Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengatur Peraturan Kepala nomor 24 tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Cuti PNS. Kini, cuti untuk istri melahirkan diatur paling lama satu bulan dalam rangka mendampingi istri. Cuti tersebut dapat dilakukan maksimal satu bulan, sesuai lamanya istri dirawat di rumah sakit, baik melahirkan normal maupun operasi sesar.
Wartapilihan.com, Jakarta– Seto Mulyadi selaku ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) menyambut baik soal kebijakan ini. Ia mengatakan, regulasi ini membuka gerbang ideal bagi kesetaraan gender.
“Regulasi ini membuka gerbang ideal bagi kesetaraan gender. Kalau selama ini kita kerap bicara tentang kesetaraan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja di kantor, maka sekarang tiba masanya diberlakukan kesetaraan kesempatan bagi lelaki untuk juga piawai mengasuh di rumah,” tutur lelaki yang akrab disapa Kak Seto, Rabu, (14/3/2018), di Jakarta.
Ia melanjutkan, lelaki sebetulnya memiliki kebanggaan tersendiri ketika diidentifikasi sebagai lelaki yang menjadi idola bagi anak-anaknya. “Nyata bahwa banyak lelaki (suami) zaman now yang tidak lagi mau disebut semata-mata sebagai orang yang sukses membangun karir profesional. Mereka juga bahkan lebih bangga diidentifikasi sebagai lelaki yang menjadi idola bagi anak-anak mereka,” tukas Seto.
Seto menekankan, tantangan bagi PNS masa kini ialah bagaimana agar termasuk sebagai kelompok yang punya produktivitas meninggi seiring keluarnya Peraturan BKN di atas. Hasil studi menunjukkan, fasilitas cuti bagi para suami untuk mendampingi persalinan isteri justru meningkatkan produktivitas mereka.
“Bahagia di rumah, merasa keren berstatus ayah ternyata menciptakan suasana batin yang baik selama di tempat kerja. Suasana itu yang membuat pekerja pria lebih ulet dan alot bekerja. Kelahiran anak juga membuat para karyawan lelaki menjadi lebih mantap dengan arah hidup mereka. Tapi kebanyakan studi tentang itu dilakukan di kalangan karyawan swasta, lho,” Seto menegaskan.
Penelitian di Swedia juga menyimpulkan bahwa seiring keluarnya regulasi tentang parental leave, angka dapat perceraian menurun tajam.
Lebih lanjut, Seto berharap, Peraturan BKN ini dapat memantik keinsafan masyarakat untuk kemudian mengecek ulang relevansi serbaneka ketentuan lainnya terkait pengasuhan anak. Misalnya, masih tepat atau tidak jika kuasa/hak asuh anak pascaperceraian harus serta-merta diberikan ke ibu.
“Juga boleh jadi tidak sedikit lirik lagu anak-anak yang menonjolkan penghargaan bagi ibu perlu ditulis ulang. Pun, penting dipertimbangkan untuk mengubah nama satuan-satuan kerja yang beraroma ‘diskriminatif’ di kepolisian semacam Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) dan Kekerasan Anak dan Wanita (Renakta).
Eveline Ramadhini