Important in Islam?”.

[8] Qadhi, Yasir. 2022. “Humility And The Muslim : Manners of The Believers”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *