Wartapilihan.com, Gaza – Setiap tanggal 8 Maret, warga dunia merayakan Hari Wanita Internasional. Kata “merayakan” bukan bermaksud untuk hura-hura, melainkan untuk mengingat dan mengontemplasikan “wanita”, baik peranannya, statusnya, maupun fungsinya di masyarakat. Bahkan, di beberapa tempat, Hari Perempuan Internasional dirayakan dengan aksi unjuk rasa.
Al Jazeera menampilkan tiga wanita Gaza yang bekerja tidak seperti wanita pada umumnya. Angka pengangguran yang tinggi, sekitar 42 persen, dan kebutuhan hidup yang terus mendesak membuat wanita Gaza “terpaksa” bekerja dan mematahkan tradisi yang ada.
Sopir Bus Wanita Gaza
Anak pertama memanggilnya “Paman Salwa”.
“Anak-anak hanya tahu pria yang mengendarai mobil,” kata Salwa Srour kepada Al Jazeera. “Saya mematahkan tradisi. Saya wanita pertama di Jalur Gaza yang menjadi sopir bus.”
Srour berangkat pukul 6.30 pagi dengan minibus Volkswagen tahun 1989. Ia berputar-putar di sekitar Kota Gaza untuk menjemput setiap anak dan mengantar mereka untuk kelas TK yang ia buka pada tahun 2005 dengan adiknya, Sajdah.
Awalnya, mereka menyewa sopir bus laki-laki, tetapi Srour memutuskan untuk mengambil alih pekerjaan setelah mendengar keluhan orang tua tentang driver tidak sabar dengan anak-anak atau tiba dengan terlambat.
“Kami pernah memanggilnya (sang sopir), tetapi akan selalu ada alasan. Dia selalu berkata, ‘Aku sedang dalam perjalanan,’ tetapi anak-anak akan menunggu dan masih akan ada bus,” jelas Srour.
Ketika orang tua mulai memanggil Srour untuk bertanya mengapa anak-anak mereka belum pulang, Srour memutuskan untuk mengambil masalah ke tangannya sendiri dan mengantar-jemput anak-anak TK tersebut.
Srour telah mengantar-jemput anak-anak ke sekolah selama lima tahun terakhir. Kelas dimulai dari saat mereka memasuki bus sekolah dan mulai belajar kata-kata baru dalam bahasa Inggris. Menginjak kaki di bus, anak-anak menyambut Srour dengan “Good morning” sambil mereka mengeluarkan uang dari saku mereka.
“Zain, go back,” Srour berkata kepada anak berusia empat tahun dalam bahasa Inggris sambil yang menunjukkan bagian belakang bus.
“Go back! Go back!” anak-anak mengulangi serempak kepada Zain sambil membuat jalan menuju kursi belakang.
Srour begitu tertarik untuk mengemudi sejak masa SMA-nya. Ia mengingat sambil tertawa bagaimana ia menyelinap keluar dan mengendarai mobil neneknya di sekitar Gaza pada usia 16.
Setelah lulus dari SMA, ia langsung bersikeras mendapatkan SIM-nya.
“Ini benar-benar aneh bagi orang-orang untuk melihat sopir wanita, tetapi setelah mendengar cerita saya, mereka mulai mendorong saya,” kata Srour.
Nelayan Wanita Gaza
“Setiap hari Anda pergi keluar, Anda tidak yakin jika Anda akan kembali,” kata madleen Kullab sambil memandang ke laut dari Pelabuhan Gaza. “Ini situasi yang sulit. Ketika kami mendekati mil kelima, kami mulai ditembaki. Ada banyak risiko, tetapi saya melakukannya karena saya harus.”
Sudah hampir satu dekade Kullab, berusia 22 tahun, mengambil alih peran ayahnya sebagai nelayan dan pencari nafkah keluarga, setelah ayahnya didiagnosa myeletis, radang sumsum tulang belakang.
Kullab dan dua saudara laiki-lakinya yang masih muda berangkat pagi, 03:00-05:00, atau saat matahari terbenam untuk melemparkan jala mereka. Dia biasanya menangkap ikan sarden.
“Anda akan menangkap apa pun yang bisa ditangkap,” kata Kullab.
Pekerjaan ini begantung pada keberuntungan karena Israel telah membatasi nelayan Gaza pada batas enam mil laut—kurang dari sepertiga dari daerah penangkapan yang dialokasikan berdasarkan perjanjian Oslo.
Tidak cukup ikan di area yang terbatas itu; tangkapan sering sedikit dan Kullab kadang-kadang tidak mendapatkan ikan sama sekali. Untuk kualitas dan kuantitas yang lebih baik, mereka perlu berlayar setidaknya sejauh 10 mil.
Saat ia berjalan di sepanjang dermaga, nelayan sedang menyortir ikan sarden kecil yang dipenuhi sampah. Pelabuhan ini penuh dengan perahu yang beristirahat di bawah langit mendung.
Situasi ekonomi yang memburuk di Gaza telah memukul industri perikanan dengan keras. Jumlah nelayan menurun dari 10.000 di tahun 2000 menjadi 4.000 pada tahun lalu. Nelayan biasanya hidup dari pinjaman untuk kebutuhan sepanjang tahun, termasuk Kullab yang tidak mencari ikan selama musim dingin.
Laut menjadi lebih buruk di musim dingin dan gelombang terlalu tinggi untuk kapal kayu sederhana milik Kullab. Pendapatan hariannya saja dari menangkap ikan adalah 10 shekel. Di musim dingin, ia tidak bisa menangkap ikan.
Pekerjaan ini terlalu berisiko, katanya, dan ia mencari jalan keluar, yaitu menghadiri kuliah dengan harapan menjadi seorang sekretaris.
“Saya ditembak setiap kali saya pergi keluar (ke laut) … Apa pun lebih baik daripada menangkap ikan, bahkan jika itu hanya untuk 10 syikal,” kata Kullab sambil mengingat saat ia menyaksikan Mohammad Mansour Baker, berusia 17 tahun, tewas saat ia sedang menangkap ikan dengan saudara-saudaranya.
“Ada lebih dari 10 kapal. Kami hanya sejauh tiga mil ketika kapal-kapal Israel mulai menembak tanpa alasan apa pun dan menargetkan kita,” katanya. “Mohammad ditembak di sisi perutnya, peluru itu keluar dari punggungnya dan ia meninggal di tempat.”
Pandai Besi Wanita Gaza
Di bawah tenda darurat di jalan berpasir sekitar tiga kilometer dari pelabuhan Gaza, Ayesha Ibrahim, (37) dan putrinya (15) bergiliran memukul besi panas dengan palu berat. Putrinya yang lain memompa yang mengembuskan angin ke dalam api kecil, tempat mereka memanaskan batang besi.
Ini adalah cara Ibrahim, hanya pandai besi wanita Gaza, untuk membesarkan tujuh anak-anaknya. Selama 20 tahun terakhir, ia dan suaminya telah mengumpulkan potongan-potongan logam dari jalan-jalan dan dari rumah-rumah yang hancur untuk membentuk logam dan besi menjadi sumbu, pisau, tungku terbuka memasak, jangkar logam, dan barang-barang lainnya yang mereka jual di pasar.
Dibutuhkan sekitar tiga hari untuk membuat satu barang jadi; membentuk besi dengan palu berat membutuhkan waktu dan kesabaran. Satu barang jadi biasanya dijual seharga sekitar enam shekel di pasar dan mereka mendapatkan 10 sampai 20 shekel per hari.
Percikan api beterbangan ketika Ibrahim memukul besi yang terbakar. Tangannya bengkak dan punggungnya kesakitan; itu adalah pekerjaan yang sulit, terutama karena ia hamil delapan bulan.
“Bagian yang paling sulit adalah bahwa kami tidak memiliki tempat sendiri untuk bekerja. Semua orang yang lewat dapat melihat,” kata Ibrahim.
Suaminya mengambil obat saraf karena mengalami cedera. Pada satu malam, sepotong besi seberat 150 kg jatuh menimpa tangannya.
“Itu adalah malam yang mengerikan. Kami tidak mampu memanggil ambulans; Untungnya, seorang pria dari jalan menawarkan bantuan dan membawanya ke dalam mobilnya,” kata Ibrahim, “Di rumah sakit, mereka (dokter) menyuruhnya untuk dirawat inap, mereka takut cedera mengakibatkan infeksi, tetapi kami tidak punya uang untuk membayar biaya rawat inap, jadi ia pulang ke rumah.”
Ini adalah perjuangan setiap hari untuk menaruh makanan di atas meja. Meskipun lebih dari separuh penduduk Gaza bergantung pada bantuan pangan PBB, keluarga Ibrahim tidak memenuhi syarat karena mereka tidak dapat membuktikan bahwa mereka adalah pengungsi.
Ibrahim, ayahnya juga seorang pandai besi, menghabiskan masa kecilnya menjual barang-barangnya di pasar. Ia menikah ketika berumur 15 tahun. Saat ini, keluarganya hidup dari pinjaman dan pemilik apartemen membebaskan uang sewa. Memiliki rumah sendiri tetap menjadi mimpi yang hampir mustahil.
“Kondisi kami sangat keras, sangat sulit. Namun, saya tidak punya pilihan kecuali terus bekerja untuk anak-anak saya,” kata Ibrahim, “Saya tidak ingin anak-anak saya menjadi seperti saya dan bekerja seperti yang saya lakukan ketika saya masih muda. Saya ingin masa depan yang lebih baik bagi mereka.”
Reporter: Moedja Azim