Tingkat perceraian di Indonesia sebanyak 300.000 lebih pertahun, itu artinya kurang lebih 960-an per hari, atau 36 lebih kasus per jam. Penyebabnya beragam, namun umumnya karena banyak fitrah yang tak tuntas ketika masa anak dan masa muda sebelum pernikahan.
Wartapilihan.com, Jakarta — Barangkali banyak orangtua yang masih memuja akademis dalam pendidikan anak anaknya, masih memuja mengasah otak dan melejitkan kecerdasan anak anaknya, namun sayangnya, kebahagiaan masa depan anak anak kita bukan tentang banyaknya pengetahuan yang dihafal atau kecerdasan otak yang diasah, atau keterampilan bekerja yang dilatih keras, namun tentang bagaimana potensi potensi yang Allah berikan sejak lahir itu tumbuh dengan hebat dan paripurna sehingga bahagia.
Hal tersebut disampaikan oleh Harry Santosa, Senin, (15/10/2018), di Jakarta.
“Bukan tentang apa yang nampak terlihat, tetapi tentang apa yang memberi dampak hebat,” kata dia.
Menurut Harry, fitrah yang tak tumbuh dengan paripurna dan tuntas sejak masa anak, ledakan hebatnya juatru muncul ketika masa pernikahan karena di masa ini ada kondisi dimana harus hidup bersama pasangan dan memerlukan sinergi dalam peran bersama baik dalam mendidik generasi maupun dalam mewujudkanperan spesifik keluarga yang memberi manfaat dan menebar rahmat.
“Bayangkan kira kira apa yang terjadi ketika banyak fitrah yang tak tumbuh tuntas ketika seseorang menikah? Masa pernikahan yang seharusnya masa bersinerginya potensi fitrah, jadi masa saling menyalahkan,” tukas dia.
Ia prihatin, betapa banyak keluarga yang mengalami kepribadian ganda, mereka beragama, namun tak beraqidah, mereka tahu ilmu agama namun galau karena gairah keimanan tak tumbuh menjadi wujud keluarga yang berani membela kebenaran, malah sebaliknya, rajin haji dan umroh, rajin zakat dan sedekah namun juga rajin korupsi dan manipulasi.
“Uang-uang haram itu tidak dianggap lagi sebagai dosa, namun sebagai bagian dari upaya dan usaha dalam bingkai indah untuk membangun ummat, lalu mereka makan dan beri makan anak anaknya. Akankah keluarga seperti ini bahagia? Hidup senang barangkali iya, namun bahagia itu tidak bisa pura pura, ia bicara nurani yang tak dapat ditipu oleh pemiliknya,” imbuh Harry.
Pasangan menjadi galau karena fitrah bakatnya tak tumbuh tuntas paripurna. Ia menduga, telah berapa banyak ayah karir atau ibu karir yang salah karir, salah kuliah sehingga mereka tak tahu peran sejatinya dalam sosialnya, mereka hanya bekerja karena mengejar ambisi dan harta walau membingkai dengan ucapan agar keluarga bahagia.
“Namun kenyataannya mereka nampak lebih layak disebut tersesat dan tidak bahagia ketika mencari kebahagiaan, walau bergelimang harta maupun bergelimang hutang. Ayah karir dan ibu karir yang tak bahagia dan tak selesai dengan dirinya dan dengan karirnya maka akan sulit menjalani biduk pernikahannya.
Mereka akan menjalani rutinitas yang menjemukan, liburan dan vakansi hanyalah sarana mengentaskan stress berkarir atau kesenangan semu bukan merajut peran, menjalin cinta dan kebersamaan untuk masa depan yang penuh manfaat dan rahmat,” tegas ia.
Sementara pasangan yang menjadikan gelar gelar akademis sebagai kebanggaan dan prestise tanpa karya solutif, mereka tiba di masyarakat bagai orang yang mati. Karena fitrah belajar dan bernalarnya tak tumbuh paripurna menjadi peran inovasi untuk memakmurkan bumi dan menghebatkan alam tempat dimana ia dilahirkan.
“Kepandaian dan titelnya hanya untuk dijajakan dan untuk kesenangan dirinya, menaikkan pamor dan mencari uang, bukan untuk menjadikan keluarganya semakin inovatif menebar manfaat dan rahmat bagi semesta.
Skripsi dan tesis bahkan disertasinya hanya pencapaian ambisi namun tanpa makna, kosong dari karya inovatif bagi masyarakat,” Harry merasa prihatin.
Dampaknya, banyak pasangan-pasangan yang gagap menjadi ayah atau gagap menjadi ibu. Menurut Harry, hal ini bukan masalah kurang ilmu, namun sesungguhnya fitrah seksualitas mereka tak tumbuh tuntas paripurna, sementara mereka ragu menyambut fitrah kelelakiannya untuk menjadi suami dan ayah sejati atau ragu menyambut fitrah keperempuanannya menjadi istri atau bu sejati.
“Mereka berkilah tentang buruknya pengasuhan mereka di masa anak, mereka bolak balik mengeluhkan innerchild dan hutang hutang pengasuhan dan sebagainya, namun mereka tetap tak berani menyambut panggilan untuk menjadi ayah sejati dan ibu sejati, atau panggilan untuk menjadi suami sejati dan istri sejati,”
Demikian juga ia menyorot pasangan yang tak bisa berkolaborasi apalagi bersinergi, berebut perhatian dan ingin menang sendiri, berambisi merubah karakter bawaan pasangannya, sulit akur dalam menetapkan kebijakan keluarga dan seterusnya.
“Mereka sesungguhnya pasangan yang tak selesai dengan fitrah individualitasnya atau egonya ketika masa anak anak. Ego yang tak selesai kemudian menuntut haknya ketika dewasa, padahal di saat dewasa itulah saatnya menunaikan kewajiban sosialitasnya.
Maka di dalam pernikahan, ego yang tak selesai ini berubah menjadi keegoisan yang berujung kepada perceraian. Masing masing mereka sebenarnya tak siap memimpin dan tak siap terpimpin,” tegasnya.
Maka dari itu, Harry menyarankan agar fokus saja untuk saling mendukung untuk menumbuhkan atau mengembalikan cahaya fitrah pasangan masing masing.
“Agar cahaya itu mengusir kegelapan, agar pernikahan itu menjadi cahaya yang menerangi sekitarnya,” tukas dia.
Eveline Ramadhini