Rachmat Budiman: Membaca dan Menulis Awal Kekuatan Bangsa

by
Rachmat Budiman saat sedang mengisi Renungan Budaya dalam acara bertajuk 'Mensyukuri Kemerdekaan Republik Indonesia' yang dipersembahkan Dangau Baraka, di Kelapa Indah, Jakarta Selatan (16/8/2017)

Most Littered Nation In the World 2016 mengatakan, minat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara. Sedangkan 1 dari 1000 orang membaca, tetapi tidak menulis. Mengapa?

Wartapilihan.com, Jakarta –Kegiatan membaca dan menulis sangat penting bagi kehidupan bangsa. Pasalnya, hal itu dapat jadi pondasi yang kokoh bagi kehidupan bernegara. Hal itu disampaikan Rachmat Budiman,  Duta Besar Republik Indonesia (Dubes RI) untuk Austria merangkap Slovenia.

“Sangat disayangkan masyarakat kita sangat minim di dalam membaca apalagi menulis. Padahal membaca dan menulis adalah awal kekuatan suatu masyarakat. Juga memperluas rasa tanggungjawab kita,” ungkap Rachmat pada Renungan Budaya bertajuk ‘Mensyukuri Kemerdekaan Indonesia’, Rabu malam, (16/8/2017), di Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Ia mengatakan, betapa pentingnya pendidikan membaca dan menulis. Bahkan, ia menekankan, jika perlu makanan dan pakaian dikurangi untuk membeli buku. “Selama toko buku ada, selama itu perpustakaan bisa dibangun kembali. Kalau perlu, pakaian dan makanan dikurangi. Betapa pentingnya suatu pendidikan membaca dan menulis,” lanjutnya.

Wakil tetap RI untuk Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) ini menyayangkan, betapa rendahnya minat baca di Indonesia yang konsisten dari tahun ke tahun. “Kita sangat sedih melihat fakta, itu literasi kita sangat rendah. Dari 61 negara yang disurvei, kita berada di tingkat ke 60. Hanya satu tingkat saja di atas Botswana. Kalau kita lihat sebelumnya, tahun 2012 kita masih ada pada posisi 60. Jadi kita justru konsisten dalam kelemahan itu,” ungkap dia.

“Ironisnya, tingkat membaca yang rendah itu tidak selaras dengan suatu fakta bahwa infrastruktur sudah memadai untuk memungkinkan orang membaca. Kita berada di atas Jerman, Portugal, Selandia baru, di atas Korea Selatan. Infrastruktur ada, kan aneh, tapi di di alam fakta, kemampuan daya baca kita sangat rendah. Kenapa?” Ia bertanya-tanya.

Ia menduga, rendahnya minat baca ialah karena budaya tutur yang langgeng di tengah masyarakat. Karena tidak ditulis, menurut Rachmat, maka tidak terbentuk rasa tanggungjawab terhadap suatu statement (pendapat).

“Karena biasanya kebudayaan di negara yang punya daya baca yang tinggi, maka tanggungjawab terhadap apa yang disampaikannya didasari dengan suatu fakta. Karena sebelum menulis kita akan melakukan riset. Sedangkan masyarakat yang di kelas bawah, yang muncul adalah budaya tutur. Sayangnya, daya ingat manusia terbatas. Sehingga apa yang disampaikan budaya tutur, bisa lain, karena daya tangkap orang lain-lain,” papar Rachmat.

“Budaya yang muncul (di Indonesia) adalah bercerita mendongeng, jarang sekali yang mendidik anak dengan mendongeng sambil menulis. Budaya tutur tidak salah, tapi harus kita ajarkan untuk menulis,”

Maka dari itu, Rachmat menekankan, tantangan tersebut harus dihadapi dengan cara keluar dari zona nyaman. “Kalau kita tidak menang, maka kita akan dihadapkan oleh suatu kemiskinan, ketimpangan sosial yang abadi. Dalam menghadapi tantangan tersebut, maka kita harus keluar dari zona nyaman kita,” tuturnya.

Lelaki kelahiran Tasikmalaya ini mengatakan, daya baca di Indonesia kurang karena (1) akses buku yang sulit di daerah, (2) taman baca yang kurang memadai, dan (3) anak muda yang gandrung terhadap gawai atau smartphone-nya.

“Masyarakat kita adalah korban dari yang mengandalkan budaya tutur. Sehingga generasi kita banyak sekali yang kurang dalam membaca dan menulis. Sarana dan prasarana yang ada sudah jauh lebih baik, jadi seharusnya hal ini bisa lebih ditingkatkan,” tandasnya.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *