Perjalanan Menuju Asmat

by
foto:istimewa

Jarak dari Bandar Udara Mozes Kilangin Timika menuju Agats adalah 1.100 mil dengan ketinggian 7.500 kaki dan kecepatan 105 knot.

Wartapilihan.com, Agats –Lembaga Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) bersama awak media bertolak dari Bandar Udara pada Selasa (6/2) pukul 12.15 WIT (Waktu Indonesia Timur). Tujuan kami yaitu menuju Kabupaten Asmat yang terletak di Kota Agats, Papua untuk melihat langsung kondisi masyarakat Asmat.

Rencananya, untuk menuju Agats kami akan menggunakan kapal laut. Namun, beberapa hari lalu cuaca tidak bersahabat. Ketinggian ombak mencapai 8 meter. Kami menggunakan pesawat jenis Twin Auther Airfast dari Bandar Udara Mozes Kilangin Timika menuju Bandar Udara Ewer. Pesawat Twin Auther yang kami tumpangi berkapasitas 19 orang tanpa muatan barang.

Jarak dari Timika menuju Agats adalah 1.100 mil dengan ketinggian 7.500 kaki dan kecepatan 105 knot. Kami mendarat di Bandara Ewer Agats sekitar pukul 12.45. Beberapa media mendokumentasikan momen ketika turun dari Airfast.

Setelah itu, kami makan siang di sekitar Bandara Ewer. Tempat itu hanya menyediakan mie instan karena bukan rumah makan pada umumnya. “Yang pesan mie goreng berapa orang?,” tanya Mbak penjual kepada kami.

Setelah makan siang, kami berjalan sekitar 200 meter menuju Muara. Disinilah kami mengarungi luasnya Muara Asuit. Keceriaan para jurnalis nampak menghilangkan panasnya udara di dalam Twin Auther. Satu persatu awak media menaiki speed boat berkapasitas 4 sampai 5 orang.

Langkah saya terhenti ketika salah satu pegawai negeri sipil Kementerian Perhubungan mengatakan ada buaya di Muara tersebut. “Hati-hati mas di tikungan sana ada buayanya,” ujarnya seraya menunjukan ke arah tikungan Muara.

Saya satu speed boat dengan media RCTI, Trans 7 dan Republika. Sang nahkoda menyalakan mesin speed boat dan melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Baru 100 meter melaju, tiba-tiba mesin mati dan kami terhenti di luasnya sungai penghubung Ewer dengan dermaga di Asmat. Hal itu terulang sampai 6 kali. Kameramen RCTI memberikan kepalan tangan ke speed boat lain mengisyaratkan kode untuk berhenti.

“Itu (mesin perahu) basah mungkin. Coba dulu di cek,” seru salah satu pengemudi yang menjadi sweeper perjalanan kami. Setelah dikeringkan, mesin kembali menyala dan kami melanjutkan perjalanan.

Selama perjalanan saya terus istighfar, tasbih dan tahmid di dalam hati. Tidak berhentinya untuk terus mengingat Allah dimanapun dan kapanpun. Laju speed boat sangat kencang menerjang tenangnya air. Rasa takut, senang dan cemas campur jadi satu. Setelah 15 menit membelah Muara, kami tiba di dermaga Asmat. Alhamdulillah.

Kami menaiki dermaga, barang bawaan satu per satu di turunkan dari speed boat. Terlihat anak-anak asli Asmat berlari-larian di sekitar dermaga, ada seorang ibu menggendong anaknya yang masih belita, ada juga warga yang datang dengan bawa ikan hasil pancingan.

Sore hari pukul 17.20 saya menanyakan masjid kepada warga sekitar. Jarak yang ditempuh cukup jauh dari tempat kami transit yaitu sekitar 1 kilometer. Terletak di sebelah Bank Papua dan Kantor Pos, masjid tersebut bernama Masjid Al-Hidayah. Ukurannya cukup besar, bisa menampung sampai 500 orang. Namun, kami belum dapat shilaturahmi dengan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) karena sedang berada di tempat lain.

Motor Listrik

Kurang lebih 20 menit di dermaga, kami diarahkan oleh Kasi Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Kabupaten Asmat Norbertus Kamona untuk istirahat di kantor Dinas Radio Udara Divisi Navigasi. Sepanjang jalan, kami menyaksikan masyarakat lalu lalang dengan sepeda motor. Namun berbeda, masyarakat di Asmat diwajibkan menggunakan motor elektrik.

Hal itu dibenarkan oleh Nobertus, Ia menjelaskan regulasi pemerintah daerah Kabupaten Asmat mewajibkan kendaraan jenis elektrik. “Disini motor bermesin dilarang. Karena dapat mencemari lingkungan, itu ada di Perda lingkungan hidup,” terangnya.

Rata-rata masyarakat Asmat memodifikasi motor matic biasa menjadi motor elektrik. Untuk mengoperasikan motor tersebut diperlukan empat aki kering yang diisi selama 4-5 jam setiap harinya.

“Ada yang menggunakan 26 ampere, 20 ampere dan 18 ampere. Mereka diwajibkan bayar retribusi sesuai dengan Perda Nomor 8 Tahun 2011,” katanya.

Saat ini, Kemenhub Kabupaten Asmat mencatat ada 1.797 motor elektrik di wilayah tersebut. Motor elektrik ada yang menggunakan plat hitam dan kuning. Plat hitam ditujukan untuk kendaraan pribadi, sedangkan plat kuning untuk angkutan umum. Tak hanya itu, masyarakat dilarang menggunakan klakson motor kecuali dalam keadaan darurat.

“Motor elektrik di Asmat sekitar 1.700 yang terdata oleh kami. Nah, motor ini tidak bisa melaju cepat seperti motor mesin pada umumnya,” pungkas dia.

Malam hari setelah Maghrib, kami makan malam bersama di Rumah Makan dekat Stasiun Radio Utara Kemenhub. Dari total 16 orang, 8 orang memesan ikan bakar, 8 orang pesan sate Rusa. “Malam ini spesial buat Bapak, daging Rusa su (sudah) kami siapkan. Besok tidak ada lagi,” ujar sang penjual kepada Staff Komunikasi ACT Shulhan Syamsur Rijal.

Selesai makan, kami bermalam di penginapan Firda. Kami menempuh jalan kaki sekitar 1,5 kilometer dengan membawa kebutuhan masing-masing. Tiba di penginapan sekitar pukul 22.00. Para jurnalis dan tim ACT nampak kelelahan dan langsung istirahat pada malam itu.

Esok pagi, Rabu (7/2), tim bertolak ke distrik-distrik yang sebelumnya mengalami KLB gizi buruk dan campak. Untuk menempuh distrik tersebut, kami akan menggunakan kapal milik Kementerian Perhubungan dengan kapasitas 20-25 orang dengan memakan waktu kurang lebih satu jam.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *