Viral beberapa hari lalu terkait kemunculan kilauan cahaya berwarna hijau di langit utara Kota Mataram NTB (Nusa Tenggara Barat) saat terjadi gempa bumi berkekuatan 7 Skala Richter pukul 19.46 WITA. Gempa bumi besar itu telah memicu kerusakan yang cukup parah, bahkan hingga menimbulkan korban jiwa.
Wartapilihan.com, Jakarta — Beberapa menyebut kilauan cahaya hijau itu sebagai petir yang menyambar sementara ada juga yang berpendapat bahwa kilauan cahaya tersebut merupakan aurora yang sering terjadi di kutub, benarkah demikian?
Menurut Dr. Deni Septiadi, peneliti Petir Atmosfera, fenomena tersebut bukan aurora karena fenomena tersebut hanya terjadi di daerah kutub utara maupun selatan karena densitas udara yang rapat. Sementara, di Indonesia yang notabene renggang secara fisis, maka tidak memungkinkan terjadinya benturan medan magnetik sehingga menghasilkan aurora.
“Jika memang petir, maka sepertinya ada prospek positif dalam prediksi gempa bumi yang dikenal sebagai “Prekursor Gempa Bumi”,” tutur Deni, Senin, (20/8/2018).
Ia melanjutkan, kejadian gempa bumi besar di Kobe pada 17 Januari 1995 ialah akibat patahan Nojima. Setelah kejadian gempa bumi tersebut, Wadatsumi (1995) mengumpulkan berbagai macam kejadian yang menyertai gempa tersebut.
Data dan fakta serta berbagai dokumen foto berbagai kejadian disusun ke dalam buku : “1519 Statements: Precursors of the Kobe Earthquake”, hasilnya didapat 872 kejadian (51%) kelakuan tidak biasa oleh binatang (unusual animal behavior), 490 kejadian (29%) tanda-tanda di langit dan atmosfer (unusual sky and atmosphere), 189 kejadian (11%) fenomena daratan dan lautan (unusual sea and land phenomena), serta keanehan aktivitas peralatan listrik (unusual electric appliances).
“Temuan tersebut menjadi kajian penting untuk prediksi gempa bumi atau yang dikenal sebagai prekursor gempa bumi (earthquake precursors),” terang Dosen Meteorologi STMKG ini.
Pria yang bekerja di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) ini mengatakan, petir dapat menjadi penanda bagi gempa bumi yang akan terjadi. Secara definisi, petir merupakan lepasnya muatan listrik (discharge) tinggi dalam waktu singkat yang dapat terjadi di dalam satu awan (Intra Cloud, IC), antara awan dengan awan (Cloud to Cloud, CC) ataupun dari awan ke permukaan tanah (Cloud to Ground, CG) yang diikuti oleh proses pemanasan dan pemuaian udara sepanjang luah listrik sehingga terdengar gelombang suara sebagai guruh (thunder).
“Peningkatan aktivitas petir ini seakan menjadi tak biasa (unusual) karena diinduksi secara mendadak dari gelombang elektromagnetik yang dilepaskan oleh energi gempa bumi. Aktivitas peningkatan petir dapat diukur menggunakan instrumen ground based berbasis Low Frekuensi (LF) baik menggunakan metode Magnetic Direction Finding (MDF) maupun Time of Arrival (ToA) atau kombinasi keduanya (blended), mengingat jenis petir yang ditangkap adalah jenis petir CG,” tegas dia.
Beberapa peneliti dunia seperti di Taiwan (1993-2004) telah melihat hubungan antara kejadian gempa bumi dengan magnitude di atas 5 mengalami aktivitas petir dan melihat anomali aktivitas petir 18 hari sebelum terjadinya gempa bumi besar.
“Di samping itu, penelitian tentang aktivitas petir sebagai parameter prekursor juga sudah dilakukan secara intens oleh negara-negara seperti Amerika, Tiongkok dan Italia sebelum terjadinya gempa bumi besar,”
Maka dari itu, ia menegaskan, dengan segala tantangannya, pengembangan penelitian prekursor gempa bumi di Indonesia dengan parameter aktivitas petir selayaknya menjadi pertimbangan penting untuk mengurangi dampak bencana yang ditimbulkan.
Eveline Ramadhini