Pilgub DKI dan Masyarakat Prismatik

by
Agus, Anies, dan Ahok. Foto: istimewa

Wartapilihan.com – Sebagai ibu kota negara, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dihuni oleh beragam etnis dari berbagai daerah. Mereka datang ke Jakarta juga dengan beragam alasan. Ada yang karena melanjutkan studinya, ada yang karena pekerjaannya, ada pula yang mengadu untung. Mereka yang mengadu untung itu, tentu saja, hendaknya membekali diri dengan ilmu dan ketrampilan yang memadai. Tanpa ilmu dan ketrampilan, akan sulit untuk bisa “menaklukkan” Jakarta.

Adapun yang datang dari daerah, tentu saja, berlatar belakang agraris. Di Jakarta, mereka mesti menyesuaikan dengan pola kerja industri dan perdagangan. Masyarakat agraris yang tradisional menuju masyarakat industri ini dikenal dengan nama masyarakat prismatik(Prismatic Society), yang diperkenalkan oleh pakar administrasi negara, Fred D. Riggs.

Dalam masyarakat transisi itu, nilai-nilai lama mulai ditinggalkan, sedangkan nilai-nilai baru yang hendak diwujudkan sedang dalam proses. Dalam masyarakat transisi itu, pendulum bisa bergeser ke kanan atau ke kiri, seiring dengan kondisi yang menuntutnya untuk bergeser.

Pada Pilgub DKI Jakarta 2017, dalam putaran pertama(15/2), pendulum itu begitu cepat bergeser. Ada tiga pasangan yang masing-masing punya konsep dalam membangun Jakarta ke depan. Agus-Silvy, mewakili masyarakat tradisional dengan mengusung konsep satu RW Rp 1 milyar; Ahok-Djarot mewakili masyarakat industri dengan membangun infrastruktur; sedangkan Anies-Sandi menawarkan peradaban(pos-industrialisasi) dengan konsep “membangun tanpa menggusur.” Masyarakat tradisional, masyarakat industri dan pos-industri, tersebar di tiga pasangan calon.

Di Jakarta, semua konsep itu laku dijual. Berbagai hasil survei yang pernah dilakukan, urutan teratas saling mengejar antara Agus-Silvy dengan Ahok-Jarot, disusul oleh Anies-Sandi. Setelah Ahok menjadi terdakwa sebagai penista agama dan ulama, urutan teratas ditempati oleh Agus-Silvy, disusul Anies-Sandi di urutan kedua, dan Ahok-Jarot di nomor buncit.

Bahkan, sebuah survey yang dilakukan Grup Riset Potensial(GRP) yang dipimpin oleh Prof. Satrio Wiseno, pada 2-7 Januari lalu, misalnya, menorehkan pasangan Agus-Silvy elektabilitasnya mencapai 45%, disusul Anies-Sandi dengan 23,5%, dan Ahok-Jarot dengan 23,3%.

Dalam kenyataannya, ketika Pilgub dilaksanakan pada 15 Februari, dengan mengacu kepada hitungan cepat, ternyata pasangan Ahok-Jarot meraih 43%, Anies-Sandi 39%, dan Agus-Silvy 17%.

Mengapa Agus-Silvy suaranya terjun bebas? Sedikitnya ada tiga faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama, dalam tiga kali debat yang diselenggarakan oleh KPUD DKI, jualan Agus-Silvy kalah menarik dibandingkan dengan jualan Ahok-Jarot dan Anies-Sandi. Performa ketika berdebat dan menjawab pertanyaan lawan, mendapat penilaian tersendiri bagi pemilih di kalangan intelek; Kedua, Agus-Silvy boleh dibilang terlambat melakukan sowan ke kalangan ulama dan habaib. Anies-Sandi lebih dahulu menjalin komunikasi dengan kalangan ulama dan habaib yang punya pengikut dan cukup signifikan itu; dan Ketiga, adanya Antasari Azhar efek. Sehari sebelum hari H, Antasari Azhar melaporkan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono(ayahanda Agus Harimurti Yudhoyono) ke Bareskrim Polri. Menurut Antasari, Susilo Bambang Yudhoyono adalah aktor dibalik pemenjaraan dirinya atas terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen.

Lalu, kemana suara Agus-Silvy mengalir? Bagi kalangan menengah-bawah, suara Agus-Silvy mengalir ke Ahok-Jarot, dari tradisional ke industri. Sementara, di kalangan menengah-atas, suara mengalir ke Anies-Sandi, dari industri ke pos-industri alias peradaban.

Rupanya, dalam Pilgub DKI, wajah rupawan Agus yang memilih pasangannya dengan seorang birokrat perempuan, Mpok Silvy, tidak bisa serta-merta meraup suara yang signifikan. Berbagai faktor penyebab membuatnya terjerambab. Penista agama dan ulama malah mendapat suara tertinggi. Ini belum termasuk faktor-faktor teknis yang terjadi di lapangan.

Apa yang terjadi di DKI bisa dijadikan pelajaran untuk daerah lain. Kepopuleran, ketampanan, dan logistik yang memadai saja tidaklah cukup. Ada faktor kedekatan, jaringan, program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, juga masa lalu yang tak ternoda. Semoga kita semua bisa mengambil hikmahnya. Wallahu A’lam.

Penulis: Herry M. Joesoef

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *