Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana menghidupkan kembali mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Mata pelajaran yang ada di masa Orde Baru ini hendak diadakan kembali mengingat pentingnya penguatan Pancasila melalui dunia pendidikan.
Wartapilihan.com, Jakarta – Seperti diketahui, Kemendikbud sebelumnya berencana kembali memasukan mata pelajaran PMP untuk menguatkan nilai-nilai Pancasila sejak dini di lingkungan sekolah. PMP merupakan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah sejak 1975 menggantikan mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang telah masuk dalam kurikulum sekolah di Indonesia sejak tahun 1968.
Namun, mata pelajaran PMP diubah lagi pada tahun 1994 menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dan pada masa Reformasi PPKn diubah menjadi PKn dengan menghilangkan kata Pancasila yang dianggap sebagai produk Orde Baru.
Atas dibutuhkannya PMP Bervisi Moralitas Publik dan Penguatan Demokratisasi ini, Syaiful Arif, Direktur Eksekutif Institut Demokrasi Republikan menyampaikan setuju, namun dengan beberapa catatan.
Pertama, penghidupan kembali PMP harus melalui revisi konten, baik konten kepancasilaan maupun konsep moralitas Pancasila. Pasalnya, di masa Orde Baru, moralitas Pancasila diartikan sebagai kebaikan perilaku warga negara yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
“Kebaikan perilaku yang dimaksud ialah kemauan warga negara untuk patuh kepada negara dan mengintegrasikan diri ke dalam kebijakan serta desain pembangunan,” kata Syaiful, Rabu, (28/11/2018), di Jakarta.
Kedua, jika ingin menghidupkan PMP, ia menekankan, maka definisi moralitas Pancasila harus dirumuskan ulang, tidak dalam rangka “integrasi warga negara ke dalam kepentingan negara”, melainkan penumbuhan kesadaran tentang etika publik.
“Di dalam PMP, moralitas dibatasi pada moralitas individual di mana negara mengatur pola perilaku individu. Di dalam PMP yang baru, moralitas harus bersifat publik, di mana pelajar dididik untuk menjadi pribadi yang memahami kebajikan publik (public virtue) dan memiliki kesadaran untuk mengamalkannya dalam kehidupan sosialnya,” terang dia.
Ketiga, ia mempertanyakan, darimana sumber dari etika publik itu? Ukuran prinsipilnya menurut dia tersemat di dalam sila-sila di dalam Pancasila. Maka moralitas publik Pancasila ialah moralitas berbasis etos keagamaan yang toleran dan berorientasi pada kesalehan sosial (sila 1), penghormatan dan perlindungan atas HAM (sila 2), kesadaran merawat persatuan dalam kemajemukan (sila 3), kecintaan terhadap nilai-nilai demokrasi dan keterlibatan secara partisipatoris (sila 4), serta kepedulian sosial dalam berbagi kesejahteraan bersama (sila 5).
“Tanpa landasan perspektif Pancasila yang progresif itu, PMP baru akan mengulangi kelemahan PMP lama dan P-4 yang normatif,” tukasnya.
Keempat, PMP sebagai mata pelajaran moralitas Pancasila harus diturunkan dari rumusan wawasan Pancasila yang menjadi pedoman bersama seluruh bangsa. Di masa Orde Baru, PMP diturunkan dari konsep Pancasila ala P-4. Di masa Orde Lama, pendidikan Pancasila juga diturunkan dari korpus Manipol-USDEK.
“Sejak paska-Reformasi, pedoman Pancasila seperti itu belum dirumuskan kembali oleh pemerintah. Maka jika ingin menghidupkan PMP, pedoman wawasan Pancasila tersebut harus dibuat terlebih dahulu,” sarannya.
Kelima, pedoman Pancasila era Reformasi tidak bisa berkaca pada P-4 dan Manipol-USDEK sebab semangat zamannya telah berubah. Era Reformasi ditandai oleh komitmen bangsa terhadap nilai-nilai demokratik serta pengembangan kewargaan progresif.
“Jika wawasan Pancasila dan PMP tidak diletakkan pada semangat demokratisasi ini, maka Pancasila dan pendidikan tentangnya akan tetap menjadi diskursus retorik yang tidak berkontribusi pada upaya pencerdasan bangsa,” pungkas Syaiful.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memasukkan kembali mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) perlu dikaji ulang. Pasalnya, dia menilai, pendidikan tentang pancasila selama ini telah diajarkan di sekolah melalui pelajaran kewarganegaraan.
“Ya kan kita sudah melakukan itu. Tapi tetap saja kan, makanya muncul tentang revolusi mental atau pancasila. Kalau terlalu banyak, masyarakat malah bingung nanti,” ujar JK di kantor wakil presiden Jakarta, Selasa (27/11/2018), dilansir dari CNN Indonesia.
Alih-alih memasukkan dalam materi pelajaran, kata JK, pancasila mestinya dapat diterapkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Sebab tak semua permasalahan moral dapat diselesaikan melalui pelajaran di sekolah.
“Justru kita harus berikan contoh pelaksanaan pancasila itu begini, keadilan itu begini, ke-Tuhanan yang maha esa itu begini, tidak hanya dengan memasukkan ke kurikulum lalu seakan semua beres,” pungkas JK.
Eveline Ramadhini