JAKARTA – Direktur Kebijakan Publik Pusat Hak Asasi Manusia Muslim Indonesia (PUSHAMI), Jaka Setiawan, menanggapi pernyataan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM (OHCHR) yang mendesak investigasi atas dugaan pelanggaran dalam penanganan demonstrasi di Indonesia. Padahal, pemerintah Indonesia justru sudah menunjukkan langkah cepat dan konkret dalam menangani para korban, baik dari pihak massa maupun aparat keamanan.
“Pernyataan OHCHR harus dilihat secara seimbang. Faktanya, Presiden Prabowo Subianto telah hadir langsung menemui korban dari kedua belah pihak, baik aparat maupun masyarakat, untuk memastikan hak-hak mereka dipenuhi. Ini adalah bukti nyata bahwa negara tidak abai terhadap aspek kemanusiaan,” ujar Jaka dalam keterangan tertulis, Selasa (2/9/2025).
Ia menambahkan, opini tersebut tidak boleh mengaburkan fakta bahwa yang menjadi persoalan utama justru adalah peran provokator. Menurutnya, ada aktor-aktor yang memanfaatkan demonstrasi dengan cara mendorong kekerasan dan perusakan fasilitas umum di lapangan serta membangun framing negatif melalui jejaring media sosial.
“Pemerintah dan masyarakat internasional seharusnya juga menyoroti para provokator yang memainkan isu-isu negatif tentang Indonesia di panggung global. Ini bukan sekadar demonstrasi spontan, melainkan ada upaya sistematis untuk mendeligitimasi pemerintah secara inkonstitusional dengan menggunakan narasi HAM,” tegas Jaka.
Lebih lanjut, ia menilai Indonesia sudah memiliki mekanisme akuntabilitas internal yang jelas, seperti Komnas HAM, DPR, hingga lembaga peradilan.
“Kami menghargai perhatian komunitas internasional, namun Indonesia punya mekanisme hukum sendiri yang berjalan. Yang lebih penting sekarang adalah memastikan tidak ada pihak yang memprovokasi dan menunggangi isu HAM untuk kepentingan politik sesaat,” ungkapnya.
Jaka juga menekankan perlunya kewaspadaan terhadap komprador politik, yakni kelompok di dalam negeri yang menjadi perpanjangan tangan kepentingan asing dengan menyebarkan narasi negatif tentang Indonesia.
“Komprador inilah yang berbahaya, karena mereka menjual isu domestik ke panggung global demi kepentingan tertentu. Mereka menyatu dengan provokator, lalu mengemas isu HAM sebagai alat delegitimasi negara,” jelasnya.
Selain itu, Jaka menegaskan bahwa fenomena DFK (Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian) di ruang digital menjadi instrumen utama untuk memperkeruh suasana. “Disinformasi membuat publik bingung, fitnah membunuh rakyat, sementara kebencian memecah belah masyarakat. Semua ini dikendalikan oleh jejaring provokator dan komprador yang terhubung dengan kepentingan transnasional,” katanya.
PUSHAMI, lanjut Jaka, akan terus mengawal isu HAM di Indonesia secara objektif, sembari menegaskan bahwa hak masyarakat untuk menyampaikan aspirasi damai tetap dijamin. Namun ia menekankan, stabilitas dan kedaulatan Indonesia tidak boleh terganggu oleh framing asing, provokasi digital, komprador, maupun DFK.
“Aparat dan masa melanggar hukum sudah ditangani, korban juga mendapat perhatian. Sekarang fokusnya adalah membongkar siapa provokator, komprador, dan pelaku DFK yang menyebarkan isu negatif tentang Indonesia di media sosial maupun jaringan internasional,” tutup Jaka Setiawan.

